tirto.id - "Aplikasi ponsel mengubah hidup kita," tutur Sameer Samat, Vice President of Product Management Android & Google Play, melalui blog resmi Android--sistem operasi mobile yang diakuisisi Google 17 tahun lalu dengan mahar senilai $50 juta dari Andy Rubin.
Ia mengaku bahwa aplikasi ponsel yang diperjualbelikan di Google Play "berhasil menciptakan peruntungan bagi miliaran orang di seluruh dunia" dan membuat "para pengembang aplikasi sukses", terutama atas skema penetapan harga (pricing model) yang kompetitif. Sebanyak 99 persen pengembang hanya dipatok biaya sebesar 15 persen atau kurang, Google memperkenalkan proyek percobaan bernama "user choice billing".
Melalui user choice billing, Google--sang pemilik Android sebagai sistem operasi yang digunakan lebih dari 2,5 miliar orang di seluruh dunia--kini membolehkan para pengembang aplikasi menggunakan sistem pembayaran sendiri untuk menjual aplikasi buatan mereka. Baik dalam bentuk utuh (standalone app), fitur khusus (extra content, freemium app, atau loot boxes), ataupun berlangganan (in-app subscription), tanpa harus menggunakan sistem pembayaran ala Google untuk Android, Google Play Billing Library.
Pada tahap ujicoba, user choice billing hanya tersedia di pasar Korea Selatan serta hanya dapat dimanfaatkan oleh pengembang terpilih yang ditunjuk Google. Sebagai salah satu aplikasi terbesar dantak pernah mau menggunakan Google Play Billing Library, Spotify adalah salah satu yang terpilih. Hal ini membuat pengguna atau calon pengguna Spotify di Korea Selatan tak perlu lagi diarahkan ke website Spotify untuk berlangganan.
Namun kebijakan Google membuka skema pembayaran lain dalam tubuh Android tak bisa dianggap sebagai kemurahan hati sang raksasa teknologi. Musababnya, user choice billing merupakan fitur yang terpaksa dibuat.
Sebagaimana dilaporkan Jiyoung Sohn untuk The Wall Street Journal, Pemerintah Korea Selatan yang berhasil meloloskan amandemen Undang-Undang Bisnis Telekomunikasi pada Agustus 2021, memasukkan pasal untuk melarang para pemilik platform (sistem operasi)--Apple (iOS), Google (Android), dan Microsoft (Windows)--berprilaku monopolistik. Termasuk melarang pemilik platform mewajibkan penggunaan sistem pembayaran ala mereka pada para pengembang aplikasi iOS/Android/Windows, tanpa opsi lain.
Jika Apple/Google/Microsoft tak mau meyediakan opsi pembayaran selain buatan mereka, akan dikenakan denda sebesar 3 persen dari total pendapatan pemilik platform.
Tak ingin pendapatannya di Korea Selatan senilai 220,14 miliar won (sekitar Rp2,5 triliun) berkurang 3 persen, Google akhirnya merilis user choice billing. Sikap yang jelas-jelas bertentangan dengan kebijakan mereka sendiri, yakni sempat mengultimatum pengembang untuk menggunakan Google Play Billing Library atau keluar dari Google Play.
Di sisi lain, Apple belum merilis fitur serupa user choice billing di iOS, karena menurt mereka opsi pembayaran selain buatan Apple di App Store akan membuka risiko penipuan dan pelanggaran privasi yang lebih besar.
Klaim Apple lebih tepat dibaca sebagai ketakutan Apple kehilangan pundi-pundi melimpah dari fee, ongkos, yang ditarik di tiap transaksi di aplikasi. Bukan tentang penipuan atau privasi. Dengan menarik biaya sebesar 15 persen (paling banyak) di tiap transaksi sistem pembayaran milik mereka, Apple meraup uang sebesar $53,8 miliar. Sementara Google mendapat untung senilai $21,7 miliar. Kelakuan yang tak pernah didukung para pengembang aplikasi, khususnya Spotify dan Netflix.
Bagi Apple dan Google, App Store dan Google Play adalah senjata utama. Selain menghasilkan uang melimpah, pasar aplikasi juga menentukan hidup-mati pengembang aplikasi.
Kala Hidup Mati Aplikasi Ditentukan Moderator App Store
“Ketika aplikasi-aplikasi mulai bermunculan di App Store dan dapat dipasang di iPhone secara legal, saat itulah penjualan iPhone meledak,” kenang Brett Bilbrey, sebagaimana ditulis Brian Merchant dalam The One Device: The Secret History of The iPhone (2017).
Frasa “killer app” awalnya dicetuskan oleh Steve Jobs untuk iPhone sebagai “sebuah iPod, sebuah ponsel, dan sebuah alat pengakses internet” yang platformnya tertutup. “Killer app” singkatnya merupakan “perangkat revolusioner yang menjawab semua kebutuhan.
Namun, tulis Merchant, yang sesungguhnya menjadi “killer app” bagi Apple adalah App Store, bukan iPhone. Melalui App Store, segala kebutuhan pengguna iPhone dapat terealisasi dengan jutaan aplikasi pihak ketiga. Sayangnya, App Store sebagai “killer app” kini punya makna lain. Melalui App Store, Apple menentukan hidup matinya pengembang aplikasi.
Cara kerja distribusi aplikasi untuk iPhone berbeda dengan Android atau bahkan Windows. Kecuali pengguna rela melakukan jailbreak pada iPhone, App Store adalah satu-satunya distributor aplikasi dari pengembang ke masyarakat. Tidak ada file instalasi aplikasi untuk iPhone di luar sana, semisal .apk untuk Android ataupun .exe untuk Windows, atau bahkan .dmg untuk Macintosh.
Apple memang membuka keran agar pengembang pihak ketiga dapat membuat aplikasi iPhone-nya sendiri. Tetapi melalui App Store, keran itu diawasi sangat ketat. Ketika pengembang aplikasi hendak mendistribusikan aplikasi ciptaannya, mereka mengirimkan karya itu ke Apple. Apple lantas melakukan peninjauan, bahkan hingga ke akar-akar kode pemrograman aplikasi yang dikirimkan.
Jika moderator App Store menganggap aplikasi memenuhi standar Apple, aplikasi itu akan muncul di App Store dan bisa diunduh pengguna. Jika aplikasi yang dikirimkan mengandung jasa/konten berbayar, Apple mengenakan tarif 30 persen dari nilai jasa/konten.
Untuk satu saat, kebijakan Apple terkait App Store aman-aman saja. Via App Store, lahir kemudian aplikasi-aplikasi populer, sebut saja Instagram, WhatsApp, hingga Uber. App Store pun memungkinkan pengembang-pengembang perorangan kaya mendadak. Lihatlah kasus Flappy Bird, gim yang diciptakan Dong Nguyen. Konon pada 2014, Dong sanggup mengantongi uang senilai $50.000 per hari via gimnya itu berkat iklan yang ditampilkan. App Store pun menjadi semacam “Wild West”.
Namun, kontroversi akhirnya muncul terkait proses review aplikasi. Via moderasi yang dilakukan, nyawa pengembang berada di tangan Apple. Mike Isaac, reporter teknologi pada The New York Times menyebut dalam Super Pumped: The Battle for Uber (2019) bahwa Uber pernah diancam diusir dari App Store.
Hingga 2014, banyak pengemudi palsu Uber yang mendaftar hanya untuk memperoleh bonus. Untuk menghentikan kecurangan, Uber menggunakan teknologi milik InAuth, perusahaan asal Boston, AS, yang mampu mendeteksi nomor identifikasi perangkat iPhone tanpa perlu menggunakan IMEI. Akses aplikasi pada IMEI milik pengunduhnya sendiri telah diblokir Apple sejak 2012. Melalui teknologi InAuth, ketika perangkat yang digunakan si pengemudi terdeteksi masuk dalam blacklist, aplikasi Uber tidak dapat dijalankan.
Apple berpikir lain. Meskipun maksud Uber baik, namun Uber dianggap menyalahi aturan Apple karena mengidentifikasi perangkat penggunanya. Versi pembaruan aplikasi Uber, ditolak Apple. Bahkan, Tim Cook, yang naik pangkat menjadi CEO Apple, dan Eddy Cue, Direktur App Store, mengancam akan mendepak Uber dari App Store jika jika praktek identifikasi pengguna masih dilakukan.
Tak hanya Uber yang geram atas kebijakan Apple di App Store. Netflix pun sama kesalnya, khususnya terkait kebijakan fee 30 persen dari jasa/konten yang dijual di aplikasi. Sebagai salah satu aplikasi populer, Netflix memperoleh pendapatan sebesar $853 juta di tahun 2018 dengan menawarkan film dan serial. Sialnya, karena kebijakan 30 persen, Apple sukses menggondol $256 juta uang jerih payah Netflix hingga aplikasi ini akhirnya keluar dari ekosistem pembayaran ala App Store. Mereka lantas menawarkan penggunanya membayar biaya langganan langsung di website Netflix, bukan di aplikasi. Kasus yang sama juga terjadi pada Spotify.
