tirto.id - Di bawah kepungan Andrea Pirlo dan De Rossi, pemain yang diharapkan seluruh Prancis mampu membawa pulang kembali Piala Dunia untuk kali kedua dalam sejarah ini tetap mampu memberikan operan kepada Willie Sagnol. Gerakannya sederhana, lembut, namun semua tahu bahwa gerakannya yang seperti penari balet ini justru merupakan gerakan berbahayanya.
Tanpa kawalan yang berarti, Sagnol lalu memberi umpan silang diagonal yang membelah pertahanan Italia. Di sana ada Florent Malouda dan David Trezeguet yang siap menyambut. Marco Materazzi dan Fabio Cannavaro sudah mempersiapkan segala kemungkinan. Dua pemain Prancis di dalam kotak penalti Italia ini tidak mungkin lolos.
Bola kiriman Sagnol melayang melewati kepala-kepala pemain bertahan Italia. Dalam kondisi di mana seperti tidak ada yang akan menerima bola, Zinedine Zidane, pemain yang tadi melakukan kreasi atas serangan ini, tiba-tiba sudah berada dalam kotak penalti tanpa pengawalan sama sekali. Pemain berusia 34 tahun saat Final Piala Dunia 2006 itu bebas sebebas-bebasnya. Melompat dengan tenaga dan timing yang sangat tepat, menyambut bola dengan tandukan keras pada menit 104 babak pertama masa perpanjangan.
Lalu ingatan berputar kembali. 1998, di Stade de France. Gawang Brasil. Gelar dunia dipersembahkan Zidane untuk negaranya melalui dua tandukan. Satu tandukan mempenundangi Ronaldo Nazario Luiz Da Lima, satu tandukan melewati selangkangan Roberto Carlos. Gelar Piala Dunia kedua sepertinya akan kembali pulang ke negara Jules Rimet.
Bola terbang dari kepala Zidane dengan putaran parabolik yang sempurna. Menjauhi hadangan semua pemain di dalam kotak penalti. Akan jadi kemenangan yang sempurna bagi Zidane. Satu gol dari sebuah tendangan panenka di awal pertandingan, satu lagi gol tandukan yang sedang dalam proses. Dua gol yang akan terasa brilian. Pesta di Berlin malam itu akan terasa sempurna bagi Zidane sama seperti pestanya di Paris delapan tahun silam. Akhir kariernya bakalan luar biasa.
Bola mendekati jaring gawang Italia. Jalurnya sudah bisa ditebak menjadi gol. Saat semua suporter Prancis siap bersorak dan tifosi Italia sudah khawatir. Sebelah tangan berkaos tangan dengan label logo Puma menahan bola. Bola yang untuk sepersekian detik berhenti di garis gawang Italia. Dalam pertarungan putaran bola dan timing, tangan kanan itu bertarung sendirian. Ia tidak mendapatkan bantuan dari tangan kiri karena waktu sudah begitu mendesak.
Tidak mau terbawa masuk bersama bola, tangan kiri melakukan satu-satunya hal yang bisa dilakukan untuk membantu tangan kanan menyelamatkan gawang. Yakni membantu tubuh untuk melakukan putaran sekuat tenaga guna—alih-alih—melawan putaran bola, namun memanfaatkannya. Mengikuti alirannya kemudian menambahnya. Semakin memperbesar tenaganya. Membuat bola serangan Zidane ini menjadi terlalu besar kekuatannya lalu membelokkannya ke arah langit. Melayang ke udara begitu tinggi, lalu turun di belakang gawang.
Sedetik sebelumnya, semua hampir yakin bahwa skor akan berubah jadi 2-1 untuk keunggulan Prancis. Lalu tiba-tiba semua tersadar bahwa gawang Italia terselamatkan. Selamat dari serangan yang mengerikan seperti itu. Lalu, setelah tersungkur di rumput, di depan gawang berdiri sosok yang baru saja melakukan penyelamatan dramatis dengan genggaman tangan dan gigi yang geram begitu emosional. Sosok yang akan mengangkat trofi di akhir pertandingan dengan teriakannya ke arah Zidane. Sosok itu bernama Gianluigi Buffon.
“Terbaik?” tanya Buffon, saat ditanya penyelamatan apa yang menurut legenda Juventus ini sebagai penyelamatan terbaiknya. “Hmmm, yang melawan Zidane. Ya, mungkin itu adalah aksi penyelamatan saya paling krusial dalam karier saya. Meskipun saya tidak yakin, apakah itu benar-benar yang terbaik,” Buffon masih tidak yakin dan mengerutkan keningnya, “Saya tidak tahu, tapi, ya, penyelamatan itu benar-benar yang paling penting.”
