tirto.id - Hattrick Pierre-Emerick Aubameyang dan satu gol Alexander Lacazette di Stadion Mestalla, Jumat (10/5/2019) dini hari, memastikan kemenangan agregat 6-3 Arsenal atas Valencia dalam semifinal Liga Eropa. Pada saat yang sama, Chelsea akhirnya menundukkan Eintracht Frankfurt meski harus bertungkus lumus lewat drama adu penalti di Stamford Bridge. Dua klub asal London itu pun dipastikan bersua dalam final Liga Eropa di Baku, Azerbaijan, akhir Mei ini.
Pencapaian Arsenal dan Chelsea ini semakin menegaskan dominasi klub Inggris di kompetisi kancah Eropa tahun ini. Tengah pekan yang sama, dua klub asal Britania lain, Liverpool dan Tottenham Hotspur juga berhasil melangkahkan kaki ke partai puncak Liga Champions yang bakal dihelat di Stadion Wanda Metropolitano, Madrid, awal Juni mendatang.
Final yang mempertemukan dua klub dari satu negara sesungguhnya bukan hal baru. Bayern Munchen dan Borussia Dortmund, dua klub Jerman, pernah bertemu pada final Liga Champions 2013/2014. Atletico dan Real Madrid, dua kesebelasan Spanyol juga sempat melakukannya setahun kemudian. Namun, bertemunya empat klub dari satu negara dalam dua final kompetisi Eropa di musim yang sama, merupakan barang mewah. Belum ada satu pun negara yang bisa melakukannya kecuali Inggris.
Saking bangganya dengan prestasi klub-klub Inggris, Perdana Menteri Inggris, Theresa May sempat menjadikan Liverpool, salah satu klub yang lolos ke final Liga Champions sebagai objek pidatonya dalam sebuah forum pembahasan Brexit pekan ini.
"Jika kita melihat kemenangan Liverpool atas Barcelona, menunjukkan bahwa ketika semua orang bilang riwayat kita tamat, ketika lawan-lawan di Eropa hampir mengalahkan kita, waktu masih berjalan. Saat ini barangkali kita sedang tertinggal [soal negosiasi Brexit], tapi kita bisa meraih kesuksesan jika semua [orang Inggris] bersatu," ujarnya.
Pidato May itu menuai beragam reaksi, namun kesan yang paling kerap muncul relatif seragam: kritik. May dinilai terlalu mengidentikkan keberhasilan Liverpool--dan klub-klub EPL lain--seolah hanya milik Inggris, padahal jika ditilik lebih teliti, ada kontribusi yang lebih luas di balik kesuksesan keempat klub tersebut.
Dalam hal gol saja misalnya. Sepanjang semifinal Liga Champions maupun Liga Eropa, empat klub perwakilan Inggris mencetak total 16 gol. Namun, 15 dari 16 gol tersebut dicetak pemain asing. Ruben Loftus-Cheek adalah satu-satunya pemain lokal yang menyumbang gol, tepatnya saat Chelsea bermain imbang 1-1 kontra Eintracht Frankfurt di Stamford Bridge.
Tidak cuma gol, secara keseluruhan kontribusi pemain asing atas keberhasilan empat klub tersebut sangat kentara. Terbukti, dari 44 nama starting line-up keempat kesebelasan tersebut pada semifinal leg kedua, hanya ada delapan orang yang merupakan pemain berkebangsaan Inggris, alias hanya sekitar 18 persen.
Pelatih Asing Mengangkat Prestasi
Ketidaksetujuan terhadap klaim bahwa prestasi klub-klub Inggris merupakan kemenangan negara juga diutarakan Michael Cox, penulis buku sepakbola The Mixer: The Story of Premier League Tactics. Dalam sebuah wawancara dengan Copa90, Cox bahkan menyebut selain pemain, kontribusi pelatih asing juga tidak kalah penting.
"Ya, tentu. Saya rasa nyaris semua inovasi datang dari pelatih dan manajer asing," ungkap Cox.
Pria yang kini berprofesi sebagai analis sepakbola di ESPN itu bahkan menyebut perkembangan taktik yang disebabkan kehadiran pelatih asing bukan sesuatu yang instan. Buah dari keberhasilan ini bermula sejak periode awal kehadiran para pelatih impor.
"Dimulai dari kehadiran Arsene Wenger yang membuat sepakbola lebih profesional. Lalu muncul Rafa Benitez yang menghadirkan pula kemajuan besar. Mereka bermain menggunakan taktik berbeda," imbuhnya.
Kontribusi pelatih asing, seperti kata Cox, memang terasa betul, bahkan hingga saat ini. Jika melihat empat tim yang lolos ke semifinal kompetisi Eropa musim ini, seluruhnya berasal dari luar Inggris.
