Menuju konten utama

Kisah Atlet: Berpisah dengan Orangtua, Berkorban demi Kemenangan

Banyak yang dikorbankan oleh atlet, salah satunya adalah waktu dengan keluarga.

Kisah Atlet: Berpisah dengan Orangtua, Berkorban demi Kemenangan
Jonatan Christie memeluk ibunya yang menonton dirinya bertanding di final tunggal putra Bulutangkis Asian Games 2018 usai penyerahan medali emas di Istora Senaya, Jakarta, Selasa (28/8/18). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Selasa, 28 Agustus lalu, adalah hari yang membahagiakan bagi Jonatan Christie. Pemain tunggal putra badminton Indonesia tersebut berhasil meraih medali emas di Asian Games 2018 setelah mengalahkan pemain bulu tangkis Taiwan Chou Tienchen. Saking senangnya, ia melakukan selebrasi dengan membuka baju yang disambut dengan tepuk tangan dari penonton.

Selain penonton, kemenangan atlet yang akrab disapa Jojo itu juga membuat sang ibu, Marlanti Jaja, menangis penuh haru. Ia memberi pelukan hangat kepada Jojo usai pertandingan selesai di Istora Senayan, Jakarta. Sambil berurai air mata, Marlanti, seperti diliput Indosiar, mengucapkan terima kasih atas dukungan yang diberikan oleh masyarakat Indonesia.

“Saya berharap Jojo bisa lebih baik ke depannya. Saya kangen, saya rindu, sama anak saya. Jarang ketemu,” katanya, dan memeluk kembali Jojo.

Reaksi Marlanti yang merindukan anaknya itu menjadi bahan perbincangan warganet di media sosial. Para atlet olahraga memang harus menjalani karantina atau berlatih di pemusatan latihan tingkat daerah atau nasional untuk mempersiapkan diri mengikuti kompetisi. Walhasil, mereka jarang bertemu keluarga.

Kepada Tirto, mantan atlet nasional Finarsih mengatakan bahwa ia hanya punya kesempatan pulang satu hingga dua kali setahun saat ikut pemusatan latihan nasional atau pelatnas di Jakarta tahun 1987. “Karena ada target jadi hajar terus. Enggak boleh libur. Tapi mulai menjadi pemain senior mulai gampang karena ada uang jadi bisa pulang naik pesawat,” katanya sambil terkekeh.

Ia mengatakan bahwa dirinya terpilih masuk ke pelatnas saat ia duduk di bangku SMA. “Di sana kami dikarantina dan mempunyai jadwal latihan pagi dan sore setiap hari kecuali hari Minggu. Tapi, kami harus punya jadwal tambahan latihan sendiri agar bisa mengejar kemampuan pemain senior. Dan [dengan] latihan jangka panjang begitu saja belum tentu [jadi] juara,” ujarnya.

Hidup jauh dari orang tua tak hanya dialami Finarsih saat mengikuti Pelatnas saja. Ketika ia masih menjadi murid SMP di Yogyakarta, Finarsih mesti meninggalkan keluarganya untuk menjalani karantina di sekolah bulutangkis di Jember. Ia menceritakan betapa beratnya pergi dari rumah karena sebelumnya ia tak pernah berpisah dengan orangtuanya.

“[Kami] mau pulang saja, kan, takut. Ibu-bapak menangis waktu pertama kali [berpisah] dulu. Bapak mulanya sebulan sekali datang [menengok]. Lama-lama, ya, setahun sekali,” jelas atlet yang meraih medali perunggu pada Asian Games 1994 di Hiroshima, Jepang tersebut.

Selama bersekolah di Jember, Finarsih tak hanya latihan bulutangkis. Ia juga melanjutkan pendidikan SMP yang sempat terhenti karena pindah domisili. Finarsih pun mesti membagi waktunya antara bersekolah dan berlatih badminton setiap hari.

“Kami latihan rutin jam setengah 5 pagi bangun lalu jam 5 hingga jam 6 pagi latihan fisik. Terus sekolah jam 7 pagi lalu jam 2 siang latihan sampai jam 3 atau setengah 4. Istirahat kemudian latihan dari jam 5 sore sampai jam 9 malam,” jelasnya.

Apa yang dirasakan Finarsih juga dialami atlet dari cabang olahraga lain. Atlet renang indah Rosa Palmastuti mengisahkan pengalaman dirinya sewaktu mengikuti pelatnas untuk Sea Games tahun 2015.

“Pemusatan latihan itu biasanya antara enam bulan sampai satu tahun. Waktu dan hidup memang untuk latihan. Dealing pertama adalah tanggung jawab yang enggak main-main karena kami masuk pemusatan latihan dibiayai oleh APBN. Kedua, tekanan latihan tiap hari terus jenuh dan jauh dari keluarga juga,” jelasnya.

Infografik Berpisah Karena Karantina

Menurut Sekretaris Umum Pengurus Daerah Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) DIY Sukiman Hadiwijojo, karantina atau pemusatan latihan pada dasarnya diselenggarakan untuk memastikan atlet lebih fokus pada pertandingan yang akan dihadapi. Selain itu, pemusatan latihan dan karantina juga diadakan agar kesehatan atlet dan dijaga dan menyiapkan kekompakan antara atlet satu dengan yang lain.

Ia bercerita bahwa atlet badminton yang mengikuti pelatnas untuk menghadapi kejuaraan selevel Asian Games harus melakukan latihan intensif pagi hingga sore selama sembilan bulan. Pola makan mereka pun diatur sesuai dengan arahan dokter gizi agar kesehatan para atlet tetap prima.

Sukiman menjelaskan kemampuan pemain dalam menghadapi pertandingan serta kesiapan fisik dan mental adalah tiga hal yang diajarkan pada atlet saat mereka dikarantina atau mengikuti pusat latihan. Ia mengatakan aspek mental perlu mendapat perhatian khusus sebab kunci kemenangan olahraga, khususnya bulu tangkis, ada di ketahanan mental para atlet.

“Kami punya atlet bagus tapi juara tidak pernah itu banyak. Jadi mental sekarang justru penting,” tegasnya.

Para atlet memang menjadi jarang bertemu dengan keluarga selama menjalani pemusatan latihan. Pengurus PBSI DIY pun memberikan waktu khusus agar mereka bisa berkumpul bersama keluarga. Namun, hal tersebut tak bisa berlangsung lama. Bagaimanapun, fokus atlet dibutuhkan untuk latihan, supaya mereka bisa menjadi juara di lapangan.

Baca juga artikel terkait ASIAN GAMES 2018 atau tulisan lainnya dari Nindias Nur Khalika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Nindias Nur Khalika
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Maulida Sri Handayani