Menuju konten utama

IRESS Nilai Pilihan Subsidi Pertalite Dilematis

Marwan menilai, pilihan untuk memberikan subsidi BBM jenis Pertalite sangat dilematis.

IRESS Nilai Pilihan Subsidi Pertalite Dilematis
Antrean motor menunggu pengisian Pertalite di SPBU Kramat, Jakarta Pusat, Selasa (29/8). tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite naik Rp200 per liter per 24 Maret 2018. Kenaikan ini dinilai memberatkan masyarakat kelas bawah. Namun, pemerintah tetap mendorong penggunaan Pertalite karena dinilai lebih ramah lingkungan.

Pengamat Energi dari Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara menilai, pilihan untuk memberikan subsidi BBM jenis Pertalite sangat dilematis.

"Dilematis memang. Kalau mau mempertahankan harga [Pertalite] tidak naik, subsidi harus ditambah untuk diberikan ke Pertalite. Tapi, kalau mau nambah subsidi, utang harus bertambah juga," ujar Marwan kepada Tirto, pada Rabu malam (29/3/2018).

Marwan menjelaskan, Pertalite masuk dalam kategori BBM Umum yang tidak disubsidi. Dan harganya akan menyesuaikan perubahan harga minyak mentah dunia serta nilai tukar rupiah terhadap dolar.

Hal itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No.191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.

Artinya, jika pemerintah menuruti arahan DPR memberikan subsidi Pertalite, maka hal itu akan berbenturan dengan landasan hukum. Menurut Marwan, perlu mengubah Perpres 191/2014 kalau ingin menetapkan subsidi Pertalite.

Ia menyatakan, apabila pemerintah memberikan tugas kepada Pertamina untuk menerapkan harga Pertalite yang lebih murah, maka hal itu akan merugikan Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara.

"Tapi, maunya harga lebih rendah, kalau tidak ada subsidi akan susah. Pertaminanya nanti bangkrut. Bagi kita Pertamina itu harus bisa menyiapkan energi berkelanjutan dengan bisa melakukan ekspansi tanpa terhalang kerugian besar,” kata Marwan.

Ia menerangkan, 60 persen dari pasokan kebutuhan minyak Indonesia sebesar 1,7 juta barel per hari adalah impor. Sehingga, harganya harus mengikuti harga minyak mentah dunia.

"Kalau bicara BBM jangan bicara pencitraan. Pemerintah mengakui saja barangnya bukan dihasilkan dari perut bumi sendiri, 65 persen itu impor bahan bakunya," terangnya.

Di lain sisi, ungkap dia, pemerintah dan Pertamina kurang terbuka dalam menjelaskan visi penggunaan Pertalite. Seharusnya, mereka melakukan sosialisasi agar masyarakat terbuka dalam memahami perbedaan kualitas, dampak lingkungan dan harga.

"Di sisi lain, ada upaya terselubung oleh pemerintah dan Pertamina untuk orang nanti pelan-pelan pindah ke Pertalite. Lalu, kebetulan banyak yang pindah ke Pertalite, maka kuota Premium di APBN juga menjadi turun," ungkapnya.

Baca juga artikel terkait BBM atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto