Menuju konten utama

Jangan Ceroboh di Semeru!

Hampir tiap tahun, pengelola Taman Nasional Bromo Tengger Semeru harus berjibaku karena adanya pendaki yang hilang atau meninggal dunia di Gunung Semeru. Sementara itu, pendaki jadi-jadian menambah masalah dengan menyampah sembarangan.

Jangan Ceroboh di Semeru!
Lanskap Gunung Semeru terlihat dari udara Jawa Timur. [Antara Foto/Wahyu Putro A]

tirto.id - “Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

Itu jawaban Soe Hok Gie, saat ditanya mengapa ingin melakukan misi menaklukkan Gunung Semeru pada Desember 1969. Gie bersama-sama dengan Mapala UI ingin mendaki gunung dengan ketinggian 3.676 meter tersebut.

Gie tak sempat menyelesaikan misinya. Ia meninggal karena menghirup asap beracun gunung tersebut pada 17 Desember 1969. Ucapan itu merupakan pesan terakhir yang disampaikannya sebelum meninggal dalam pelukan Semeru di usianya yang baru 26 tahun.

Gunung Semeru memang sebuah magnet bagi pendaki gunung. Munculnya film yang berlatar belakang Semeru seperti Gie (2005) dan 5 CM (2012), membuat gunung yang terletak di Jawa Timur ini semakin populer.

Para pendaki seperti berlomba-lomba untuk menaklukkan gunung tersebut. Sayangnya, yang datang tak hanya sang pencinta alam, tetapi juga perusak. Mereka mendaki, tetapi juga mengotori. Alhasil, Semeru dipaksa menerima banyak sampah dari pendaki yang tidak membawa turun sampah tak terurai mereka.

"Untuk kawasan Gunung Semeru, setiap bulannya menghasilkan 1,5 ton sampah," ujar Kepala Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Ayu Dewi Utara pada 5 Oktober 2015. Sementara para pengunjung Bromo menyumbang 1 ton sampah tiap bulan. Masalah pendakian gunung bukan hanya sampah. Berita soal pendaki hilang atau celaka sudah sering tersiar di banyak media.

Mereka Yang Menyusul Soe Hok Gie

Tengah tahun 2016, Kedutaan Swiss kalang kabut. Warga Negara mereka, Lionel Du Creaux hilang di gunung itu. Lionel dilaporkan hilang pada 7 Juni 2016. Sebelum mendaki puncak Semeru, Lionel mendaki dari bawah dengan Alice Guignard, warga negara Perancis. Keduanya terpisah ketika Lionel memilih terus mendaki dan Alice yang tak kuat memilih kembali ke Kalimati. Tim SAR memperkirakan Lionel hilang di sekitar Gunung Batu.

Pencarian Lionel dimulai 9 Juni dengan bantuan keluarga dan kedutaan. Pencarian berakhir 19 Juni 2016, dengan hasil nihil. Lionel dinyatakan hilang di Gunung Semeru. Dua pendaki itu rupanya tak melapor atau memberitahu pos pendakian Ranu Pane. Pendakian mereka tak diketahui oleh pihak Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.

Sebelumnya, pada Mei 2016, Tim SAR di Semeru juga disibukkan mencari dua pendaki asal Cirebon yakni Zirli Gita Ayu Safitri dan Supriyadi. Dua pendaki ini tersesat setelah terpisah dari empat kawan pendaki mereka yang memilih ke puncak. Untungnya, pada 24 Mei 2016, dua pendaki itu ditemukan selamat meski dalam kondisi lemah, setelah lima hari hilang. Dua pendaki itu lalu dievakuasi melalui Lumajang dan dirawat di Rumah Sakit Dr Soetomo, Surabaya.

Menurut catatan Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, seperti dikutip dalam buku Sekali Lagi Soe Hok Gie (2009), Soe Hok-gie dan Idhan Lubis adalah dua pendaki pertama yang meninggal di Gunung Semeru. Selama kurun waktu 40 tahun sejak kematian Soe Hok Gie dan Idhan Lubis hingga tahun 2009, 28 pendaki meninggal dan 3 orang hilang dalam pendakian Semeru. Angka itu tentu bertambah hingga tahun 2016. Setidaknya lebih dari 30 orang sudah dinyatakan meninggal di Semeru.

Bakuh Subagio dan Endang Hidayat jadi korban di tahun 2013. Lalu Achamad Fauzi (2014) dan Dania Agustina Rahman (2015). Pendaki terakhir menjadi berita di beberapa media online, karena ada yang mengaku dia meninggal dengan mengucap syahadat di gunung, setelah tertimpa batu.

Menurut para pendaki berpengalaman, ada beberapa sebab kematian pendaki selain tertimpa batu besar di kepala. Mulai dari cuaca ekstrem, hiportemia, kehabisan logistik, tenggelam, penyakit bawaan, tersesat dalam waktu yang lama, hilang, jatuh ke jurang, menghirup gas racun, tertimpa material vulkanik, terpanggang api atau sambaran petir.

