tirto.id - Pada 2009, Robert Langreth dan Matthew Herper menulis sebuah laporan panjang tentang Monsanto, perusahaan yang memfokuskan diri dalam pengembangan organisme dengan rekayasa genetika (GMO). Laporan yang dimuat Forbes itu menunjukkan bahwa Monsanto, meski sukses secara finansial, gagal membentuk citra baik. Di Eropa, Monsanto disebut sebagai perusahaan iblis karena melakukan rekayasa genetika terhadap jagung dan kedelai yang dianggap bisa merusak ekologi.
Monsanto menjual benih dengan nilai $7,3 miliar pada 2009. Saat itu perusahaan ini bernilai sebesar $44 miliar. Belum ada perusahaan benih dunia yang mampu menyaingi kedigdayaan Monsanto. Rival terdekatnya, DuPont, hanya mampu menjual benih seharga $4 miliar. Pengembalian dan kenaikan keuntungan pun naik stabil 18 persen lima tahun sebelumnya. Capaian itu membuat Forbes menahbiskan Monsanto sebagai perusahaan terbaik pada 2009 karena dianggap mampu mengelola bisnisnya dengan baik.
Tapi, pengelolaan bisnis yang baik itu tidak diimbangi dengan pengelolaan citra perusahaan yang baik pula. Pelbagai bibit organisme hasil rekayasa genetis yang dibuat Monsanto menjadi polemik dan menuai protes di seluruh Eropa. Zambia, yang pada 2002 mengalami wabah kelaparan, menolak donasi jagung karena diperkirakan mengandung benih milik Monsanto.
Di Indonesia, Monsanto pernah juga menjadi perhatian karena melakukan pelanggaran hukum dari 1997 sampai 2002. Tindakan itu menyangkut dugaan suap dengan nilai total sedikitnya $700.000 kepada sejumlah pejabat pemerintah Indonesia selama kurun waktu tersebut. Pembayaran ini didanai antara lain melalui penjualan produk pestisida ang dijual secara tidak resmi, tidak dicatat dengan semestinya, serta digelembungkan harganya.
Pihak Monsanto menyalahkan mitra usaha mereka di Indonesia, dan menyebut mereka melanggar prosedur, kontrol, dan kebijakan akuntansi yang berlaku di Monsanto. Atas tindakan penyuapan itu Monsanto membayar denda $1,5 juta atas pelanggaran Undang-Undang Praktik Korupsi Asing (FCPA) di Amerika. Tapi, skandal ini bukan yang pertama dan terakhir kali. Pada 2004, Monsanto juga dituntut perusahaan agrikultur terbesar dunia asal Swiss atas tuduhan monopoli. Kasus ini mencapai kesepakatan bersama pada 2008 di pengadilan Amerika Serikat.
Setiap Mei, sejak 2013 ribuan environmentalis dan aktivis lingkungan dunia melakukan protes tahunan yang disebut "March Against Monsanto." Tahun depan aksi melawan Monsanto diperkirakan akan membesar seiring merger dengan perusahaan farmasi Jerman: Bayer. Saat isu merger terjadi, petisi penolakan pembelian perusahaan ini muncul. Hingga berita ini diturunkan, sudah ada 532.461 penandatangan yang menolak pembelian ini. Di Belgia para aktivis memohon agar Uni Eropa membatalkan pembelian tersebut.
Meski Monsanto sudah menuai banyak polemik, mulai dari tuduhan keterlibatan dalam perusakan ekologi, penggunaan bahan kimia berbahaya, dan masalah hukum, Bayer tak peduli dan tetap melanjutkan pembelian perusahaan itu senilai $66 miliar: sebanyak $56 miliar dalam bentuk saham dan $10 miliar lainnya dengan melunasi utang Monsanto. Ini bukan pembelian perusahaan pertama yang dilakukan Bayer. Sebelumnya, mereka membeli perusahaan kimia dan farmasi asal Amerika Merck & Co dengan nilai $14,2 miliar.