Steven Levy, editor-at-large majalah Wired, dalam Facebook: The Inside Story (2020) menyebut kapasitas Apple menentukan hidup mati aplikasi milik pihak ketiga sudah digaungkan semenjak App Store berdiri. Facebook termasuk yang khawatir. Sebagai pemilik platform, sangat mungkin Apple berlaku bias, atau mungkin membuat aplikasi tiruan, atau menempatkan aplikasi-aplikasi milik Apple di halaman teratas App Store.
Maka untuk membendung dominasi Apple atas App Store--dan Google atas Android--Facebook menciptakan ponsel sendiri, Facebook Phone atau HTC First. Namun upaya Mark Zuckerberg ini gagal. Salah satu alasan utamanya: masyarakat tidak ingin privasinya diobok-obok Facebook.
Kekhawatiran Facebook atas kontrol Apple pada App Store terbukti. Aplikasi Facebook Gaming dipersulit Apple untuk didistribusikan ke masyarakat via App Store. Dari 2019 hingga 2020, enam kali Facebook Gaming ditolak Apple. Alasannya, aplikasi media sosial yang memungkinkan penggunanya berinteraksi dengan teman-teman mereka soal gim ini dianggap memiliki fitur serupa App Store, toko aplikasi. Via Facebook Gaming, pengguna dapat mengunduh dan memainkan gim yang disodorkan Facebook. Bagi Apple, Facebook berjualan gim di aplikasinya. Apple menganggapnya sebagai pelanggaran aturan App Store.
Pada versi iOS, Facebook akhirnya menghapus fungsi bermain gim. Dan Facebook Gaming pun diizinkan masuk App Store.
Dalam acara dengar pendapat dengan Kongres AS pada Rabu terakhir bulan Juli 2020, Zuckerberg mengungkapkan kekecewaannya. “Beberapa pihak di dunia teknologi adalah pemula [yang tidak berkuasa], tetapi ada juga yang menjadi penjaga gerbang dengan kekuatan memutuskan apakah kami para pengembang dapat merilis aplikasi di toko aplikasi mereka,” ujar Zuckerberg. Singkatnya, ia menuduh Apple berperilaku monopolistik dan curang.
Kekhawatiran lain atas kendali Apple pada App Store terbukti. Apple menganakemaskan aplikasi ciptaannya sendiri.
Jack Nicas dan Keith Collins dalam laporan investigasinya untuk The New York Times mengungkapkan bahwa Apple bermain curang agar aplikasi mereka digunakan pengguna Apple. Dalam analisis terhadap 700 kata kunci yang digunakan untuk mencari aplikasi di App Store, Apple disebut mengutamakan aplikasi buatannya dibanding bikinan para pesaing.
The Times mencontohkan, pada 2013 sebelum Apple meluncurkan Apple Music, Spotify menjadi aplikasi teratas tatkala pengguna memasukkan kata “music” di App Store. Namun, tak lama selepas Apple Music lahir pada Juni 2016, Spotify tergeser ke urutan empat.
Tak berhenti di situ, ketika pengguna memasukkan kata “music” di kolom pencarian App Store pada 2018, hasil yang diperoleh secara berurutan ialah: Apple Music, Garage Band, Music Memos, iTunes Remote, Logic Remote, iTunes Store, iMovie, dan Clips.
Artinya, banyak aplikasi buatan Apple yang sebetulnya tidak relevan dengan kata kunci tapi justru tampil di muka hasil pencarian. Spotify sendiri berada di posisi ke-23.
Kecurangan ini juga tampak ketika kata kunci “TV” atau “Movie” dimasukkan. Sebelum Apple merilis Apple TV, Netflix berada laman teratas. Namun pada Juni 2018, setelah Apple TV diluncurkan, Netflix terjun ke urutan seratusan.
Philip Schiller, Senior Vice President Apple yang baru lengser, membantah kecurangan yang dituduhkan pada perusahaannya. “Hasil pencarian dirancang dengan algoritma yang memprediksi apa yang diinginkan pengguna,” ujarnya.
Namun tentu saja bantahan Apple ini terasa menggelikan. Bisnis utama Apple, yakni berjualan Mac, iPhone, dan iPad, mengalami penurunan. Cara terbaik yang bisa dilakukan adalah menjual layanan serupa Netflix ataupun Spotify—caranya pertama-tama dengan menghardik kompetitor.
Editor: Irfan Teguh Pribadi