Liverpool dilatih manajer yang telah khatam dengan iklim sepakbola Jerman, Jurgen Klopp. Chelsea ditukangi Maurizio Sarri, juru taktik yang namanya melejit bersama klub kuda hitam Italia, Napoli. Arsenal dinakhodai pelatih yang malang melintang di Liga Spanyol dan Perancis, Unai Emery. Sementara Tottenham kini dipimpin Mauricio Pochettino, si manusia jenius asal Argentina.
Tak usah jauh-jauh ke kompetisi Eropa, bahkan di EPL pun dominasi pelatih asing begitu terasa. Posisi di delapan besar klasemen sementara EPL seluruhnya dihuni tim yang diarsiteki pelatih asing. Selain empat nama di atas, ada lagi sosok-sosok macam Pep Guardiola (City/Spanyol), Ole Gunnar Solskjaer (MU/Norwegia), Nuno Espirito Santo (Wolves/Portugal), sampai Marco Silva (Everton/Portugal).
Beragamnya taktik dan gaya akibat pengaruh pemain dan pelatih asing membantu klub Inggris punya referensi dan modal lebih untuk melawan rival dari negara dengan kecenderungan bermain lain.
Ambillah contoh keberhasilan Liverpool menggulung Barcelona di semifinal Liga Champions. Jurnalis The Times, Paul Joyce dalam analisisnya menyebut Liverpool melakukan pendekatan untuk menghadapi Barcelona dengan berpatokan pada pengalaman mereka bersua Manchester City di kompetisi domestik. Soalnya, sudah bukan rahasia lagi kalau City di era Pep Guardiola adalah tim yang cara bermainnya paling mendekati Blaugrana.
"Pertanyaan apakah Liverpool pernah bertemu tim seperti Barcelona selalu valid. Tapi Klopp bisa dengan mudah menjadikan Manchester City sebagai referensi," tulisnya.
Liga yang Kompetitif
Bukan cuma menambah keberagaman taktik, kehadiran inovasi-inovasi dari pelatih asing juga menghadirkan persaingan ketat di EPL. Persaingan ketat itu bikin klub-klub yang gagal di kompetisi lokal termotivasi mencari pelarian pada turnamen Eropa.
Contoh paling baru dari fenomena ini jelas Arsenal. Meriam London dipastikan gagal finis di posisi empat besar EPL alias urung mendapat tiket lolos ke Liga Champions musim depan. Situasi itu bikin mereka kian termotivasi untuk bangkit dan menunjukkan performa lebih baik di Liga Eropa. Sempat berada dalam tren buruk, Arsenal akhirnya bangkit dan menggulung Valencia dengan skor 2-4 (agregat 3-6) pada laga tandang dini hari tadi.
"Kami ingin menang karena kami ingin ke Liga Champions [musim depan], kami juga ingin trofi [Liga Eropa], kami bermain buruk dalam beberapa laga EPL terakhir sehingga termotivasi untuk menang kali ini. Kami telah melangkah ke semifinal, saatnya menggunakan kesempatan yang ada," tutur pemain Arsenal, Alexander Lacazette kepada BT Sport.
Hal serupa berlaku dalam kasus keberhasilan Liverpool menembus final Liga Champions. Sehari sebelum mengalahkan Barcelona 4-0 pada leg kedua, rival terdekat mereka, Manchester City menang 1-0 atas Leicester dan melipatgandakan peluang merengkuh trofi EPL.
Hal itu bikin skuat asuhan Jurgen Klopp mempersiapkan diri dengan lebih baik pada laga leg kedua kontra Barcelona. Sebab, performa City di EPL bikin Liverpool hanya punya Liga Champions sebagai kompetisi penyumbang trofi.
"Kami bertemu di sesi latihan pagi hari ini [sebelum melawan Barca], sebelum memulai saya bertanya: 'adakah yang mau membicarakan [kemenangan Man City] kemarin malam?'. Para pemain melihat saya dan berkata tidak. Jadi kami tidak membicarakan itu, lalu mulai berlatih dengan lebih serius," ujar Klopp kepada Metro.
Kendati trofi Liga Champions dan Liga Eropa sudah pasti mendarat ke klub-klub Inggris, perjuangan bagi tim-tim di atas belum usai. Liverpool, Tottenham, Chelsea, dan Arsenal jelas sama-sama punya ambisi tinggi membawa trofi ke kota mereka masing-masing.
"Saya senang akhirnya kami punya peluang melakukannya [ke final] lagi. Tahun lalu kami kalah [di final] dan merasa harus kembali, kami tak bisa berdiam diri," pungkas Klopp.
Editor: Mufti Sholih