Menuju konten utama

Kritik untuk Sejumlah Alokasi Mata Anggaran Pendidikan di DKI

Pada APBD 2018, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengalokasikan anggaran sebesar Rp21,76 triliun atau sebesar 30,58 persen untuk sektor pendidikan.

Kritik untuk Sejumlah Alokasi Mata Anggaran Pendidikan di DKI
Siswi menunjukan Kartu Jakarta Pintar usai menerimanya di SMK 56 Pluit, Jakarta, ANTARA FOTO/Vitalis Yogi Trisna.

tirto.id - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengalokasikan anggaran untuk fungsi pendidikan sebesar 30,58 persen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2018. Nilai tersebut merupakan yang tertinggi dari semua APBD di Indonesia pada 2018.

Menurut Wakil Kepala Dinas Pendidikan Bowo Irianto, anggaran pendidikan dibagi menjadi beberapa komponen yang meliputi dana pembangunan fisik, bantuan operasional sekolah, bantuan operasional pendidikan, belanja pegawai, Kartu Jakarta Pintar, dan peningkatan mutu.

Bowo mengklarifikasi pendapat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menyebut anggaran pendidikan DKI Jakarta hanya 8,8 persen, jauh di bawah standar nasional yang mengharuskan 20 persen.

"Kalau itu, kan, yang dilihat cuma Belanja Langsung di Dinas Pendidikan. Kalau total anggarannya semua sudah di atas 20 persen," ujar Bowo kepada Tirto, Kamis (28/12/2017).

Bowo menerangkan, penilaian tentang besar kecilnya anggaran pendidikan di DKI tak bisa dilakukan dengan hanya melihat data yang ada di anggaran kegiatan Dinas Pendidikan, tapi juga melihat anggaran tidak langsung.

Anggaran tidak langsung ini mencakup belanja pegawai untuk Dinas Pendidikan yang tahun ini jumlahnya mencapai Rp8,6 triliun. Jumlah ini memang turun dari anggaran pada tahun sebelumnya sebesar 8,9 triliun. Menurut Bowo, anggaran belanja ini digunakan menggaji guru dan memberi tunjangan kerja daerah untuk mereka.

"Itu [ada] dalam belanja tidak langsung," imbuhnya.

Selain anggaran buat belanja pegawai, Bowo menyebut, ada anggaran buat Kartu Jakarta Pintar Plus senilai Rp 3,9 triliun. Anggaran buat KJP Plus ini naik sebesar Rp 560 miliar dari tahun sebelumnya lantaran ditenggarai bertambahnya jumlah penerima, besaran uang yang diterima, dan program tambahan.

Tak Fokus di Peningkatan Kualitas

Soal besaran dan pengalokasian anggaran ini disoroti praktisi pendidikan Najelaa Shihab. Peneliti Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) ini mengatakan persoalan dana pendidikan bukan hanya pada besaran anggaran melainkan juga soal penggunaannya yang berdampak untuk peningkatan kualitas.

"Itu yang justru perlu diperhatikan,” kata Najelaa kepada Tirto.

Anggaran peningkatan kualitas, kata Najeela, perlu diperhatikan lantaran anggaran peningkatan mutu dan kualitas ini hanya dianggarkan sebesar 0,45 persen dari total nilai APBD DKI 2017. Saat 2017, kata Najelaa, anggaran buat peningkatan kualitas mencapai Rp81,6 miliar.

Dalam catatan PSPK, anggaran buat mutu pendidikan dalam APBD 2017 kalah jauh dibanding dengan anggaran untuk belanja pegawai sebesar Rp8,9 triliun, KPJ Rp3,1 triliun, bangunan fisik Rp1,7 triliun, BOP Rp1,69 triliun, dan BOS Rp1,61 triliun.

Selain anggarannya yang minim, penggunaan anggaran ini dinilai Najelaa kadang tak tepat. Ia memberi contoh penggunaan anggaran untuk pelatihan guru yang terkadang tidak relevan dengan kegiatan belajar mengajar di sekolah seperti yang umumnya terjadi di banyak daerah atau hanya menyasar sebagian guru saja.

Kondisi ini membuat kualitas pendidikan di Indonesia menjadi susah mengejar kualitas pendidikan dari negara-negara lain. Perkara kualitas pendidikan ini, menurutnya, harus menjadi tujuan utama dalam politik anggaran pendidikan dalam APBD 2018. Najelaa mengharapkan, kenaikan yang terjadi dalam APBD 2018 ditujukan buat menambal sisi kualitas dan kesenjangan dalam pendidikan, bukan hanya akses dan kesejahteraan.

Soal penambalan ini, Najeela menjelaskan, perlu ada indikator yang pas. Indikator ini perlu disepakati para pemangku kepentingan secara bersama-sama supaya bisa menjadi patokan dan bisa dilacak hasilnya. Salah satunya melalui pelatihan terhadap guru guna meningkatkan kemampuan mereka dan lingkungannya.

“Guru harus kita berdayakan dengan mengkolaborasikan praktik baik yang sudah ada. Supaya terjadi perubahan paradigma bahwa guru bisa berdaya dan mampu mengembangkan kompetensi dan karirnya,” sebut Najelaa yang merupakan salah seorang pendiri Sekolah Cikal ini.

Oleh karena itu, Najelaa menyebutkan, APBD 2018 sebetulnya punya kesempatan buat memberi dampak yang lebih luas lantaran ada kenaikan anggaran pendidikan di dalamnya.

“Sebetulnya yang menarik kita lihat di APBD 2018, apakah ada perubahan? Karena naik. Naiknya di mana? Sebelumnya ada isu kenaikan besar pada anggaran hibah itu perlu dipastikan apakah memang keputusan yang tepat [secara substansi maupun urutan kebijakan] dalam kondisi pendidikan DKI,” ucap Najelaa.

Menengok Alokasi Anggaran di APBD

Pada APBD 2018, Pemerintah DKI Jakarta mengalokasikan anggaran sebesar Rp21,76 triliun atau sebesar 30,58 persen dari total APBD. Anggaran ini merupakan perhitungan total dari anggaran belanja langsung dan belanja tak langsung.

Menurut Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Tuty Kusumawati, besaran alokasi itu sudah terjadi sejak APBD 2017 sesuai dengan Permendagri nomor 33 tahun 2017.

“Dua tahun berturut ketika formulasi itu kita masukan angka-angkanya, maka akan ketemu angka 30 persen lebih. Tahun 2017 alokasi 30,04 persen kemudian tahun 2018, 30,58 persen" ujar Tuty kepada Tirto.

Anggaran belanja langsung yang dialokasikan ke Dinas Pendidikan sebesar Rp6,26 triliun dan belanja langsung pada dinas di luar pendidikan sebesar Rp1,23 triliun. Sedangkan anggaran belanja tak langsung pada Dinas Pendidikan mencapai Rp8,6 trilun dan belanja tak langsung pada Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD) mencapai Rp5,6 triliun.

Jika kembali dirinci, alokasi penggunaan anggaran ini untuk kegiatan mencapai Rp7,4 triliun, gaji pegawai Rp8,6 triliun, hibah pendidikan sebesar Rp1,58 triliun, dan bantuan sosial pendidikan sebesar Rp4,07 triliun. Dua anggaran terakhir banyak berisi anggaran buat KJP, BOS, dan BOP.

Meski begitu, Tirto menemukan sejumlah mata anggaran pendidikan yang bisa dikritik tak berkaitan dengan fungsi pendidikan. Dana tersebut muncul sedikitnya dalam lima SKPD di lingkungan Pemprov DKI Jakarta.

Pertama, Biro Pendidikan dan Mental Spiritual dengan nilai anggaran Rp8.869.819.215. Ada pun dana yang diragukan keterkaitannya dengan kegiatan pendidikan: Rp8.257.983.964 atau 93,10 persen. Kedua, Pusat Pelatihan Kerja Khusus Pengembangan Las dengan nilai anggaran Rp21.188.351.425. Dana yang diragukan keterkaitannya dengan kegiatan pendidikan: Rp169.350.715 atau 0,80 persen.

Ketiga, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak dengan nilai anggaran Rp5.249.733.961. Dana yang diragukan keterkaitannya dengan kegiatan pendidikan: Rp105.920.000 atau 2,02 persen.

Keempat, Pusat Pengembangan dan Pelatihan Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk serta Keluarga Berencana dengan nilai anggaran Rp1.463.686.704. Dana yang diragukan keterkaitannya dengan kegiatan pendidikan: Rp178.798.003 atau 12,22 persen.

Kelima, Unit Pengelola Kawasan Pusat Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah serta Permukiman Pulo Gadung dengan nilai anggaran Rp11.530.020.482. Dana yang diragukan keterkaitannya dengan kegiatan pendidikan: Rp1.730.362.813 atau 15,01 persen.

Salah satu contoh mata anggaran yang layak diperhatikan adalah anggaran pembayaran biaya perjalanan Ibadah Haji (BPIH) Petugas Haji Daerah Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp5,98 miliar yang terdapat dalam Biro Pendidikan dan Mental Spiritual DKI Jakarta atau anggaran penyediaan jasa tenaga pengemudi, perawatan, dan pemeliharaan KDO sebesar Rp 123 juta di Pusat Pengembangan dan Pelatihan Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk serta Keluarga Berencana.

Baca juga artikel terkait APBD DKI JAKARTA 2018 atau tulisan lainnya dari Mufti Sholih

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Mufti Sholih