Mengapa Bayer yang sukses mengembangkan lini bisnis farmasi dan kimia beralih ke Bayer? Antoine Gara, staf Forbes menyebut pembelian ini adalah usaha Bayer untuk meningkatkan skala produksi bibit, perlindungan tanaman, dan produk agrikultur, terkait sayuran serta pangan di masa depan. Sebelum merger ini Bayer memiliki anak perusahaan Bayer CropScience yang berfokus pada pengembangan produk pertanian. Pembelian Monsanto kemungkinan akan melebur dua perusahaan ini dan menjadikannya lini bisnis baru yang lebih menguntungkan.
Bayer merupakan perusahaan farmasi besar asal Jerman yang terkenal dengan produk semacam Aspirin, Alka-Seltzer, Claritin, tabir surya Copportone, dan Xarelt. Sementara Monsanto, meski banyak diprotes, dikenal sebagai penyedia jasa benih dan produk pertanian yang digunakan petani di seluruh dunia. Produk-produknya antara lain adalah benih jagung, kedelai, dan gandum. Di Indonesia, Monsanto diwakili perusahaan benih PT. Branita Shandini. Monsanto menginvestasikan dana sebesar $40 juta untuk pengembangan benih jagung hibrida dan benih jagung transgenik di Mojokerto, Jawa Timur.
Menariknya, di negara asal Bayer, Jerman, GMO merupakan hal tabu. Pemerintah setempat menolak segala produk GMO. Di Eropa, produk pembunuh rumput dari Monsanto, Glyphosate, diprotes karena mengandung bahan kimia yang berbahaya. Aktivis lingkungan di sana berusaha untuk melarang peredaran produk ini. Produk benih GMO Monsanto juga dilarang di Eropa karena adanya moratorium yang dilakukan Uni Eropa, meski benua ini masih mengimpor produk pertanian hasil GMO dari benih Monsanto
Koran lokal Jerman, Frankfurter Allgemeine Sonntagszeitung, seperti disebut Deutch Welle (DW), diperkirakan akan menghilangkan nama Monsanto dan menggunakan nama Baye. Bayer sendiri bukannya tidak pernah tersandung masalah. DW menyebut perusahaan Jerman itu diduga melakukan hal serupa Monsanto, namun mereka berhasil lolos dari persepsi negatif publik karena membangun citra yang baik. Jan Perhke, anggota Coalition Against Bayer-Dangers, mengatakan meyakinkan masyarakat bahwa produk pestisida Bayer sama berbahayanya dengan Monsanto adalah hal yang sulit.
Jan Perhke mengkhawatirkan merger yang dilakukan Bayer akan menghilangkan skandal, tuduhan, dan juga kontroversi terkait produk GMO yang selama ini identik dengan Monsanto. Dengan kekuatan lobi yang besar dari Bayer, bukan tak mungkin moratorium penyebaran produk GMO akan dicabut. Pihak Bayer seperti yang dikutip dari DW menyatakan mereka bersedia bertemu dengan para environmentalis dan aktivis lingkungan terkait produk mereka di masa depan. CEO Bayer, Werner Baumann, menjamin produk mereka akan distandardisasi dan diawasi mutunya secara ketat.
Soal merger, Bayer dan Monsanto tidak sendiri. Beberapa perusahaan agrikultur dunia juga melakukan hal serupa. Perusahaan pupuk Kanada Agrium mengumumkan melakukan merger dengan perusahaan Kanada lain Potas Corp pada September ini. Pada Februari lalu, perusahaan asal Cina ChemChina membeli Syngenta. Perusahaan kimia lain asal Amerika Dow dan DuPont mengumumkan merger dengan nilai $130 miliar yang diperkirakan akan mengendalikan 40 persen pasar bibit jagung dan kedelai di Amerika Serikat.
Merger Bayer dan Monsanto bukannya tidak menghadirkan reaksi negatif di pasar benih dunia. Robert Lawrence, profesor di Johns Hopkins School of Medicine dan Direktur Center for a Liveable Future, menguatirkan merger itu. Seperti yang dikutip MarketWatch, Lawrence menduga akan ada dampak negatif seperti pengendalian harga pestisida, pupuk, benih, dan juga produk pertanian lain. Produsen lokal juga akan tersapu karena kalah modal dan bukan tak mungkin benih-benih lokal akan tergantikan benih GMO. Jika Bayer menaikkan harga benih, petani akan semakin tercekik petani dan mereka akan tergantung pada produsen besar seperti Bayer.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Maulida Sri Handayani