Menuju konten utama

Isu Merger Gojek-Grab dan Potensi Pelanggaran Persaingan Usaha

Grab dan Gojek diisukan bakal merger. Ini potensial menjadi monopoli dan merugikan konsumen karena tak ada lagi kompetisi.

Isu Merger Gojek-Grab dan Potensi Pelanggaran Persaingan Usaha
Pengemudi ojek online menunggu penumpang di kawasan Pasar Anyar, Kota Tangerang, Banten, Rabu (11/3/2020). ANTARA FOTO/Fauzan/foc.

tirto.id - Isu penggabungan usaha (merger) antara raksasa ojek daring di Indonesia, Gojek dan Grab, kembali mencuat. Melansir Financial Times, diskusi itu berlanjut usai kedua perusahaan menghadapi dampak cukup parah akibat kebijakan pembatasan aktivitas selama masa pandemi COVID-19.

Isu serupa sempat mencuat sebelum pandemi, Februari lalu. Pimpinan kedua perusahaan disebut-sebut bertemu. Melansir Bangkok Post, pembicaraan itu menghasilkan kemungkinan bergabung dan mengurangi kompetisi ojek online di Indonesia. Meski demikian, informasi ini dibantah oleh pihak terkait.

Hingga berita ini naik, belum ada pihak yang mau berkomentar mengenai isu merger ini. Corporate Communication Manager Gojek Evi Andriani, ketika dihubungi pada Selasa (22/9/2020), hanya menjawab singkat, “saya cek dulu ya.”

Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai munculnya isu merger ini dapat dimengerti sebab pandemi COVID-19 telah mengakibatkan penurunan permintaan secara signifikan. Langkah merger pun akan menguntungkan lantaran keduanya dapat melakukan efisiensi.

Hanya saja, langkah mereka--jika benar--mungkin bakal terbentur regulasi soal persaingan usaha. Idealnya ada lebih dari satu pelaku pasar dalam suatu industri sehingga terjadi kompetisi yang menghasilkan harga dan layanan terbaik pada konsumen. Jika keduanya bergabung, “konsumen tidak mempunyai daya tawar lebih. Bisa jadi harga akan naik di atas harga wajar,” ucap Nailul, Selasa (22/9/2020).

Kekhawatiran serupa disampaikan Ketua Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas. “Konsumen yang dirugikan karena tidak tersedia pilihan lain,” ucap Darmaningtyas, Selasa.

Sebelum ini saja, sudah ada kenaikan tarif di jam sibuk dan hujan--yang dikeluhkan konsumen. Belum lagi jika memperhitungkan dampak dan nasib bagi pengemudi yang saat ini menggunakan konsep mitra. Pada Juli lalu, KPPU pernah menjatuhkan denda Rp30 miliar karena dugaan diskriminasi Grab pada mitra non TPI.

Keadaan semakin buruk jika memperhitungkan kualitas transportasi publik di Indonesia. Dalam situasi normal saja banyak masyarakat lebih memilih menggunakan layanan ojek daring ketimbang transportasi umum.

Oleh karena itu ia bilang adanya isu merger ini perlu menjadi alarm bagi pemerintah untuk membenahi transportasi publik. Di sisi lain, ia juga mendesak Komisi Persaingan Usaha (KPPU) untuk mengkritisinya.

Komisioner KPPU RI Afif Hasbullah tak menjawab langsung bagaimana jika merger Grab dan Gojek benar-benar terjadi; apakah itu termasuk pelanggaran persaingan usaha karena menghasilkan monopoli atau tidak. Yang jelas, Pasal 28 UU Nomor 5 Tahun 1999 melarang adanya praktik penggabungan usaha yang berujung monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.

Ia menyarankan Grab dan Gojek berkonsultasi dengan KPPU sebelum meneken rencana merger. Ia bilang langkah ini lumrah dan biasa disebut voluntary pre-merger.

Ada beberapa kriteria yang akan dipelototi KPPU jika nantinya merger diteken. Beberapa di antaranya strategi bisnis, kemitraan antara perusahaan dan pengemudi, serta ada-tidaknya hambatan bagi pelaku usaha baru untuk masuk dan bertahan di industri tersebut.

“KPPU berwenang untuk menyetujui merger atau akuisisi yang terjadi, berwenang membatalkan merger atau akuisisi yang potensial mengakibatkan praktik monopoli,” ucap Afif, Selasa (22/9/2020).

Di beberapa negara lain, langkah merger di kancah ojek online terbentur peraturan persaingan usaha.

Pada 24 September 2018, Competition and Consumer Commission of Singapore (CCCS), lembaga setara KPPU, menjatuhkan denda 13 juta dolar Singapura kepada Grab usai merger dengan Uber. Dilansir dari Channel News Asia, denda itu diberikan usai kesepakatan merger akan benar-benar menghapus kompetisi. CCCS mengaku mendapat keluhan dari mitra pengemudi lantaran persoalan komisi dan bagi hasil. Salah satu yang disoroti waktu itu juga mencakup pengurangan penghasilan pengemudi dan insentif.

Selain Singapura, langkah serupa juga diambil Philippine Competition Commission (PCC) pada November 2019 dengan denda 23,45 juta peso. Melansir South China Morning Post, denda itu diberikan karena Grab melampaui komitmen harga pada tahun pertama sejak merger dengan Uber.

Langkah serupa juga hampir diambil oleh Malaysia Competition Commission (MyCC). Melansir Aljazeera, MyCC memilih untuk memantau hasil merger Grab dan Uber bila ada pelanggaran perilaku anti kompetisi. Namun pada Oktober 2019, MyCC memberi denda 86 juta ringgit Malaysia akibat perkara kontrak dengan pengemudi.

Baca juga artikel terkait TRANSPORTASI ONLINE atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Bisnis
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino