Menuju konten utama
Penyelesaian Kasus HAM Berat

KontraS Desak Kejagung Benahi Penyidikan Kasus HAM Berat Paniai

Fatia menyatakan dalih Kejaksaan Agung malah menunjukkan posisi negara yang mengabaikan suara korban dan publik sejak peristiwa terjadi.

KontraS Desak Kejagung Benahi Penyidikan Kasus HAM Berat Paniai
Kepala Divisi Advokasi dan Pembelaan HAM Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Arif Nur Fikri (kiri) bersama Kepala Divisi Advokasi Internasional Fatia Maulidiyanti (tengah) dan Kepala Biro Riset Rivanlee Anandar, menyampaikan keterangan pers terkait catatan 100 hari kinerja Jokowi-Ma'ruf dalam bidang HAM di Jakarta, Senin (27/1/2020). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/ama.

tirto.id - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak Kejaksaan Agung membenahi proses penyidikan pelanggaran HAM berat, termasuk yang sudah dilimpahkan ke pengadilan yakni peristiwa Paniai.

“KontraS menyesalkan abainya Kejaksaan Agung tidak menindaklanjuti sejumlah catatan publik utamanya para penyintas dan keluarga korban peristiwa Paniai," ujar Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti, via keterangan tertulis, Jumat, 22 Juli 2022.

KontraS juga mencatat buruknya kualitas penyidikan insiden Paniai ditandai dengan sejumlah kejanggalan. Keanehan kesatu, Kejaksaan Agung hanya menetapkan satu terdakwa inisial IS yang dianggap bertanggung atas peristiwa Paniai.

Padahal Komnas HAM sebagai penyelidik telah menyebutkan beberapa kategori pelaku yang perlu diusut, yakni Komando Pembuat Kebijakan, Komando Efektif di Lapangan, Pelaku Lapangan, dan Pelaku Pembiaran. Penggunaan pasal mengenai unsur rantai komando (Pasal 42 UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM) untuk kejahatan kemanusiaan dalam perbuatan pembunuhan (Pasal 9 huruf a UU 26/2000) dan penganiayaan (Pasal 9 huruf h UU 26/2000).

“Dalam dakwaan yang dilansir Kejaksaan Agung hanya mengungkap satu terdakwa adalah bentuk ketidakmampuan sekaligus ketidakmauan untuk mengusut tuntas dengan membawa siapapun aktor yang terlibat dalam peristiwa Paniai yang menewaskan sedikitnya 4 orang dan 21 orang luka-luka," terang Fatia.

Terdakwa IS hanya dijadikan “kambing hitam” dan Pengadilan HAM kasus Paniai hanya diproyeksikan sebagai bahan pencitraan pemerintahan Presiden Joko Widodo yang belum melaksanakan janji dan tanggung jawabnya menuntaskan pelanggaran HAM berat, kata dia.

Kejanggalan kedua, kata Fatia, Kejaksaan Agung tidak menyelenggarakan penyidikan yang transparan dan akuntabel lantaran tidak melibatkan Penyidik Ad Hoc (dimungkinkan dengan diatur dalam Pasal 21 ayat 3 UU 26/2000) dan juga minim melibatkan para penyintas dan keluarga korban sebagai pihak yang seharusnya didampingi dan diperjuangkan keadilannya.

Fatia menyatakan dalih Kejaksaan Agung malah menunjukkan posisi negara yang mengabaikan suara korban dan publik sejak peristiwa terjadi.

Ketiga, Kejaksaan Agung belum memenuhi hak para korban, penyintas dan keluarga korban Paniai. Koordinasi seharusnya dibangun antara Kejaksaan Agung, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam memberikan perlindungan dan memperjuangkan hak para penyintas dan keluarga korban.

Komunitas penyintas dan keluarga korban yang menyampaikan kekhawatiran atas proses hukum ini merupakan akumulasi dari buruknya penanganan situasi. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mengenai tingkat keseriusan, motif dan profesionalitas Kejaksaan Agung di balik proses penyidikan ini.

"Dengan berbagai fakta, kami berpandangan bahwa ST. Burhanudin dan jajaran di Kejaksaan Agung hari ini, bukan hanya menciptakan stagnasi melainkan juga memundurkan penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia," ucap Fatia.

Kejadian ini bermula pada malam 7 Desember delapan tahun silam, di Pondok Natal Bukit Merah, Kampung Ipakiye, Kabupaten Paniai, Papua. Tiga pemuda menegur seorang TNI yang mengendarai motor dari Enarotali menuju ke Madi, tanpa menyalakan lampu.

Imbasnya pertengkaran terjadi. Anggota TNI itu kembali ke pos dan membawa serta temannya, kemudian mereka diduga menganiaya seorang pemuda hingga pingsan. Keesokan harinya, masyarakat mendatangi kantor Polsek Paniai dan Koramil 1705-02/Enarotali meminta penjelasan peristiwa.

Mereka protes dengan cara menyanyi dan menari, lantas situasi memanas lantaran lemparan batu. Aparat merespons dengan tembakan: empat orang berusia 17-18 tahun tewas akibat luka tembak dan luka tusuk. 21 orang lain mengalami luka penganiayaan.

Pada 3 Februari 2020, Sidang Paripurna Khusus Komnas HAM memutuskan peristiwa Paniai pada 7-8 Desember 2014 sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat.

Baca juga artikel terkait TRAGEDI PANIAI atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz