tirto.id - Stasiun luar angkasa Tiangong-1 milik Cina terus dipantau pergerakannya. Bukan karena tengah menjalani misi atau menerima pendaratan pesawat luar angkasa, tapi lantaran stasiun itu tengah “pulang” ke bumi. Stasiun luar angkasa berbobot 8,5 ton ini akan jatuh ke bumi sebagai barang rongsokan.
Sejak Maret 2016 Tiangong-1, yang secara harafiah berarti “istana surgawi”, sudah berhenti mengirim data ke bumi. Masa tugasnya telah berakhir. Pihak otoritas Cina terus memantau bangkai Tiangong-1 yang diklaim dalam kondisi stabil dengan ketinggian rata-rata sekitar 244,5 kilometer antara tanggal 4 sampai 11 Maret lalu.
Belum dapat dipastikan kapan stasiun yang diorbitkan sejak pada 29 September 2011 ini bakal menghujam bumi. Namun menurut pemantauan dan prediksi terkini yang dilansir Guardiandari European Space Agency (ESA), stasiun itu akan jatuh ke bumi sekitar 24 Maret hingga 19 April.
“Tak mudah mempredikisi kapan Tiangong-1 bakal masuk, bahkan lebih sulit lagi memperkirakan lokasinya,” terang Andrew Abraham kepada NBC News. Abraham adalah anggota staf teknis Aerospace Corporation, sebuah lembaga riset yang didanai pemerintah federal AS.
“Satu hal yang kita tahu, Tiangong-1 akan masuk ke orbit bumi antara 43 derajat ke utara dan 43 derajat lintang selatan, namun di luar itu kita tidak tahu di mana persisnya”.
Dengan ukuran seluas itu, artinya daerah yang berpotensi kejatuhan bangkai Tiangong-1 adalah kawasan Amerika Utara, Amerika Selatan, Cina, Timur Tengah, Afrika, Australia, sebagian Eropa, Samudra Pasifik, dan Samudra Atlantik. Wilayah Indonesia bisa masuk sebagai zona spekulasi jatuhnya serpihan Tiangong-1, terutama di daerah dekat Samudra Pasifik.
Dengan bobot 8,5 ton, bangkai Tiangong-1 tentu tidak akan menghujam bumi dengan massa yang utuh. Ketika memasuki atmosfer ia akan bergesekan hebat dan terbakar hingga pecah jadi bongkahan dan serpihan yang lebih kecil. Analisis dari Aerospace menyatakan bahwa risiko seseorang terkena atau terluka puing Tiangong-1 diperkirakan satu banding satu triliun.
Pemantauan terhadap pergerakan Tiangong-1 juga dilakukan oleh pihak Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Dilansir dari Antara, Thomas Djamaluddin selaku Kepala LAPAN menuturkan bahwa kejatuhan Tiangong-1 tidak dapat dicegah dan hanya perlu diwaspadai potensi bahayanya.
Thomas Djamaluddin menegaskan bahwa kecil kemungkinan serpihan jatuh ke daerah permukiman. Kawasan yang membentang antara 43 derajat ke utara dan 43 derajat lintang selatan umumnya berupa hutan, lautan, atau gurun.
Sementara itu, pakar Aerospace Pang Zhihao mengatakan kepada media lokal Cina People’s Daily bahwa umumnya pesawat luar angkasa besar yang sudah pensiun dan jatuh ke bumi jatuh di sekitar Samudera Pasifik bagian selatan. Daerah itu yang dijuluki kuburan pesawat luar angkasa—termasuk stasiun luar angkasa MIR milik Soviet dan Observatorium Ray Compton Gamma milik AS—adalah wilayah yang jauh dari daratan.
Tonggak Sejarah Cina
People’s Daily menyambut Tiangong-1 sebagai tanda pengembangan lebih lanjut program luar angkasa Cina. Jika melihat rekam jejak ambisi luar angkasa Cina, yang dikatakan People's Daily terasa sangat masuk akal.
Stasiun luar angkasa adalah proyek besar. Sejauh ini hanya ada dua raksasa dunia yang sanggup mewujudkannya, yakni Rusia sejak Uni Soviet dan Amerika Serikat. Perlombaan luar angkasa juga dilatarbelakangi oleh konteks persaingan kekuatan pasca-Perang Dingin.
Rusia adalah negara pertama yang berhasil mengirimkan pangkalan luar angkasa bernama Salyut pada 1971. Kesuksesan ini berlanjut dengan peluncuran stasiun luar angkasa lainnya bernama Almaz (1973-1976), dan terakhir MIR (1986-2001) yang lebih besar dan canggih.
AS sendiri baru mengirimkan stasiun luar angkasa bernama Skylab pada 1973. Stasiun ini bertugas sampai 1979 di bawah kendali National Aeronautics and Space Administration (NASA).
Stasiun-stasiun dari tahun 1970an dan 1980an itu kini sudah tak beroperasi. Kehadirannya digantikan oleh International Space Station (ISS), sebuah proyek gabungan untuk mewujudkan stasiun luar angkasa raksasa sebagai tempat riset bersama. Stasiun ini pertama kali diluncurkan pada 20 November 1998. Kini, ISS adalah adalah rumah bagi lima badan antariksa dunia asal Jepang, Rusia, Kanada, Uni Eropa dan AS.
Kesuksesan Cina meluncurkan Tiangong-1 pada 2011 memperkuat status mereka sebagai negara adikuasa baru, kendati terlambat sekitar 40 tahun. Agar branding-nya kuat, Cina memilih mengembang stasiun sendiri, tanpa bergabung dengan ISS dan tidak dibantu pihak luar manapun. Langkah ini terbukti berhasil.
Seluruh aktivitas luar angkasa Cina bernaung di bawah China National Space Administration (CNSA) yang semula bernama Project 921. Dikutip dari Air & Space, meski ambisi riset luar angkasa Cina sudah dimulai sejak tahun 1970-an, tetapi baru pada tahun 1990-an mereka lebih serius untuk melanjutkan proyek luar angkasa.
Dilansir dari BBC, sebelumnya pada 2007 Cina sukses menempatkan satelit Chang-e 1 di orbit bulan dan melakukan survei di sana selama dua tahun. Jika tak ada aral melintang, sebuah teleskop luar angkasa yang dinamakan Xuntian ("penjelajah surgawi") juga dijadwalkan akan diluncurkan sekitar tahun 2022.
Kini tugas Tiangong-1 diambil alih oleh Tiangong-2 yang diluncurkan pada 15 September 2016. Selama beroperasi, Tiangong-1 telah tiga kali menerima misi pendaratan pesawat luar angkasa. Dua diantaranya adalah Shenzhou-9 dan Shenzhou-10 yang mengantarkan para astronot Cina melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan di angkasa.
Dilansir dari IB Times, Tiangong-2 memiliki ruang untuk dua astronot dengan sistem yang mampu menopang hidup awak selama 30 hari. Demi mengejar kelengkapan yang dimiliki ISS, kapasitas ruangan dan performa Tiangong-2 terus dikembangkan.
Cina mengakhiri tahun 2017 dengan 18 kali peluncuran misi ke luar angkasa. Jumlah ini turun dari 22 misi luar angkasa pada 2016. Kendati demikian, dalam kuantitas peluncuran ke luar angkasa pada 2017, Cina berada di peringkat ketiga setelah Rusia (20 kali peluncuran) dan AS (29 kali).
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf