tirto.id - Usulan pemberian gelar pahlawan nasional Presiden kedua Republik Indonesia Soeharto mendapat tentangan dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Kontras menilai pemberian gelar itu tidak tepat dan bertentangan dengan konteks keadilan.
Menurut Wakil Koordinator Bidang Advokasi Kontras Yati Andriyani, Kontras mewakili korban pelanggaran HAM pada masa Orde Baru menilai Soeharto telah membatasi kehidupan masyarakat sipil pada waktu itu.
“KKN merebak yang dampak dan implikasinya masih terasa hingga kini," kata Wakil Yati Andriyani di Jakarta, Selasa (24/5/2016).
Yati menambahkan wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto sudah muncul beberapa kali seperti pada 2010. Ketika itu Soeharto lolos sebagai calon penerima gelar pahlawan oleh Kementerian Sosial.
Wacana kembali mencuat pada 2014 saat Capres Prabowo Subianto dalam janji kampanyenya menyatakan akan mengangkat mantan mertuanya itu sebagai pahlawan nasional.
Belakangan wacana itu kembali merebak ketika Munaslub Partai Golkar mengusulkan gelar pahlawan kepada “sesepuh” Golkar itu.
"Wacana itu menyabotase dan mencederai cita-cita reformasi di mana agenda utamanya adalah mengadili Soeharto dan kroninya karena Soeharto telah menciptakan sistem pemerintahan otoritarian dan sarat KKN," ujar Yati.
Yati menilai pada hakikatnya gelar pahlawan adalah bentuk penghormatan dan penghargaan serta simbol pengakuan kepada warga negara yang telah berjasa dan memberikan karya terbaiknya bagi bangsa dan negara.
"Seseorang yang layak diberikan gelar pahlawan dalam riwayat hidupnya tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan merusak nilai perjuangannya, namun Soeharto adalah sosok kontroversial sebagaimana pernyataan mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang mengatakan Soeharto itu jasanya besar tapi dosanya juga besar," tutur Yati.
Penulis: Agung DH
Editor: Agung DH