tirto.id - Ketika kamu sudah berumur 30-an tahun, punya pekerjaan yang menyita waktu dan tenaga, jatuh cinta bisa sangat menyusahkan. Belum lagi jika di sela itu masih harus memikirkan studi atau menanggung hidup keluarga.
Lantas bagaimana kriteria pasangan idaman yang tak “menambah beban baru”?
Sepanjang Januari hingga pertengahan Februari 2017, tim riset Tirto melakukan survei terkait kriteria pasangan bagi mereka yang berumur di atas 30 tahun.
Untuk itu, tim melakukan survei kepada lebih dari 390 responden untuk melihat preferensi responden dalam memilih pasangan dengan instrumen penelitian kuesioner dan jenis sampel random sampling serta memanfaatkan metode sampel Non Probability Sampling.
Jenis data yang diolah adalah data kuantitatif dari 11 jenis pertanyaan. Ada 72 responden dengan rentang umur 30 sampai 45 tahun, dan tentu saja saat survei berlangsung masih dalam status lajang.
Jumlah responden laki-laki dan perempuan dalam riset ini cukup berimbang. Responden perempuan sebanyak 51,4 persen dan 48,6 persen sisanya adalah laki-laki. Berdasarkan pendidikan, mayoritas responden memiliki pendidikan terakhir S1 (61,1 persen), sementara hanya 1,4 persen yang memiliki pendidikan terakhir S3. Sebanyak 62,5 persen responden menyatakan terakhir kali memiliki pasangan lebih dari 12 bulan lalu. Sedangkan 2,8 persen responden menyatakan belum pernah memiliki pasangan.
Virginia Sweetingham, seorang mak comblang yang menjalankan biro jodoh Gray & Farrar di Inggris mengungkap, pengalamannya selama lebih dari dua dekade membuat dia sangat paham tentang kondisi psikologis para pencari jodoh.
Mereka yang mencari bantuan Sweetingham bukan orang sembarangan, dan makcomblang ini menetapkan tarif yang tak murah. Untuk jasa paling sederhana, dia mematok harga £10,000. Tapi uang yang banyak menurut Sweetingham tak menjamin seseorang bisa mendapat pasangan. Banyak dari kliennya, terutama perempuan mapan, susah mencari pasangan karena dianggap terlalu sukses.
Ini tentu tak merepresentasikan seluruh populasi orang lajang di dunia, apalagi di Indonesia.
Dalam survei yang kami lakukan, ditemukan kriteria paling utama adalah agama yang sama. Empat kriteria lainnya adalah cerdas, bertanggung jawab, mapan, dan berpikiran terbuka.
Bila dilihat berdasarkan gender, untuk responden perempuan, kriteria paling utama dalam memilih pendamping adalah bertanggung jawab. Mengapa? Sweetingham menyebut bagi mereka yang sudah mapan, materi bukan masalah. Maka pasangan yang bertanggung jawab dan bisa diandalkan jadi prioritas utama.
Ini tentu tak bisa dijadikan justifikasi, tetapi bisa jadi gambaran umum alasan mengapa perempuan matang dan mapan mencari pasangan yang bertanggung jawab.
Berbeda dengan responden perempuan, untuk responden laki-laki, agama yang sama merupakan kriteria paling utama dalam memilih responden. Mereka juga memilih pasangan yang bisa mengurus rumah tangga, seperti pandai memasak, suka anak-anak, dan keibuan.
Tapi tentu ini hanya pertimbangan, laki-laki yang mapan barangkali lebih membutuhkan pasangan untuk rekan merawat rumah ketimbang untuk mengembangkan diri dan mencari rekan setara yang bisa diajak hidup bersama.
Tirto juga melakukan survei untuk responden di bawah 30 tahun berjumlah 318 orang (rentang umur 18-30 tahun), yang saat survei berlangsung sedang tidak dalam hubungan. Mayoritas responden berjenis kelamin perempuan (62,3 persen). Sementara, berdasarkan tingkat pendidikan, 50,9 persen responden memiliki pendidikan terakhir SMA/SMK, hanya 2,5 persen responden yang memiliki pendidikan terakhir S2.
ManpowerGroup melakukan riset mendalam tentang stigma terhadap para milenial. Riset kuantitatif dilakukan di 25 negara yang menyertakan 19.000 milenial, termasuk di antaranya 8.000 rekan kerja Manpower Group dan lebih dari 1.500 manajer.
Peserta riset ini berumur 20-34 tahun. Mereka bertanya tentang apa saja yang diinginkan milenial dan bagaimana mereka memandang pekerjaan. Hasilnya mengejutkan, karena membantah berbagai stereotip yang ada pada milenial.
Kelompok milenial yang masuk dalam kategori umur akhir 20-an dan awal 30-an memang mengalami dilema. Mereka yang sejak muda fokus mengejar karier kerapkali tak memiliki kemampuan sosial yang baik.
Mereka mampu melayani klien atau rekan kerja dengan baik, tetapi tidak mampu memelihara atau memulai hubungan romantik serius. Kebanyakan dari mereka tercerabut dalam urusan asmara, mapan secara finansial, tetapi kesepian dalam hal afeksi. Ini sama sekali berbeda dengan kelompok usia milenial di awal 20-an yang sangat kaya dengan kisah asmara.
Generasi milenial sering dicap sebagai generasi galau, dan tidak setia. Padahal, tidak selalu demikian. Tentang perilaku generasi milenial ini bisa dibaca dalam laporan khusus TirtoBukan Generasi Pemalas.
Dari riset mandiri Tirto diketahui sebanyak 64,8 persen responden menyatakan terakhir kali mereka memiliki pasangan lebih dari 12 bulan yang lalu. Sedangkan 23,6 persen responden menyatakan terakhir kali memiliki pasangan 7-12 bulan yang lalu.
Pasangan-pasangan muda ini memiliki prioritas kriteria yang berbeda dengan kelompok usia di atas 30 tahun. Pada kelompok umur kurang dari 30 tahun, pasangan yang cerdas adalah kriteria paling utama. Selain cerdas, agama, kemapanan, bisa diajak diskusi, dan bertanggung jawab merupakan lima kriteria utama yang dicari dari seorang pendamping.
Berdasarkan jenis kelamin, bagi perempuan di bawah 30 tahun, agama tetap jadi kriteria utama dalam memilih pendamping. Sedangkan bagi laki-laki di bawah 30 tahun, kepribadian dan tampilan menjadi kriteria utama. Selain itu, menikah merupakan hal yang sangat dipikirkan bagi milenial, baik calon yang akan dinikahi maupun biaya pernikahan.
Kalau buat kamu, faktor apa yang penting?
*Artikel ini pernah tayang di tirto.id dan kini telah diubah sesuai dengan kebutuhan redaksional diajeng.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti & Yemima Lintang