Lebih dari sebelas tahun kemudian, Sabtu 25 Maret 2017, pemain yang pernah juga menjuarai gelar Serie B ini baru saja menuntaskan rekor karier 1.000 laga profesionalnya. Menjadi kapten Italia saat menjamu Albania di Stadion Renzo Barbera, kandang Palermo. Pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2018 yang berakhir atas kemenangan Italia 2-0. Kiper 39 tahun ini, menjalani laga ke seribu dengan catatan bersih, tanpa kebobolan. Buffon menjalani 220 pertandingan bersama Parma, 612 pertandingan bersama Juventus, dan 168 pertandingan bersama timnas Italia.
“Ketika kiper normal membuat kesalahan, ada yang mengatakan ‘itu tidak apa-apa’, maka ketika Buffon yang melakukan kesalahan, itu baru berita,” ujar Marcelo Lippi, “Anda tidak bisa berdebat tentang Buffon. Buffon adalah Buffon, yang nomor satu,” tambah pelatih yang membawa pulang Piala Dunia 2006 untuk Italia ini.
Pemain yang ingin mengakhiri kariernya—dengan bercanda tentu saja—pada usia 65 tahun ini menjalani debut di Parma saat Edwin Van Der Sar masih dengan jersey warna-warni seperti kain daur ulang bersama Juventus, Peter Schemeichel masih sering muncul di halaman awal koran dengan penyelamatan-penyelamatan berisikonya bersama Manchester United, atau David Seaman, kiper tipikal dua dimensi yang masih sering kecolongan bola lob saat mengawal gawang Inggris maupun Arsenal.
Pada debutnya di Serie A pada 19 November 1995, Pelatih Parma, Nevio Scala tidak percaya dengan yang dilihatnya, “Saya harus terus bertanya kepada staf saya, apakah mereka melihat hal yang sama seperti saya?” Buffon memulai debut pada usia 17 tahun dan menjaga gawang Parma tetap perawan dari serangan penyerang AC Milan legendaris: Roberto Baggio dan George Weah.
Sejak saat itu, prediksi bahwa Buffon akan menjadi kiper berikut Italia di masa depan menggantikan karier singkat Gianluca Pagliuca sudah mengemuka. Apalagi setelah Anggelo Peruzzi sudah mulai memasuki masa-masa pensiun.
“Fakta bahwa Buffon memulai kariernya begitu muda sebenarnya cukup banyak membantu saya,” kata Iker Casillas, kiper yang punya periode karier yang sama dengan Buffon. Sama-sama muncul sebagai pemain muda yang menyingkirkan kiper utama timnas negaranya masing-masing. Buffon menyingkirkan Peruzzi, Casillas menyingkirkan Santiago Canizarez.
“Melihat kiper muda dengan catatannya di Parma dan bermain untuk Italia karena pelatih percaya akan dirinya, memberi Anda keyakinan bahwa Anda juga bisa melakukannya. Saya waktu itu juga sangat muda, 17 atau 18 tahun, dan kami berdua masih melanjutkannya. Setiap kami berhadapan, kami selalu punya obrolan menyenangkan,” tambah legenda Real Madrid yang saat ini memperkuat FC Porto.
Sepanjang kariernya yang luar biasa, Buffon, sampai sekarang, masih tercatat sebagai satu-satunya kiper termahal di dunia. Nama-nama kiper dengan bakat dan kemampuan hebat telah muncul. Manuel Neuer, David De Gea, atau Thibaut Courtois, tapi selama 16 tahun,rekor transfernya £ 32,6 juta pada 2001 dari Parma ke Juventus tetap belum patah.
Rekor yang juga menegaskan betapa, sampai dengan era sepakbola modern seperti ini, tidak ada sosok yang bisa membuat sebuah klub terus mempertahankan pemain (hampir) berkepala empat selain Buffon di level tertinggi sepak bola. Paling tidak, lihat dengan apa yang terjadi pada Casillas di Madrid sebagai pembanding.
Melihat rencana cerita Buffon untuk timnas yang masih akan terus berlanjut sampai Piala Dunia 2018, maka bisa jadi rencana Buffon untuk bermain sampai usia 65 tahun di klub benar-benar akan jadi kenyataan. Jumlah pertandingannya tentu akan berada di angka lebih dari 1.000 pertandingan pada akhir kariernya nanti. Jumlah pertandingan yang juga merekam penyelamatan-penyelamatan yang tidak hanya akrobatik, namun juga krusial.
Dan mengutip pernyataannya setelah bermain cukup gemilang saat membawa Italia menang 1-0 melawan Bulgaria pada kualifikasi Piala Dunia 2014, “Saya tidak tahu mengapa Anda masih saja terkejut,” dengan seribu penampilannya.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Ahmad Khadafi