tirto.id - Joyland menjelma jadi salah satu festival musik paling menarik di Indonesia, bahkan Asia Tenggara karena ia berhasil menampilkan paradoks.
Di satu sisi, sebelum berangkat kamu pasti bisa membayangkan dan mengharapkan apa yang ada di festival besutan Plainsong Live ini. Suasana piknik lengkap dengan penonton yang membawa alas duduk atau kursi lipat, ramah anak dan keluarga, perokok dan peminum dilokalisasi, area White Peacock yang didedikasikan khusus buat anak-anak dan orangtuanya, hingga program menonton film dan panggung khusus untuk stand up comedy. Dengan segala keunggulan ini, sebagian besar penikmat festival musik di Indonesia memberi label Joyland sebagai festival musik paling nyaman di Indonesia.
Di sisi lain, Joyland adalah sebuah rimba yang menawarkan banyak buah yang tak pernah kamu tahu, tak pernah kamu dengar namanya, atau mereka yang tak terbayangkan bisa datang ke Indonesia. Karena itu pula, di tengah semua aspek-aspek yang tertebak di atas, Joyland senantiasa bisa menghadirkan kejutan.
Joyland Bali 2024 adalah bukti sahih paradoks ini.
Di gelaran ini, panggung favorit saya adalah Lily Pad. Panggung yang dikurasi oleh --kalau saya tak salah catat-- Wok The Rock (pendiri netlabel Yes No Wave) dan Kasimyn (Gabber Modus Operandi). Pada dua kepala ini, Plainsong Live meminta satu benang merah.
"Aku diminta mencari musisi elektronik mancanegara," ujar Wok yang juga dikenal sebagai seniman lintas disiplin.
Rikues ini terasa bisa dipahami, sebab Bali dekat dengan kultur musik elektronik dan juga rave. Juga tak mengherankan jika Djakarta Warehouse Project memilih relokasi ke Bali. Tentu saja Joyland dan Djakarta Warehouse Project punya pendekatan berbeda dalam memilih para penampilnya --sekaligus berbeda pula ceruk pasarnya.
Kembali ke panggung Lili Pad. Meski benang merahnya sama, tapi karena berasal dari dua kepala dan selera musik berbeda, maka band dan musisi yang tampil di panggung tepi laut ini begitu pusparagam dan menyegarkan. Dari Rán Cap Duôi asal Vietnam yang eksperimental, PRAED asal Lebanon yang lincah memadukan musik elektronik dan akar musikal mereka sebagai bangsa Arab, dan para jagoan Nusantara, seperti Gangsar (RIP Rollfast), Putu Septa & Nata Swara, Asep Nayak, hingga Gumata Gumitit Gospell.
Pendekatan sekaligus interpretasi mereka terhadap musik "tradisi" dan "etnik" begitu lepas dan cair. Ini sekaligus bisa melepaskan mereka dari belenggu yang sering jadi kerangkeng musik "tradisi" dan "etnik": eksotisme. Lagi-lagi, di sini ada tarik menarik kutub yang begitu asyik.
Di satu sisi, nama-nama di Lily Pad punya pijakan kuat terhadap akar musikal tradisional mereka. Semisal Gumata Gumitit Gospell yang punya keterkaitan dengan cerita rakyat dan nilai-nilai spiritual Bali. Namun di wajah lainnya, para musisi ini berhasil meleburkan musiknya dengan pengaruh modern. Ini membuat panggung Lily Pad menjadi lokasi pesta baur musik yang memberi pengalaman menggembirakan.
Selain nama-nama di Lily Pad, bagi saya pribadi, Shintaro Sakamoto adalah yang paling mengejutkan.
Banyak orang terkesiap ketika nama Shintaro menjadi headliner di hari pertama. Saya tak pernah mendengar namanya, tapi bisa merasakan bagaimana banyak orang takjub dia bisa hadir di Joyland. Seorang teman bilang dengan semangat: tak pernah ada dalam mimpi terliarnya bisa menonton Shintaro di Indonesia.
"Kayaknya kalau bukan Joyland, gak ada deh festival yang kepikiran ngundang Shintaro," ujarnya.
Saya yang alpa terhadap posisi terhormat Shintaro di dunia musik Jepang, dan jelas belum pernah mendengar musiknya, ikut senang mendengar kebahagiaan si kawan. Namun juga sekaligus penasaran: apa rasa asing ini akan bisa membuat saya menikmati musik Shintaro?
Untunglah keterasingan terhadap Shintaro tak berlangsung lama. Semua berkat Luthfi Suryanda dari Creative Disc, dan Alvin Bahar dari Hai, dua mentor yang dengan baik hati mengajarkan mata kuliah Shintaro Sakamoto 101.
Kami duduk di depan FOH tak lama setelah Shintaro pamit usai membuat para penonton berjoget dengan beat funky dan terpukau karena visual psikadelik.
Saya selalu suka bagaimana band Jepang ketika manggung. Band yang dibawa Shintaro punya gaya penampilan yang terasa acak dan manasuka. Shintaro seperti bapak-bapak seniman avant garde Jepang bebas finansial yang bersenjatakan Gibson SG vibrola, lengkap dengan stelan jas berwarna cokelat.
Drummernya, Yuta Suganuma, yang malam itu memakai kaos oblong dan topi berwarna hitam, menghadirkan perasaan kalau dia adalah musisi jagoan yang menyerah hidup dari musik, lantas memutuskan jadi penjual ikan, dan senantiasa siap kalau dipanggil manggung. Aya, sang pemain bass, bermain dengan kalem, sadar betul kalau dia adalah pondasi beat band ini.
Favorit saya tentu Pak Toru Nishiuchi. Dengan kepala botak plontos, pakai kaus putih, dilapisi kemeja Hawaiian merah, mudah membayangkan ia adalah karakter di manga Tomo'o: seorang bapak paruh baya yang setiap malam menenggak bir dingin di izakaya terdekat dari kantor, sambil cerita masa lalunya ketika masih bergabung di geng remaja dan punya angan keliling dunia sambil main musik. Bersama Shintaro, Toru bermain saksofon dan banyak penghasil bebunyian lain, termasuk tamborin dan bebek karet yang jika dipencet akan berbunyi seperti meledekmu: pret!
"Shintaro sangat penting bagi khazanah musik Jepang," kata Luthfi. "Bisa dibilang dia adalah pelopor awal indie rock Jepang."
Mendengar mukadimah itu, saya mencatat dengan khusyuk. Alvin menambahkan bahwa Shintaro yang baru saja kami tonton dengan senyum lebar dan joget malu-malu itu, punya musik berbeda dengan ketika dia masih punya band.
"Iya, beda ketika dia main bareng Yura Yura Teikoku," ujar Alvin. "Dia sekarang sudah menua, kan, musiknya jadi lebih kalem."
Memang terasa sekali bedanya. Ketika saya coba secara sporadis mendengar beberapa album Yura Yura Teikoku, unsur psikedelik --lengkap dengan bumbu fuzz-- begitu kental. Ini tipikal band yang harus didengarkan dengan seksama. Tak ada celah untuk meleng, joget, apalagi stage diving. Menonton beberapa live mereka di YouTube, termasuk penampilan yang diabadikan dalam DVD Yura Yura Teikoku Live 2005-2009, terlihat semua penonton berkonsentrasi. Omong-omong, penampilan Shintaro di konser itu mengingatkan saya pada Rekti Yoewono era Visible Idea of Perfection.
Ini kontras sekali dengan penampilan Shintaro di malam pertama Joyland Bali 2024 itu. Ada ruang lapang untuk duduk santai, sesekali joget, ngobrol dengan kawan, karena musiknya terdengar lebih laidback dan mudah diprediksi. Tak ada aksi yang berpotensi mengejutkan penonton --seperti misalnya ketika Shintaro memainkan marakas di konser Yura Yura Teikoku Live 2005-2009.
Sepanjang membawakan 13 lagu, Shintaro nyaris tak berbicara. Namun di panggung malam itu, saya jadi bisa memahami betapa kuat karakter permainan Shintaro sebagai seorang gitaris dan musisi. Meski ada di arus musik yang berbeda ketika berada di Yura Yura Teikoku dan proyek solonya, jejak permainan gitar Shintaro mudah dikenali. Ia punya tonality yang khas, berakar pada ritem yang kuat dan dimainkan rapi nyaris tanpa cela.
Di lagu terakhir, "Like A Fable", yang saya hapal nadanya berkat seminggu mendengarnya secara konstan sebagai upaya mengenal Shintaro, saya bersyukur menonton dan mengenal musisi satu ini. Untuk keajaiban musiknya, kenal terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali. Saya sekaligus mengamini perkataan si teman: kalau bukan berkat Joyland, kecil sekali kemungkinan Shintaro Sakamoto tampil di Indonesia.
Parameter Baru Festival Musik di Indonesia
Dalam berbagai percakapan soal festival musik (terutama skala menengah-besar) di Indonesia, salah satu isu pentingnya adalah bagaimana festival besar ini terpusat di Pulau Jawa --atau lebih tepatnya di Jakarta. Perkara aksesibilitas dan juga infrastruktur menjadi salah satu penyebabnya.
Namun jika melongok lebih dalam, kita bisa memetakan beberapa titik keriangan festival musik ini. Ia terbagi ke beberapa daerah. Di Pulau Jawa, titik utamanya adalah Jakarta. Kita bisa menyebut festival seperti Java Jazz, Joyland, Hammersonic, Synchronize, Pesta Pora, hingga Hammersonic. Di bagian tengah --dan sekaligus menarik massa dari kawasan timur Jawa-- pusatnya ada di Yogyakarta dan Solo. Di sini ada festival seperti Prambanan Jazz, Jogjarockarta, Rock In Solo, juga festival Jogja Noise Bombing.
Melongok ke arah Sumatera jadi hal menarik sekaligus menantang. Dengan segala tantangan dan hambatan, festival skala menengah dan besar mulai rutin diadakan di tanah Svarnadwipa ini meski sebagian besar berpusat di Sumatera Utara (Medan) dan Sumatera Barat (Padang dan Sawahlunto). Di sini ada Samosir Music International, Sawahlunto International Music Festival, hingga nama-nama baru seperti Swarnaland Fest dan Sumatera Dance Festival yang dilabeli sebagai festival musik electronic dance terbesar di Sumatera.
Sedangkan titik di pulau Sulawesi memang baru berpusat di Makassar. Di sini ada Rock in Celebes, festival musik terbesar yang diadakan sejak 2010. Lalu bagaimana dengan di kawasan timur Indonesia seperti Bali dan Nusa Tenggara?
Di sini daya tariknya. Bali tentu saja sudah dikenal sebagai tujuan wisata paling populer di Indonesia. Sayangnya, festival musik skala menengah-besar yang rutin digelar di sini sudah absen sejak beberapa tahun terakhir. Namun semua yang bergelut di bidang penyelenggaraan musik, tentu menyadari betul bahwa potensi Bali sebagai lokasi festival musik kelas dunia ini teramat besar.
Di momen ini, Bali menjadi titik penting bagi industri festival musik di Indonesia. Ia bisa menjadi kawasan yang dekat dan relatif terjangkau dari Nusa Tenggara dan Jawa bagian timur. Di jagat internasional, ada banyak kota yang terhubung dengan penerbangan langsung ke Bali, mulai dari Singapura, Melbourne, Tokyo, hingga Doha.
Maka keputusan Plainsong Live yang sejak 2022 membuat dua Joyland di dua kota dalam setahun (Jakarta dan Bali) adalah sebuah keputusan yang layak diberi aplaus. Potensi membuat festival musik di Bali memang besar sekaligus menggiurkan, tapi menjalankannya tentu perlu keberanian dan perhitungan yang matang.
Kudos Joyland! Kudos Plainsong Live!
Editor: Irfan Teguh Pribadi