Menuju konten utama

Kata Pengusaha soal Penghapusan Limbah Batu Bara dari Daftar B3

Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia menyambut baik kebijakan Jokowi yang mengeluarkan limbah batu bara dari daftar B3.

Kata Pengusaha soal Penghapusan Limbah Batu Bara dari Daftar B3
Sejumlah pengunjung berada di kawasan pantai yang tercemar limbah batu bara di Desa Peunaga Rayeuk, Kecamatan Meureuboe, Aceh Barat, Aceh, Minggu (1/9/2019). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/foc.

tirto.id - Kebijakan pemerintah menghapus Fly Ash and Bottom Ash (FABA) atau abu batu bara dari daftar limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) didukung dunia usaha. Sebab kebijakan ini dinilai meringankan beban pengusaha dari semula harus mengeluarkan sejumlah uang untuk pengolahan B3 menjadi dapat memanfaatkannya untuk keperluan lain yang lebih berguna.

“Kalau limbah batu bara jadi B3 dan ikuti aturan ribet, beban perusahaan cukup besar. Padahal di luar negeri sudah dimanfaatkan. Bisa jadi jalan, lapisan semen, dan sebagainya,” ucap Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia kepada Tirto saat dihubungi, Sabtu (13/3/2021).

FABA merupakan limbah yang dihasilkan dari pembakaran batu bara oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Menurut Hendra pentingnya pembebasan FABA dari datfar B3 ini tidak hanya bermanfaat bagi pengusaha batu bara saja, tetapi PLN yang masih menggunakan batu bara di banyak pembangkitnya. Belum lagi pembangkit PLN mengonsumsi 85% dari total 130 juta ton pasokan batu bara domestik tiap tahunnya.

Sisa 15% dikonsumsi sektor lain seperti tekstil, semen, kertas dan industri yang menggunakan pembangkit listrik sendiri dengan bahan bakar batu bara. Alhasil ia menilai dampak dari kebijakan ini bermanfaat bagi keseluruhan industri manufaktur.

Hendra mengatakan selama limbah batu bara dikategorikan dalam golongan B3 ada serangkaian protokol yang harus diikuti perusahaan. Misalnya harus melalui pengujian lab, ada ketentuan penimbunan, sampai pengolahannya.

Masalahnya tahapan itu tak didukung infrastruktur memadai. Ia mencontohkan lab untuk pengujian limbah yang terakreditasi tidak banyak. Alhasil banyak pengusaha harus antre panjang demi mendapatkan izin.

Fasilitas pengolahan B3 sendiri juga terbatas lantaran hanya ada 1 di Indonesia yaitu di Cileungsi. Alhasil pengusaha harus mengangkut limbahnya dengan jarak yang panjang termasuk dengan mekanisme pengangkutan yang rumit.

Akibat persoalan ini, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pernah membuat kajian tentang biaya pengolahan FABA. Hasilnya pengusaha harus menanggung biaya Rp50 miliar sampai Rp2 triliun per tahun hanya untuk melalui proses pengolahan B3.

“Ini sudah panjang kita ajukan ke pemerintah sejak 10 tahun lebih,” ucap Hendra.

Meski dikeluarkan dari daftar limbah B3, Hendra mengatakan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup masih mengatur sederet syarat. Misalnya agar FABA benar bisa dikeluarkan dari B3, tetap harus melalui pengujian lab. FABA yang bisa dikecualikan juga harus berasal dari pembangkit dengan tipe dan spesifikasi tertentu sehingga tidak berlaku bagi semua pembangkit.

“Aturan baru ini bukan karpet merah. Ini susah juga mengikuti persyaratannya. Enggak berarti serta merta dimanfaatkan,” ucap Hendra.

Namun kebijakan Jokowi ini dikritik sejumlah pegiat lingkungan. Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah menyebut partikel FABA mudah terbang mencemari udara. Di permukiman yang dekat dengan PLTU seperti Desa Santan Ilir, Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur FABA merasuk ke rumah warga.

“Dan kalau musim panas makin menghebat lagi FABA. Warga keluhkan berbagai penyakit, batuk, sesak nafas, sakit kepala,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.

Baca juga artikel terkait LIMBAH B3 atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz