Menuju konten utama

Komnas HAM dan Kejaksaan Diminta Buat MoU Penyelesaian Kasus HAM

Kejaksaan Agung dinilai tidak bisa terus menyatakan bahwa berkas bukti permulaan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu belum lengkap.

Komnas HAM dan Kejaksaan Diminta Buat MoU Penyelesaian Kasus HAM
Orang tua korban tragedi 98 ikut serta dalam aksi Kamisan di depan Istana Negara, Jakarta, Kamis, (18/5/2017). tirto/Andrey Gromico.

tirto.id - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Kejaksaan Agung diminta segera membuat perjanjian untuk mempercepat penyelesaian secara hukum kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Mantan anggota Komnas HAM Albert Hasibuan menyatakan perlu ada kesepakatan di antara kedua lembaga.

“Komnas HAM dapat membuat perjanjian atau peraturan dengan Kejaksaan, agar pemenuhan dan pelengkapan [bukti] itu disempurnakan oleh Kejaksaan,” ucap dia di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Senin (9/7/2018).

Sejauh ini, Komnas HAM telah merampungkan penyelidikan sembilan kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu. Namun, penanganan kasus-kasus itu masih mandek meski Komnas HAM sudah menyerahkan hasil penyelidikannya kepada Kejaksaan Agung.

Sembilan kasus itu ialah tragedi 1965, penembakan misterius (1982-1985), peristiwa Talangsari (1989), penghilangan aktivis secara paksa (1997-1998) dan kerusuhan Mei 1998.

Selain itu, tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II (1998-1999), kasus Simpang Kertas Kraft Aceh (1999), kasus Jambo Keupok (2003) dan peristiwa Wasior-Wamena (2003).

Kejaksaan Agung menilai bukti-bukti yang ditemukan Komnas HAM lemah. Kejaksaan berdalih fail-fail yang diserahkan Komnas HAM tidak cukup menjadi dasar untuk melanjutkan penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu ke pengadilan.

Namun, menurut Albert Hasibuan, Kejaksaan Agung tidak bisa terus-menerus menyatakan bahwa berkas bukti permulaan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu belum lengkap.

“Penyempurnaan pembuktian dikerjakan oleh Kejaksaan,” kata Albert yang menjabat sebagai anggota Komnas HAM pada periode 1993-2002.

Sementara Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan selama ini lembaganya hanya memiliki wewenang untuk menemukan bukti awal sebuah kasus. Komnas HAM tidak berwenang menggeledah maupun menyita dokumen yang bisa menjadi bukti kuat.

"Jika ada surat perintah dari Jaksa Agung, maka kami bisa turut serta membantu penyidikan," kata dia.

Taufan berharap agar pemerintah paham bahwa penyelesaian pelanggaran HAM adalah tuntutan rakyat sehingga perlu berperan dengan mendorong kejaksaan melakukan penyidikan.

Sedangkan Staf Ahli Kedeputian V Kantor Staf Presiden (KSP) Ifdhal Kasim meminta Komnas HAM maupun Kejaksaan Agung aktif memprakarsai solusi penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu.

“Komnas HAM dan Kejaksaan jangan saling menunggu. Salah satu jalan keluar bisa menggunakan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,” kata Ifdhal.

Menurut dia, berdasar undang-undang tersebut, Komnas HAM dan Kejaksaan Agung bisa membuat Memorandum of Understanding (MoU) tentang penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.

“Jalan keluarnya melalui UU, tidak bisa dengan permintaan dari eksekutif [pemerintah],” kata Mantan Ketua Komnas HAM periode 2007-2012 itu.

Jika kasus-kasus itu tidak kunjung dirampungkan, dia menambahkan, pemerintah dapat membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Baca juga artikel terkait KASUS HAM atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Addi M Idhom