tirto.id - Telur asin bisa ditemukan di warung semipermanen di tengah permukiman padat penduduk, bisa juga di rumah makan mewah atau hotel bintang lima. Penikmatnya berasal dari strata sosial yang berbeda, dari kuli bangunan hingga pejabat kementerian.
Seiring perkembangan dalam dunia kuliner, penyajian telur asin mengalami transformasi. Jika dulu cukup dinikmati sebagai teman nasi dan sayur, kiwari diolah menjadi berbagai hidangan yang menggoda selera.
Bermula dari Sesajen
Hingga kini asal-usul telur asin belum bisa dipastikan, tapi sebuah naskah pertanian Tiongkok dari abad kelima berjudul Qimin Yaoshu sudah menyebutkannya. Dalam naskah itu disinggung bagaimana cara mengasinkan telur bebek, yakni dengan merendamnya dalam cairan garam selama satu bulan.
Popularitas telur asin di Indonesia tidak lepas dari peranakan Tionghoa yang ramai-ramai hengkang dari Batavia menuju Brebes setelah Geger Pecinan pada 1740. Masuknya etnis Tionghoa ke kota di pesisir utara Pulau Jawa itu ditandai dengan berdirinya klenteng Hok Tek Tjeng Sin di Losari dan Hok Tek Bio di Gamprit seabad kemudian.
Semula telur asin dimaknai sebagai lambang kesuburan dan menjadi bagian dari sesajen untuk Dewa Bumi, yang hingga kiwari altarnya masih bisa disaksikan di dua klenteng tersebut. Akibat impitan ekonomi pasca perang kemerdekaan, warga Tionghoa tak hanya menjadikannya sesajen tapi juga lauk pengganjal perut.
Pada 1959, suami istri In Tjiauw Seng dan Tan Polan Nio disebut-sebut sebagai pasangan yang pertama kali memproduksi telur asin untuk dipasarkan secara luas. Mula-mula mereka memasarkan produknya dengan cara sederhana, yaitu dari rumah ke rumah berdasarkan pesanan.
Seiring waktu, bisnis mereka berkembang, selain karena melimpahnya produksi telur bebek di Brebes juga karena belum banyaknya pesaing. Ketika tenaga tambahan dibutuhkan, anak-anak dan tetangga mereka libatkan. Perlahan bisnis baru itu pun diikuti masyarakat, baik dari kalangan Tionghoa maupun Jawa.
Pada 1971, In Tjiauw Seng mangkat dan usaha telur asinnya dilanjutkan Hartono Sunaryo, anak pertamanya. Pada masa itu produsen telur asin sudah menjamur di seantero Brebes. Di antara jenama yang paling terkenal adalah Tjoa dan Setuju Jaya.
Tjoa didirikan oleh Tjoa Kiat Hien dan istrinya, Niati, pada warsa 1960-an. Hingga kiwari, usaha telur asin ini masih bertahan. Setelah Tjoa Kiat Hien meninggal, bisnisnya dijalankan Tjoa Kiem Tien yang tak lain anak keempatnya.
Setuju Jaya dirintis Emmry Yuniarti pada 1970. Mulanya ia hanya membantu bisnis telur asin milik orang tuanya, tapi kemudian mendirikan sendiri usaha yang sama. Muhadi, salah satu karyawan Emmry, mengikuti jejak bosnya. Setelah beberapa lama bekerja pada Emmry, pada akhir 1970-an ia memproduksi sendiri telur asin di rumahnya.
Pasang Surut Bisnis
Limbangan Wetan dan Brebes adalah dua kelurahan yang menjadi sentra pembuatan telur asin di Kabupaten Brebes. Produsen di kelurahan lain juga ada, tapi dari segi jumlah pengrajin dan total produksi tak sebanyak di dua kelurahan itu.
Selain rasanya yang gurih, telur asin Brebes juga dikenal karena kuning telurnya yang pekat dan berminyak. Pada suhu ruangan telur asin bertahan sekira 10 hari, sedang di lemari es bisa sampai tiga minggu. Selain dijual matang, telur asin juga dijual mentah lengkap dengan lapisan garam pada cangkangnya.
Proses pembuatan telur asin memakan waktu cukup lama. Setelah dicuci, telur bebek dibaluri adonan bubuk bata merah, tanah ladon (tanah atau pasir sungai), dan garam. Sebelum pengeraman, telur ditaburi abu hitam. Butuh waktu 7-10 hari untuk menghasilkan rasa asin yang sedang dan 15-20 hari untuk mendapatkan rasa asin yang maksimal.
Pada warsa 1970-an atau satu dekade setelah In Tjiauw Seng dan istrinya pertama kali menjajakan telur asin ke rumah-rumah penduduk, ada sekira 20 pengrajin telur asin di Brebes. Sepuluh tahun kemudian angka tersebut melonjak hingga 54 pengrajin. Total produksi di akhir warsa 1980-an tercatat 10.108.500 butir pertahun.
Pada dekade 1990-an pengrajin berjumlah 65 orang dengan total produksi 11.524.000 butir pertahun. Warsa 1980 hingga 1990-an adalah puncak kejayaan industri telur asin di Brebes. Pasca krisis moneter 1997 industri tersebut melambat, meski pada warsa 2000-an jumlahnya tetap meningkat, yaitu 12.075.000 butir pertahun.
Krisis moneter mengakibatkan beberapa pengusaha telur asin gulung tikar. Keadaan tersebut berlanjut hingga tahun 2000-an. Pada 2005 industri telur asin kembali dihantam masalah, kali ini flu burung atau Avian influenza menjadi biangnya. Banyaknya itik yang terinfeksi virus H5N1 mengakibatkan produksi telur menurun drastis.
Pada libur lebaran permintaan telur asin meningkat. Pedagang telur asin di Brebes biasanya menyiapkan stok hingga 100 ribu butir jauh hari sebelum arus mudik dimulai. Angka ini kembali menurun saat terjadi pandemi Covid-19.
Gelombang Inovasi
Pada 2018 jenama mi instan terbaik di dunia versi majalah The Strategist untuk kategori Best Saucy Instant Noodles merilis Mi Keriting Goreng Rasa Telur Asin. Setahun kemudian Lay’s, perusahaan keripik milik PepsiCo dari Amerika Serikat, memperkenalkan pilihan rasa yang sama.
Sepuluh tahun sebelumnya, sebuah kedai es krim Tom’s Palette mengejutkan publik Singapura dengan memasukkan es krim rasa telur asin dalam daftar menunya. Seiring waktu, berbagai produk bercita rasa telur asin diperkenalkan di berbagai negara, mulai dari pop corn, macarons, donat, lava cake, croissant, hingga cocktail.
Meski tidak terlalu ekstrem, inovasi di kalangan pengrajin telur asin di Brebes juga dilakukan. Seturut Diyan Hayyu Amrillah dalam “Perkembangan Industri Telur Asin di Kelurahan Limbangan Wetan Kecamatan Brebes dan Pengaruhnya terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Tahun 1980-2005” (2013:5), salah satu pengrajin bernama Rosid (66 tahun) mengaku pernah bereksperimen membuat telur asin pedas.
Namun ketika ditawarkan ke pelanggan, minat pembeli kurang. Setelah itu, Rosid kembali bereksperimen dengan memanggang telur asin. Setelah enam bulan, ia berhasil memproduksi telur asin dengan rasa yang lebih gurih, kadar air yang rendah, dan aroma yang tidak terlalu amis.
Pengrajin lainnya yaitu Komaruddin (53 tahun) memelopori produksi telur asin bakar. Seperti namanya, cita rasa baru dalam telur asin itu didapat dengan cara dibakar. Produknya ini diminati banyak pelanggan.
Inovasi juga dilakukan produsen telur asin di daerah lain. Di Balikpapan, misalnya, Telur Asin Jaya Rasa yang buka sejak 1997 memperkenalkan telur asin bumbu pindang, pepes telur asin, dan nugget telur asin. Pada 2006 telur asin bumbu pindang menjadi pemenang dalam Festival Pangan Oleh-oleh Khas Balikpapan yang diselenggarakan Pemerintah Kota Balikpapan.
Kiwari banyak restoran yang menyediakan menu dengan cita rasa telur asin, seperti ayam goreng telur asin, udang goreng telur asin, tahu goreng telur asin, nasi goreng telur asin, cumi saus telur asin, krim sup telur asin, chocolate molten telur asin, hingga keripik dan kerupuk telur asin.
Lantaran menjadi pelopor sekaligus sentra produksi telur asin, Kabupaten Brebes tidak bisa dilepaskan dari produk andalannya itu. Sebagai pengakuan atas produk kuliner bernilai sejarah tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan telur asin sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) pada 2020.
Penulis: Firdaus Agung
Editor: Irfan Teguh Pribadi