Menuju konten utama

Kasus Trump, Pilkada DKI, dan Mengapa Polling Meleset

Trump kalah dalam polling, tapi unggul di TPS. Polling bisa meleset karena banyak faktor. Apa saja penyebabnya? Bagaimana dalam Pilkada DKI 2016?

Kasus Trump, Pilkada DKI, dan Mengapa Polling Meleset
Presentasi dalam "Diskusi & Rilis Survei dalam Pilgub DKI" menampilkan elektabilitas pasangan calon Gubernur DKI Jakarta di Kantor Populi Center, Jakarta, Kamis (6/10). Diskusi dan survei tersebut mengambil tema Arah Suara Pemilih Pilgub DKI Jakarta. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc/16.

tirto.id - Kemenangan Donald Trump mematahkan hasil survei-survei yang (kebanyakan) memenangkan Hillary Clinton. Ternyata, hasil survei tak merefleksikan keadaan politik yang sebenarnya. Trump berjaya walau didera berbagai tuduhan dan isu, termasuk isu mendiskreditkan agama. Adakah hal tersebut juga berlaku di Pilkada DKI Jakarta pada kasus Ahok?

Elektabilitas pasangan Ahok dan Djarot di rentang waktu Oktober sampai November 2016 diketahui menurun berdasar beberapa hasil survei. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) merilis elektabilitasnya hanya sebesar 10,6 persen pascadidera isu penistaan agama. Jauh di bawah Anies-Sandi yang memimpin 31,90 persen dan Agus-Sylvi 30,90 persen. Sisanya, 26,60 persen masuk dalam kategori swing voters atau belum menentukan pilihan.

Hal yang sama diperlihatkan hasil survei Indikator Politik pada 15 November sampai 22 November 2016. Elektabilitas Agus-Sylvi unggul di angka 30,4 persen. Kemudian disusul pasangan nomor dua, Ahok-Djarot sebanyak 26,2 persen dan Anies-Sandi dengan 24,5 persen.

Sementara, lembaga survei Poltracking Indonesia yang melakukan survei dari 7 November sampai 17 November juga mengumumkan elektabilitas Agus-Sylvi unggul di angka 27,92 persen, Basuki- Djarot 22,00 persen, dan Anies-Sandi 20,42 persen. Sedangkan 29,25 persen pemilik suara masih belum mengambil keputusan memilih.

Belajar dari yang terjadi di AS, banyak hal yang masih mungkin berubah. Hillary dalam banyak survei disebut unggul dari Trump. Survei yang dilansir CNN sebelum pemilihan menyebut Hillary unggul sembilan poin, 52 persen berbanding 43 persen, dibandingkan Trump. Juga survei yang dilakukan NBC yang bekerjasama dengan Survei Monkey menunjukkan Hillary unggul 50 persen melawan Trump yang hanya meraih 42 persen. Hasilnya, kita semua sudah tahu, sangat meleset.

Infografik HL Pilkada DKI

Apakah mungkin kasus serupa terjadi untuk Ahok-Djarot?

Nathanael Gratias Sumaktoyo, kandidat dokter ilmu politik dari Universitas Notre Dame, menguraikan alasan mengapa hasil survei di Amerika akhirnya tak merefleksikan kenyataan. Pertama, hal ini dimungkinkan karena banyak responden mengelabui pewawancara.

"Banyak hasil polling yang meng-underestimate Trump, akhirnya mereka saat diwawancara takut dikatakan rasis ketika mendukung Trump," ujar Nathanael dalam diskusi yang digelar perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (PERSAPI) dan Central For Strategic and Internasional Studies (CSIS), Tanah Abang, Selasa (6/12).

Hal kedua, tidak semua pemilih yang disurvei akhirnya datang ke bilik suara untuk memberikan suara. Warga yang saat disurvei memilih Hilary, misalnya, bisa saja akhirnya tidak memberikan dukungan kepada Hillary karena tidak datang di hari pemilihan.

Partai Demokrat menargetkan para anak muda untuk menjadi pemilih tetapnya. Sayangnya, dari data para pemilih yang memberikan suara, kebanyakan pemilih yang pergi ke TPS adalah para orang tua dan kulit putih yang merupakan basis suara partai Republik. Jelas, polling-polling sebelumnya gagal memprediksi siapa yang akan pergi ke TPS.

