tirto.id - Warga Pidie Jaya, Aceh mengalami trauma dan panik ketika gempa susulan terjadi. Jumlah warga di posko pengungsi meningkat pada malam hari karena warga tidak berani tidur di rumahnya.
Seperti di posko Masjid Al Istiqamah, di Desa Rhieng, Kecamatan Meureudu, Pidie Jaya, Aceh, jumlah pengungsi yang terdata sebanyak 1.100 jiwa, namun pada malam hari bertambah karena warga yang rumahnya tidak rusak atau hanya mengalami rusak ringan lebih memilih tidur di tenda pengungsian karena khawatir sewaktu-waktu gempa kembali mengguncang, sebagaimana dilaporkan Antara.
Salah satunya Dewi (30-an), yang mengungsi bersama korban gempa lainnya di posko pengungsian Masjid Al Istiqamah. Ia dan korban gempa lainnya berteduh di dalam tenda pemberian dari Kementerian Sosial. Tampak gurat kelelahan di wajahnya karena sudah beberapa malam pascagempa dia sulit memejamkan mata.
"Tidak bisa tidur, kondisi seperti ini dan masih sering gempa," ujar Dewi.
Selain Dewi, ada pula Meli yang masih gampang panik jika terjadi getaran. Meli akan menggenggam erat tangan kedua putrinya. Raut mukanya menjadi tegang, begitu pula wajah kedua putrinya yang masih duduk di bangku sekolah dasar.
"Masih sering gempa, jangankan anak-anak kita saja yang tua juga takut. Masih trauma," kata Meli.
Gempa susulan masih terus dirasakan pascagempa bumi dengan magnitudo 6,5 pada skala Richter yang terjadi Rabu (7/12/2016) menjelang subuh.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat gempa dengan magnitudo 5.0 SR pada Jumat (9/12/2016) pukul 16.49 WIB itu yang mengejutkan Dewi dan warga Pidie Jaya lainnya. BMKG mencatat, gempa merenggut 103 jiwa dan 8.000-an orang korban luka-luka baik ringan maupun luka berat semakin mengecil.
Untuk menghilangkan trauma terhadap bencana, Kementerian Sosial menurunkan tim psikososial yang memberikan penyembuhan trauma (trauma healing) dan trauma konseling.
Tim trauma healing juga mendirikan "Pondok Anak Ceria" di posko-posko pengungsi. Di Pondok Anak Ceria tersebut, anak-anak diajak belajar, bermain, bernyanyi, dan berbagai kegiatan kesenian lainnya sebagai bentuk terapi. Terapi tersebut bertujuan untuk menghibur anak-anak sehingga mereka bisa kembali ceria dan bebas dari rasa takut.
Pondok Anak Ceria, dikelola oleh para profesional yang terdiri dari psikolog, mahasiswa, dan relawan yang berkonsentrasi terhadap psikososial dan pertumbuhan anak ditengah bencana, guna mendukung dan memahami kebutuhan anak.
Sejak hari pertama bencana, Kemensos sudah mengirimkan tim terapi psikososial dan hingga saat ini sudah tiga tim yang diturunkan dengan melibatkan pemerhati anak, Kak Seto dan rekannya Kak Henny.
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa yang meninjau langsung ke posko pengungsi mengatakan
pemulihan trauma harus dilakukan seiring dengan proses tanggap darurat, bukan setelahnya karena saat-saat pascabencana para korban akan berada dalam kondisi labil, apalagi jika kehilangan keluarga saat bencana dan harus mengungsi.
Kemensos juga sudah mendeklarasikan Taruna Siaga Bencana (Tagana) psikososial yang mempunyai keahlian dalam menangani masalah terkait psikologis. Dari 33.000 anggota Tagana di seluruh Indonesia, terdapat 5.800 Tagana Psikososial yang siap diterjunkan ke lokasi bencana.
"Tagana psikososial selain punya keahlian dalam bidang evakuasi, mereka juga punya kemampuan untuk memberikan terapi psikososial dan trauma healing," kata Mensos.
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Mutaya Saroh