Soal hilangnya para pendaki di Indonesia, beberapa data tidak resmi dari komunitas-komunitas pendaki gunung, seperti Pendaki Gunung Indonesia (PGI), menyebut menyebut 40 pendaki hilang atau meninggal sejak awal tahun 2013 hingga Agustus 2015. Data tak resmi yang lain, menyebut ada 55 orang pendaki yang meninggal atau hilang di Indonesia selama kurun waktu awal tahun 2013 hinga tengah tahun 2016.

Tak Mudah Menaklukkan Semeru

Jalur yang harus dilalui pendaki untuk bisa mencapai puncak Mahameru, dengan ketinggian 3.676 meter di atas permukaan laut cukup panjang. Idealnya, butuh waktu tiga hari dua malam untuk bisa mencapai puncak. Untuk itu perbekalan, setidaknya untuk 5 atau 6 hari harus dipersiapkan.

Gunung Semeru termasuk gunung yang tidak bisa ditebak aktifitas vulaknisnya maupun cuacanya. Pastinya, Semeru, bukan Gunung yang mudah didaki. Umumnya, sebelum mendaki Semeru, para pendaki akan mencoba beberapa gunung yang jalurnya dianggap aman atau mudah dan lebih pendek. Gunung Papandayan di Garut dan Gunung Lawu di dekat Solo bisa dijadikan latihan mendaki gunung. Semeru bukan gunung yang bisa didaki sembarangan. Bukan menonton film yang diperlukan, tapi juga latihan dan disiplin lebih diperlukan untuk mendaki gunung ini.

Para pendaki berpengalaman saja harus melakukan latihan fisik sebelum naik Semeru. Beberapa minggu sebelum naik gunung, mereka sudah melakukan latihan fisik. Seperti jogging, push up, set up dan lainnya. Tak lupa, mereka selalu memantau informasi terkini tentang Semeru sebelum mendaki.

Perlengkapan yang diperlukan meliputi pakaian untuk beberapa hari, kantong tidur (sleeping bag), matras, tenda, senter, kompas gas kecil, pisau lipat serbaguna, korek api, masker, ponco atau jas hujan, sarung tangan gunung, tissue basah, botol minum ukuran besar, kantong sampah ukuran besar (trash bag), obat-obatan untuk pertolongan pertama atau obat pribadi. Bekal makanan juga harus disiapkan untuk 5 atau 6 hari.

Makanan yang dibawa umumnya makanan cepat saji seperti sosis, rendang, dendeng, kornet, sarden, abon, nasi atau makanan kaleng lainnya. Pastikan makanan ringan ringkas namun berkalori agar tidak merepotkan dalam perjalanan.

Bekal air para pendaki harus mencukupi sumber air seringkali jauh dari jangkauan pendaki. Jika habis, air dari Ranu Kumbolo cukup baik untuk dimasak dan bisa menjadi bekal untuk perjalanan ke Kalimati dan ke Puncak Mahameru. Minuman beralkohol tidak disarankan untuk dibawa. Meski menghangatkan, minuman alkohol dapat memicu pecahnya kapiler darah akibat terlalu cepatnya kapiler darah memuai dalam tubuh.

Sebelum mendaki, biasanya diadakan cek terakhir atas semua barang bawaan. Porsi berat beban bawaan idealnya adalah sepertiga dari berat tubuh pendaki. Sebelum melintasi jalur pendakian, pendaki biasanya melapor ke pihak Taman Nasional Bromo Tengger Semeru melalui surat, telepon atau email sebelum berangkat. Setelah dapat izin, melapor kembali di Pos Ranu Pane. Biasanya di pos pertama, petugas memberikan informasi atau peta pendakian.

Pendaki yang baik tak akan memaksakan diri melanjutkan pendakian jika perlengkapan dan perbekalan tak mencukupi atau cuaca tidak memungkinkan. Hipotermia dan kelaparan juga bisa mengakibatkan kematian di gunung. Keselamatan jauh lebih penting ketimbang foto di Mahameru. Hilang atau meninggalnya satu pendaki bisa merepotkan puluhan orang lainnya.

Pendaki satu dengan pendaki lain dalam satu rombongan akan saling menunggu. Terpisah dari pendaki lain bisa mengakibatkan pendaki tersesat. Para pendaki juga berhati-hati serta tidak merusak vegetasi di jalur pendakian. Pendaki yang baik tidak akan meninggalkan sampah yang tak terurai dalam pendakiannya.

Seperti halnya nyawa si pendaki, sampah mereka pun juga harus ikut turun bersama mereka ketika turun dari Semeru. Karena Semeru bukan tempat sampah dan naik Semeru bukan sesuatu yang boleh dianggap sepele. Kecerobohan di Semeru atau di gunung lain, mulai karena kurang bekal, kurang hati-hati, dan kurang ajar dengan tinggalkan sampah, akan merepotkan banyak pihak.

Baca juga artikel terkait SEMERU atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti