tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mempelajari opsi menjemput paksa Fredrich Yunadi setelah tersangka kasus obstruction of justice itu mangkir dari pemeriksaan perdana pada Jumat (12/1/2018).
"Upaya-upaya atau tindakan-tindakan hukum itu [penjemputan paksa] alternatifnya kita pelajari," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK Jakarta hari ini.
Menurut Febri, KPK perlu melakukan pembicaraan lebih lanjut langkah yang dilakukan usai mantan pengacara Novanto itu mangkir dari pemeriksaan. KPK juga belum menjadwalkan ulang untuk pemeriksaan Fredrich.
Pada hari ini hanya Bimanesh dan Achmad Rudyansyah yang hadir dalam pemeriksaan KPK. Rudyansyah diperiksa sebagai tersangka Fredrich.
"Pihak-pihak yang menjadi bagian dari rangkaian peristiwa ini tentu kita konfirmasi apakah mereka yang ada di rumah sakit ataupun mereka yang juga menjadi pegawai di kantor tersangka FY," kata Febri.
Pada Rabu kemarin, KPK menetapkan Fredrich dan dokter RS Medika Permata Hijau Bimanesh Sutarjo sebagai tersangka. Mereka diduga menghalangi proses penyelidikan korupsi pengadaan e-KTP dengan tersangka Setya Novanto.
KPK menduga ada kejanggalan dalam perawatan Setya Novanto di RS Medika Permata Hijau. Fredrich dan Bimanesh diduga telah menyiapkan kamar perawatan sebelum Novanto kecelakaan pada 16 November 2017 malam. Kecelakan Novanto terjadi di hari yang sama saat KPK mendatangi rumahnya. Tujuan KPK ingin memastikan kondisi Novanto karena sehari sebelumnya mangkir dari pemeriksaan. Namun Novanto tidak di rumah. Ia malah dikabarkan mengalami kecelakaan.
Lantaran perbuatan ini, KPK menyangkakan keduanya melanggar Pasal 21 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur mengenai orang yang sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang terdakwa dalam perkara korupsi dapat dipidana maksimal 12 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Agung DH