tirto.id - Semua sepakat, bahasa adalah kunci kehidupan—sedari lingkup keluarga hingga politik, berkarir, semuanya. Bahasa dan kehidupan lahir bersamaan, tidak akan meninggalkan satu dengan yang lainnya.
Dalam ranah politik, barang siapa menguasai bahasa, dia telah menaruh satu kaki pada sisi kemenangan kuasa. Kala Belanda bercokol kuat di Nusantara, bahasa menjadi salah satu alat politiknya, medium berkomunikasi dengan kerajaan-kerajaan tempatan, seperti Dinasti Mataram (Surakarta dan Yogyakarta).
Dalam konteks Pulau Jawa, eksistensi VOC—kemudian negara kolonial Hindia Belanda—dan politiknya banyak terbantu oleh peran para penerjemah.
Belanda setidaknya selalu menempatkan para penerjemah, terutama yang ahli bahasa Jawa, di dua kota keraton dan kantor-kantor keresidenan. Para penerjemah ini umumnya berposisi sebagai juru tulis. Urusan-urusan surat dinas, korespondensi, dan laporan lokal selalu melibatkan para ahli bahasa tersebut.
Pada awal abad ke-19, kebutuhan akan tenaga penerjemah semakin tinggi, terlebih ketika Perang Jawa pecah (1825-1830). Perundingan antara Laskar Diponegoro dan pihak Belanda di medan pertempuran tidak dilakukan oleh penerjemah resmi, alih-alih dilakukan oleh Kapten J.J. Roeps yang sudah mahir dan fasih dalam berbahasa Jawa.
Setelah itu, posisi penerjemah menjadi semakin penting seiring dengan makin intensnya komunikasi politik antara penguasa-penguasa Vorstenlanden dan Belanda.
Bahkan, Vincent Houben dalam artikel “Menerjemahkan Jawa Ke Eropa: Kiprah Keluarga Winter”(2009) mencatat bahwa peran mediator dan penerjemah tidak lagi terbatas pada konteks situasi resmi atau politis saja. Penerjemah juga masuk ke ranah pergaulan sosial informal, juga telah melebar ke komunitas Tionghoa dan Eurasia (Indo).
Penerjemah—resmi maupun takresmi—lantas makin sering dipekerjakan untuk melancarkan perundingan-perundingan politik dengan tujuan tertentu.
Sampai-sampai, menurut Ulbe Bosma dan Remco Raben dalam Being “Dutch” in the Indies (2008), profesi penerjemah atau penekun bahasa jadi “tradisi keluarga”. Klan Winter adalah salah satu keluarga yang masyhur sebagai penerjemah.
Anak-turun dari klan ini dikenal sebagai penekun bahasa Jawa, mulai dari Johannes Wihelmus Winter, Carel Friedrich Winter Senior dan Junior, hingga Gustaaf Winter dan beberapa anggota klan Winter yang lain.
Kiprah Keluarga Winter
Sejarah klan Winter dimulai dari Johannes Wilhelmus Winter. Semula, Johannes dan keluarganya tinggal di Yogyakarta. Lalu sekira 1806, Johannes diangkat menjadi penerjemah resmi pemerintah kolonial dan ditugaskan ke Surakarta.
Putra Johannes, Carel Friedrich Winter, pun mengikuti jejak ayahnya sebagai penerjemah. Sejak kecil, Carel yang lahir di Yogyakarta, 5 Juli 1799, ini sudah disiapkan untuk meneruskan jejak sang ayah.
Tutor privat didatangkan langsung dari Eropa. Johannes pun turun langsung mengajari Carel Friedrich, mulai dari tulis-menulis dasar hingga penguasaan bahasa Melayu dan Jawa. Tak hanya itu, dia juga berguru pada pujangga Jawa Ronggowarsito.
“Pada 1818, Carel Friedrich sudah mendampingi ayahnya sebagai asisten penerjemah. Ketika ayahnya hijrah ke Semarang pada 1825, dia tetap tinggal di Surakarta sebagai penerjemah,” tulis Bosma dan Raben (hlm. 116).
Carel Friedrich berkembang seperti apa yang diinginkan Johannes, bahkan boleh dibilang melampauinya. Para pembesar Belanda di Surakarta merasa puas pada kinerja Carel Friedrich.
Sebagaimana dicatat Houben (hlm. 1070), Residen Surakarta Hendrik Mauritz McGillivray pada 1832 berujar:
“Untuk urusan bahasa Jawa tak diragukan lagi dialah pegawai pemerintah yang paling cakap, di samping itu dia seorang pesuruh yang berguna dan berharga. Jika dia dapat menunjukkan lebih banyak wawasan dan kesungguhan dalam melaksanakan tugasnya, maka sempurnalah dirinya.”
Selain sebagai penerjemah, Carel Friedrich juga bekerja sebagai instruktur bahasa Jawa bagi calon-calon pegawai kolonial di Instituut voor de Javaansche Taal. Namun, Carel Friedrich kehilangan posisinya kala lembaga itu ditutup pada 1843.
Prestasi dan kedekatannya dengan Gubernur Jenderal dan Profesor Bahasa Jawa Taco Roorda, membuat Carel Friedrich disegani. Bahkan, dia akhirnya diberi pangkat radikaal—yang biasanya diberikan khusus kepada lulusan sekolah tinggi pegawai di Delft.
Sepeninggal Carel Friedrich, tongkat estafet kemudian dipegang oleh sang anak C.F. Winter Junior. Lahir pada 1822, C.F. Winter Junior mengasah kemampuannya dan belajar di Instituut voor de Javaansche Taal.
Meski kemampuannya dinilai belum semumpuni sang ayah, dia tetaplah juru bahasa yang mahir—malah nisbi lebih mahir daripada penerjemah-penerjemah lulusan Belanda.
“Pada tahun 1841 dia diterima magang sebagai penerjemah di Solo, lalu menggantikan kedudukan ayahnya yang meninggal pada awal tahun 1859, dan tetap memegang jabatan ini sampai tahun 1865,” tulis Houben dalam artikelnya.
Selain J.W. Winter, C.F. Winter Senior dan Junior, klan ini masih punya beberapa nama yang eksis pula sebagai penerjemah. Misalnya, Gustaaf Winter—anak C.F. Winter Senior yang lain—yang dikenal sebagai salah satu redaktur media massa.
Ada pula F.L. Winter yang mulai berkarir sejak 1860. Lalu ada C.D. Winter yang pada 1869 disebut magang di Surakarta. Namun, tidak seperti mendiang Carel Friedrich, mereka kurang dikenal.
Jejak Karya
Menurut Houben, keluarga Winter secara informal punya peran penting sebagai perantara antara elite kolonialis Belanda dan aristokrat Jawa. Mereka bertindak sebagai informan bagi kedua pihak.
Bagi pihak kolonialis Belanda, Winter menyediakan laporan-laporan detail terkait masalah-masalah internal di keraton. Di saat bersamaan, mereka bisa berakrab-akrab dengan para penguasa dan pujangga Jawa.
“Karena mereka menyampaikan informasi ke dua arah (Jawa dan Belanda), maka fungsi penerjemahan pun berubah menjadi proses mediasi sepenuhnya,” tulis Houben.
Selain sebagai informan, peran penting lain yang dimainkan klan Winter adalah sebagai pionir filologi Jawa. Jejaknya sudah dimulai oleh J.W. Winter yang menulis risalah tentang Kasunanan Surakarta.
Kendati J.W. Winter telah menyelesaikan naskahnya pada 1824, risalah itu baru terbit pada 1902.
Carel Friedrich bisa dikatakan sebagai anggota klan Winter yang paling masyhur dan paling dikenal karya-karyanya. Pada 1854, misalnya, Carel Friedrich menerbitkan Serat Menak meski tak lengkap.
Dia juga menulis sejumlah saduran karya sastra dalam bentuk gancaran(prosa) dengan huruf Jawa. Di antara yang bisa dijadikan contoh adalah naskah Damar Wulan (1837), Manikmaya (1852), Brata Yuda (1854), dan Aji Saka (1857).
“Nama Winter sering kali muncul bila orang membaca katalog naskah-naskah Jawa di Eropa dan di perpustakaan Surakarta serta Yogyakarta,” tulis Houben.
Pencapaian macam itu jelas hanya bisa dicapai karena keluarga Winter memang dekat dengan tokoh pujangga kerajaan. Salah satu pujangga Jawa kenamaan yang dekat dengan keluarga Winter adalah Ronggowarsito.
Carel Friedrich dan Ronggowarsito pernah bekerja bersama menyusun kitab Paramasastra Jawi. Carel Friedrich pernah pula menyusun buku Javaansche Zamenspraken dan manuskrip Bausastra Jawi-Welandi. Setelah Carel Friedrich wafat, penyusunan kamus ini diteruskan oleh J.A. Wilkens.
Kamus bikinan Winter dan Wilkens ini lantas menjadi tulang punggung bagi kamus Jawa-Belanda susunan Johann Friedrich Carl Gericke dan Taco Roorda yang legendaris.
Surat Kabar Berbahasa Jawa
Keluarga Winter bahkan juga merambah media massa. Carel Friedrich dan salah satu anaknya Gustaaf Winter dikenal pula sebagai penerbit surat kabar berbahasa Jawa Bromartani.
Ahmat Adam dalam The Vernacular Press and the Emergence of Modern Indonesian Consciousness (1995) menyebut edisi percobaanBromartani terbit di Surakarta pada 25 Januari 1855. Berisi 13 halaman, edisi perdana itu memuat tujuan awal penerbitan dan berita-berita internasional.
Edisi reguler Bromartani baru terbit dua bulan kemudian. Selain itu, Gustaaf Winter yang juga fasih berbahasa Jawa dan paham sastra ini juga menerbitkan Poespitamantjawarna di waktu bersamaan.
Bapak-anak Winter mendesain kedua majalah itu sebagai bacaan edukatif untuk sirkel aristokrat Surakarta. Bedanya, Bromartani terbit mingguan, sementara Poespitamantjawarna terbit dwibulanan.
“Bromartani dan Poespitapantjawarna menggunakan kromo inggil, tingkatan bahasa Jawa paling sopan, sebagai bahasa pengantarnya,” tulis Adam (hlm. 17).
Sayang sekali, Bromartani berhenti terbit pada Desember 1856, meski pelanggannya sudah mencapai 320 orang. Umur Poespitapantjawarna malah lebih pendek lagi.
Sekira delapan tahun sejak matinya Bromartani (1865), C.F. Winter Junior menghidupkan lagi jerih payah ayahnya dengan nama baru Djoeroemartani. Penerbitnya adalah De Groot Kolff & Co yang waktu itu juga menerbitkan surat kabar berbahasa Belanda Semarangsche Nieuws-en Advertentieblad.
Terbit seminggu sekali pada Kamis, Djoeroemartani menyajikan konten-konten edukatif, seperti artikel pengetahuan umum, resep-resep masakan, dan artikel yang berhubungan dengan kehidupan sehari hari.
Pada 1870, Djoeroemartani diubah namanya menjadi Bromartani atas permintaan Susuhunan Pakubuwono IX untuk mengenang C.F. Winter Senior. Edisi Bromartani yang kedua ini mampu bertahan cukup lama hingga Februari 1932.
Penulis: Muhammad Aprianto
Editor: Fadrik Aziz Firdausi