Alasan ketiga, para pemilih sudah enggan mengungkapkan siapa kandidat yang akan dipilih. Jadi, menurut Nael, dapat disimpulkan pelajaran yang dapat ditarik benang merahnya dalam Pilkada DKI ini adalah kemungkinan masih banyak pemilih yang bungkam ketika disurvei. Hal ini karena kemungkinan adanya rasa malu dan takut saat mendukung Ahok yang ditasbihkan telah menistakan agama.

“Mereka masih ingin dukung Ahok tapi karena disudutkan atau pertimbangan alasan ini itu jadi mending katakan tak usah pilih siapa-siapa," kata Nathanael.

Ketidaktepatan hasil survei dalam menggambarkan hasil kemenangan di Pilpres AS diyakini Hasan Nasbi sebagai bentuk atau hasil ketergesa-gesaan pengambilan kesimpulan. "Survei-survei yang ada terlalu cepat mengambil kesimpulan padahal jarak selisih antara Hillary dan Trump masih terlalu kecil," ujar Hasan dari Cyrus Network, yang dikenal sebagai tim sukses Ahok-Djarot ini.

Banyak lembaga survei yang terlalu malas memeriksa validitas data di hulu dan langsung memilih mengolah data yang didapat untuk segera dipublikasikan. Seharusnya apabila terjadi perubahan mendadak terhadap hasil survei, harus ada pengecekan ulang mengapa perubahan tersebut terjadi.

Hasan mengutarakan ketidaksepakatannya terhadap hasil survei yang menyatakan sekitar 30-an persen pemilih di DKI Jakarta belum menyatakan dukungan. Menurutnya, angka tersebut hanya merefleksikan jumlah pemilih yang bungkam, bukan yang belum punya pilihan. Ini dua hal yang berbeda.

"Pilkada DKI gaungnya sudah terdengar semenjak 2 tahun lalu lho. Ini karena tensi politik tinggi, sehingga menciptakan ketidakpastian hasil survei," katanya.

Kecemasan politik juga terlihat saat para surveyor harus melakukan survei tatap muka dan mengambil sampel di RT untuk mendapat jumlah KK di RT tersebut. Normalnya, setiap RT memiliki sebanyak 80-100 KK, namun setiap perkembangan survei angka tersebut menurun. Para surveyor tak diizinkan melihat jumlah KK yang ada, Ketua RT hanya menyebutkan secara lisan. Terakhir, hasil KK di satu RT hanya berkisar di angka 25 KK saja.

"Ini 30 persen responden buram harusnya tidak dipublikasikan karena bukan distribusi normal."

Walaupun hasil survei mencoba menampilkan kenyataan, tapi yang terjadi hanyalah gambaran dari fenomena yang ada. Hasil survei yang saat ini beredar merupakan gambaran terhadap meningkatnya tensi politik akibat kasus penistaan agama yang diduga dilakukan Ahok.

Namun, kata Hasan, pada dasarnya hal tersebut tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap elektabilitas para kandidat, terutama Ahok. Demo Bela Islam memang membuat para pemilih DKI terpengaruh, tapi dalam pengaruh yang cukup wajar dan bukan luar biasa.

Alasan mengapa kedua calon selain Ahok relatif cepat naik elektabilitasnya adalah karena mereka bukan petahana. Sehingga dapat dengan mudah elektabilitasnya naik karena memang berangkat dari angka nol. Sedang Ahok yang merupakan petahana sudah memiliki nilai awal sehingga angka merangkak naiknya tak terlalu signifikan.

Roby Muhammad, doktor dari Universitas Colombia, menyatakan bahwa salah satu studi di Amerika, yang meneliti beragam hasil survei tahunan, menemukan bahwa melesetnya hasil polling banyak dipengaruhi oleh sampling eror yang mencapai dua kali lipat dari yang dipublikasikan.

"Error itu banyaknya lebih dari margin of error (sampling) yang diumumkan, bisa frame-nya error, modeling error karena data yang sama hasilnya bisa beda dengan model model yang berbeda pula," ucap Roby.

Baca juga artikel terkait PILKADA DKI JAKARTA 2017 atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Politik
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Zen RS