Menuju konten utama
Penanganan Pandemi Cina

Karut-marut Lockdown Jangka Panjang di Cina

Sepanjang kebijakan lockdown berkelanjutan di Cina, banyak hal tak mengenakkan menimpa warga, dari yang bisa ditoleransi sampai fatal.

Karut-marut Lockdown Jangka Panjang di Cina
Kondisi pusat perbelanjaan yang tutup saat otoritas setempat memberlakukan karantina wilayah secara parsial di Distrik Chaoyang, Beijing, China, Kamis (24/11/2022). ANTARA FOTO/M. Irfan Ilmie/rwa.

tirto.id - Artikel sebelumnya: Mengingat Kembali Lockdown Covid Pertama di Dunia 3 Tahun Lalu

Lockdown masih jadi kebijakan andalan pemerintah Cina untuk menghalau penyebaran Covid-19 memasuki tahun ketiga pandemi. Penguncian menjadi elemen tak tergantikan dari strategi “zero-Covid”—istilah yang dipopulerkan media internasional sejak tahun lalu—di negara tersebut.

Ketika muncul laporan tentang kasus positif di satu kota atau distrik, otoritas setempat akan bergegas menetapkan lockdown. Warga dipaksa isolasi di rumah atau karantina di fasilitas pemerintah (contoh pemaksaan bisa dilihat pada video yang viral pada awal 2020 dan November kemarin).

Penduduk di banyak kota akhirnya mendapat giliran mencicipi apa yang dirasakan warga di Wuhan dan daerah sekitar Provinsi Hubei sejak Januari sampai April 2020 atau ketika virus mulai merebak.

Pada Juli-Agustus 2020, misalnya, lockdown dijalani oleh sekitar 3,5 juta penduduk di Urumqi, ibu kota Provinsi Xinjiang, kawasan terluar Cina yang berbatasan dengan Kazakhstan dan Mongolia. Setahun persis setelah lockdown Wuhan, pengalaman yang sama dirasakan oleh 11 juta penduduk Shijiazhuang di Provinsi Hebei, dekat ibu kota Beijing.

Dua wilayah yang juga mengalaminya adalah Shanghai dan Xinjiang. Shanghai, sentra bisnis dan industri penyumbang PDB terbesar dengan 25 juta populasi jiwa, ditutup dua bulan. Sementara Xinjiang, kawasan terluar dan terluas (kira-kira dua kali lipat Pulau Kalimantan) di Cina barat laut, memegang rekor lockdown terlama, lebih dari 100 hari.

Kebijakan ketat ini awalnya membuahkan hasil. Selama dua tahun sejak lockdown Wuhan, pertambahan kasus positif relatif rendah, rata-rata puluhan per hari. Menurut Our World in Data, sampai hari terakhir 2021, akumulasi kasus Covid-19 di Cina dilaporkan hanya 115 ribu alias jauh di bawah India (35 juta kasus positif) bahkan negara dengan populasi lebih sedikit, Amerika Serikat (55 juta).

Sampai akhir 2021 juga, jumlah korban jiwa di Cina tercatat tak sampai lima ribu. Tingkat kematian per populasi sangat rendah dibandingkan di AS (826 ribu), India (480 ribu), dan Inggris (177 ribu).

Tapi yang tampak kokoh ternyata rapuh juga. Situasi jadi mengkhawatirkan menjelang pergantian tahun atau ketika varian Omicron menyebar luas dan pemerintah pusat tengah sibuk mempersiapkan Olimpiade Musim Dingin. Bahkan, sejak Maret 2022, pertambahan kasus positif harian menembus angka ribuan—rekor tertinggi 29 ribu tercatat pada 13 April.

Pembatasan Berlanjut

Karena perkembangan terkini itulah Cina mempertahankan strategi “nol-Covid dinamis”. Menurut media pemerintah Xinhua, metode tersebut efektif menekan infeksi sekaligus menjaga keberlangsungan ekonomi. Sepanjang 2021, klaim mereka, ekonomi mampu melonjak 8,1 persen. Pada 2020, Cina juga menjadi “satu-satunya kekuatan ekonomi besar” yang mencatat pertumbuhan.

Kasus infeksi yang meroket sejak Maret mayoritas ditemui di Shanghai, kota metropolitan paling maju di Cina. Karena itulah lockdown juga diterapkan di sana. Dampaknya dirasakan 25 juta orang atau dua kali penduduk Wuhan.

Sampai pertengahan Desember tahun ini, total kasus positif menembus 1,8 juta—naik 15 kali lipat kurang dari 12 bulan. Sementara akumulasi angka kematian tidak berubah banyak sejak tahun lalu, masih berkisar di angka lima ribuan korban.

Dalam artikel di Science yang terbit awal Desember ini, otoritas Cina disebut enggan mengakhiri aturan lockdown karena khawatir tidak mampu hidup berdampingan dengan Covid-19. Berdasarkan permodelan matematika yang terbit di Nature Medicine beberapa bulan silam, menghapus lockdown bisa “menimbulkan tsunami kasus Covid-19” selama setengah tahun. Bakal ada 112 juta kasus positif bergejala dan 1,6 juta kematian.

Angkanya tak jauh berbeda dari laporan firma riset kesehatan Airfinity di London yang rilis bulan lalu, bahwa menghapus lockdown berpotensi menghasilkan 167-279 ribu kasus positif dan 1,3-2,1 juta kematian selama kurang dari tiga bulan.

Temuan itu juga dikonfirmasi oleh studi terbaru dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Cina. “Koeksistensi” rakyat dengan virus Covid-19 akan menimbulkan “dampak menghancurkan pada sistem kesehatan Cina dan menyebabkan bencana besar di dalam negeri,” tulis mereka.

Pendek kata, penghapusan lockdown berisiko menimbulkan gelombang infeksi besar, semakin membebani fasilitas kesehatan, dan akhirnya berdampak pada tingginya angka kematian.

Masih mengutip Science, pakar kesehatan publik dari University of Otago Selandia Baru Nick Wilson mengatakan tingkat vaksinasi di Cina belum maksimal. Pemerintah sendiri mengakui progres vaksinasi memang tersendat terutama untuk kalangan lanjut usia, golongan paling rentan terserang virus. Sampai Maret silam, ketika kasus Covid-19 harian sempat mencapai rekor tertinggi, baru 51 persen penduduk usia 80 ke atas yang sudah divaksin dosis utuh dan tak sampai 20 persen yang sudah menerima booster.

Dilansir dari NPR, salah satu alasan lambannya tingkat vaksinasi di kalangan lansia berkaitan dengan prioritas target. Apabila sejumlah negara mengutamakan lansia, otoritas Cina awalnya justru menyasar pekerja esensial dan penduduk usia produktif. Pada waktu sama, tidak cukup tersedia data tentang efikasi vaksin kelompok lansia.

Selain itu, masih ada pula masyarakat yang skeptis dengan kualitas vaksin buatan dalam negeri. Pengamat juga menyayangkan penolakan otoritas Cina terhadap impor vaksin, terutama jenis RNA, yang kerap dianggap lebih efektif daripada bikinan sendiri.

Susah Saat Pembatasan

Sepanjang kebijakan lockdown berkelanjutan, banyak hal tak mengenakkan menimpa warga, dari yang bisa ditoleransi sampai fatal.

Awal September silam, ketika gempa bumi 6,8 M mengguncang Chengdu di Provinsi Sichuan, warga yang ingin mencari perlindungan ke luar rumah malah dilarang karena dianggap menyalahi aturan lockdown.

Di Xi’an, tersebar video seorang perempuan hamil yang dibiarkan mengalami pendarahan di luar rumah sakit sampai keguguran. Dia ditolak rumah sakit dengan alasan hasil tes Covid-19-nya kedaluwarsa empat jam. Seorang perempuan lain di kota ini juga keguguran setelah ditolak berbagai rumah sakit. Aturan teknis lockdown, rumah sakit hanya bisa menerima pasien dari area terbatas atau sudah pada tingkat keparahan tertentu.

Di Shanghai, meski berstatus kota paling kaya kedua setelah Beijing, warganya tetap dipusingkan dengan keterbatasan pangan. Ada pula laporan tentang keterbatasan obat dan tenaga kesehatan (Shanghai hanya punya 3 dokter dan 4 perawat per seribu populasi).

Di sana pasien gagal ginjal kesulitan memperoleh layanan dialisis di rumah sakit, keluarga-keluarga kelaparan, dan pasien kanker ditolak masuk ke rumahnya sendiri setelah menjalani kemoterapi.

Nun jauh di Lhasa, daerah otonom Tibet, akhir September kemarin, lima orang bunuh diri dengan melompat dari gedung karantina atau apartemen tempat tinggalnya, diduga frustrasi akibat tekanan lockdown. Di sana lockdown sekitar 50 hari sejak Agustus memberikan dampak kepada 900 ribu penduduk.

Menurut organisasi HAM International Campaign for Tibet, tragedi di Lhasa tidak sekadar dipicu oleh perasaan putus asa karena lockdown ekstrem dan kondisi buruk selama karantina, melainkan juga stres setelah sekian dekade berada di bawah tekanan sosiopolitik dari cengkeraman otoritas Cina.

Warga di berbagai lokasi lain juga dilaporkan mengalami kesulitan. Salah satunya di prefektur otonom Ili Kazakh yang berbatasan dengan Kazakhstan. South China Morning Post melaporkan September lalu tentang keterbatasan bahan pangan akut dan fasilitas kesehatan yang kewalahan menangani banyaknya pasien.

Tak berapa lama kemudian, dilansir dari Radio Free Asia (RFA), terungkap sedikitnya 22 warga Ili Kazakh meninggal dunia karena kelaparan atau tidak mendapat layanan medis memadai selama karantina. RFA juga mewartakan sebanyak 600 warga, kebanyakan kalangan muda etnis minoritas Uighur, ditahan oleh aparat karena melanggar aturan lockdown (melakukan protes damai di jalanan untuk mengkritik pemda atas penanganan pandemi yang kacau balau).

Infografik Cina Lockdown Lagi

Infografik Cina Lockdown Lagi. tirto.id/Fuad

Bagi komunitas Uighur—44 persen dari 26 juta populasi Xinjiang—lockdown juga menjadi pengalaman traumatis karena mengingatkan pada represi otoritas pusat. Sebagian besar dari mereka sudah kenyang hidup di bawah tekanan Beijing, diawasi gerak-geriknya, dan dikurung di kamp konsentrasi—disebut “pusat re-edukasi”—untuk mengikuti program indoktrinasi ideologi.

Menurut penuturan seorang anggota etnis, selama lockdown sanak-saudaranya yang tinggal di ibu kota Urumqi mustahil lepas dari pengawasan ketat. “Mereka tidak bisa membuka pintu, ada banyak kamera di mana-mana untuk memastikan mereka tidak bisa keluar,” katanya kepada Nikkei Asia November silam.

Alasan di balik penerapan lockdown super ketat di Xinjiang memang mustahil dipisahkan dari ambisi administrasi Xi untuk memperkuat kontrol dan pengaruhnya di sana. Sebelum pandemi, berbagai kebijakan represif sudah diterapkan pada komunitas Uighur—dengan dalih untuk menghalau terorisme dan ekstremisme. “Imperatif politis untuk kebijakan nol-Covid di Xinjiang sudah disokong oleh sekuritisasi ekstrem di kawasan tersebut,” kata Michael Clarke dari Australian Defence College’s Center for Defence Research pada Japan Times.

Hal itu jugalah yang bisa menjelaskan kenapa Xinjiang dipandang sebagai isu sensitif di dalam negeri. Akibatnya, pemberitaan terkait Xinjiang, termasuk tentang kesulitan warga selama lockdown di sana—yang berlangsung paling lama di seantero Cina—luput dari sorotan media arus utama dan perbincangan publik luas.

Peristiwa paling parah selama lockdown juga mungkin terjadi di suatu gedung apartemen di Urumqi, ibu kota Xinjiang, pada pengujung November. Di sana insiden kebakaran menewaskan 10 orang.

Dilansir dari Associated Press, warganet mengatakan proses evakuasi yang tersendatlah penyebab ada korban meninggal. Alat pemadam kebakaran diduga kesulitan menjangkau lokasi karena terhalang penutup jalan (upaya untuk mencegah warga bepergian selama lockdown) atau mobil yang terlantar di pinggir jalan karena pemiliknya dikirim ke fasilitas karantina. Ada pula yang menduga korban tidak bisa melarikan diri tepat waktu karena gedungnya lockdown sebagian.

Setelah beragam peristiwa ini, banyak yang percaya bahwa aturan kaku lockdown mempersulit mobilitas penduduk bahkan dalam momen-momen kritis. Dan peristiwa ini pada akhirnya melahirkan krisis.

(Bersambung...)

Baca juga artikel terkait LOCKDOWN atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino