tirto.id - Kemenangan Timnas Indonesia dengan skor 2-1 atas Vietnam di leg pertama semifinal Piala AFF 2016 belum menjamin ketenangan publik sepakbola nasional. Kalah dengan selisih satu gol pun, kecuali jika hasil laga harus ditentukan lewat adu penalti, skuad Merah-Putih bakal pulang dengan hati pedih.
Indonesia sebaiknya jangan main aman di Vietnam, jangan berpikir hasil imbang sudah cukup untuk melangkah ke final, jangan! Pasukan Vietkong dipastikan menyerang total. Di kandang lawan saja, mereka berani tampil lugas, apalagi bertarung di depan publik sendiri, Le Cong Vinh dan kawan-kawan tentunya akan lebih beringas.
Berkaca dari Leg Pertama
Sekali lagi, jangan coba-coba meredam Vietnam pada laga leg kedua semifinal pada 7 Desember 2016 nanti. Skuad asuhan Nguyen Huu Thang punya daya serang yang luar biasa garang. Jika Alfred Riedl menerapkan strategi bertahan demi menjaga keunggulan, apa yakin lini belakang Indonesia mampu bertahan tanpa kebobolan?
Tengok saja penampilan Vietnam saat dijamu Indonesia di Stadion Pakansari, Cibinong, Kabupaten Bogor, pada 3 Desember 2016 lalu. Pasukan Bintang Emas, begitu julukan mereka, sama sekali tidak gentar tampil di bawah sorotan lebih dari 30 ribu pendukung tuan rumah.
Dari laporan pandangan mata saja sudah terlihat Indonesia lebih banyak tertekan di laga tersebut kendati akhirnya menang. Agar lebih yakin lagi, lihat statistik pertandingannya. Menurut LabBola, penguasaan bola Vietnam jauh di atas tuan rumah, 62% berbanding 38%. Sungguh gila, bukan?
Untuk urusan tembak-menembak, kedua tim memang cukup sepadan. Indonesia punya 12 upaya mengarahkan bola ke arah gawang dengan 6 tembakan yang on target, sementara Vietnam melakukannya 11 kali dan mendapat 5 usaha yang mengarah tepat ke gawang.
Namun, semua peluang itu nihil gol dari skema serangan yang terencana. Dua gol Indonesia seluruhnya tercipta dari bola mati, yakni tandukan Hansamu Yama Pranata dari sepak pojok Rizky Pora dan penalti Boaz Solossa. Pun demikian dengan Vietnam yang membalas satu gol melalui Nguyen Van Nguyet dari titik putih.
Kendati cuma menang dengan skor tipis di 3 laga babak penyisihan Grup B Piala AFF 2016, masing-masing atas Myanmar (2-1), Malaysia (1-0), dan Kamboja (2-1), bukan berarti lini depan Vietnam kurang tajam. Mereka hanya perlu moment yang tepat saja untuk berpesta pora mengingat daya dobraknya yang berpotensi membuat pertahanan Garuda porak-poranda.
Vietnam punya torehan gol yang cukup mengerikan sepanjang tahun ini. Korea Utara saja disikat dengan skor 5-2 dua bulan silam, juga kemenangan meyakinkan atas Taiwan (4-1), Suriah (2-0), dan Singapura (3-0). Total, dari 13 laga di tahun 2016 ini, Vietnam hanya kalah 2 kali, imbang 2 kali, dan menang 9 kali dengan melesakkan 27 gol!
Jangan Bertahan, Tapi Pakai Otak
Jika tidak bertahan, lalu Indonesia harus bagaimana?
Mainlah secara jantan, ladeni duel terbuka, tapi tetap terukur dan pakai otak, bukan sekadar grudak-gruduk dengan hanya mengandalkan kecepatan dari lini sayap, atau justru kerap melepaskan bola-bola panjang yang tiada berguna.
Alfred Riedl memang punya barisan pelari cepat macam Andik Vermansah, Rizky Pora, Zulham Zamrun, Bayu Gatra, bahkan Boaz Solossa meskipun kini lebih sering dijadikan ujung tombak terdepan. Namun, kelincahan dan militansi para pemain Vietnam juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Belum lagi kolektivitas mereka yang jauh lebih padu.
Nguyen Huu Thang tampaknya sudah paham cara meredam kecepatan para winger Indonesia. Buktinya, di pertandingan leg pertama lalu, Andik Vermansah yang biasanya tampil cerdik lagi cantik nyaris tidak berkutik. Sementara Rizky Pora bisa sedikit lebih leluasa karena memang pemain Barito Putera ini masih tak terduga bagi Vietnam.
Indonesia harus lebih efektif. Maksimalkan visi bermain yang dimiliki gelandang pemikir seperti Stefano Lilipaly atau Evan Dimas, meski tentunya tetap menumpukan serangan dari sektor sayap karena itu adalah kekuatan utama tim Garuda. Hanya saja, mainkan dengan lebih cerdas dengan memadukan isi kepala dan otot di kaki.
Sebagai palang pintu terakhir sebelum masuk ke area pertahanan, Riedl bisa memilih antara Bayu Pradana atau Dedi Kusnandar yang lebih bertipikal sebagai gelandang pengangkut air. Berikanlah ketenangan untuk Stefano Lilipaly dan Evan Dimas.
Lini belakang? Ini yang sebenarnya menjadi problem terbesar Indonesia. Sejak ujicoba hingga 3 pertandingan di fase grup, hanya Fachrudin Wahyudi Aryanto yang tampil stabil. Sedangkan Rudolof Yanto Basna masih kerap ceroboh dengan melakukan kesalahan yang tidak perlu.
Perhatian untuk Pertahanan
Hansamu Yama Pranata dan Manahati Lestusen yang dimainkan di laga leg pertama semifinal kemarin memang tampil cukup lumayan, tapi duet bek muda ini masih sering panik jika digedor terus-terusan, apalagi jika yang dihadapi adalah lawan berdaya serang tinggi macam Vietnam, sebagai tuan rumah pula.
Riedl barangkali perlu mencoba duet Fachrudin dan Hansamu karena karakter mereka lebih tenang saat menghadapi tekanan. Selain itu, keduanya juga bisa diandalkan untuk memaksimalkan bola-bola mati seperti sepak pojok dengan postur tubuh yang cukup ideal. Yang jelas, koordinasi di lini pertahanan harus lebih baik.
Benny Wahyudi yang telah menyegel posisi di full back kanan tetap akan menjadi pilihan utama. Pemain Arema Cronus ini memang cukup disiplin terlepas dari pelanggaran di laga leg pertama lalu yang berbuah gol penalti Vietnam, walaupun sebenarnya masih bisa diperdebatkan
Di sisi kiri belakang, Abduh Lestaluhu dan Abdul Rachman punya peluang yang sama untuk jadi starter. Keduanya juga punya gaya permainan yang mirip, kerap melakukan penetrasi ke depan yang tentu berguna untuk sektor serang, tapi masih sering terlupa kembali ke tanggung jawab utamanya.
Untuk posisi kiper, Riedl tampaknya tetap akan memilih Kurnia Meiga kendati kerap diterpa kritikan. Kemasukan 8 gol dalam 4 laga tentunya bukan penampilan terbaik kiper Arema itu. Namun, di laga terbaru kemarin, performa Kurnia Meiga sudah lebih oke dengan menggagalkan sejumlah kans Vietnam, terutama di menit-menit akhir.
Intinya, Indonesia harus main lebih cerdas. Tak perlu bertahan total jika nantinya bobol juga. Tetap berupaya mengimbangi tuan rumah, tapi dengan taktik terukur dan jangan terburu-buru. Pengalaman Riedl yang pernah lama berkarier di Vietnam tentunya akan sangat bermanfaat.
Bicara memang paling gampang. Tapi, apa tega selalu membiarkan jutaan pecinta tim nasional menyaksikan aksi para pemain terbaik negeri dengan rasa sesak di dada?
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RS