Menuju konten utama

iPhone 11: Kualitas Anyar Plus Segudang Aplikasi Berbayar

Apple melakukan praktik monopoli untuk membuat aplikasi buatannya berjaya.

iPhone 11: Kualitas Anyar Plus Segudang Aplikasi Berbayar
CEO Apple Tim Cook berbicara tentang iPhone terbaru selama acara untuk mengumumkan produk-produk baru Selasa, 10 September 2019, di Cupertino, California. (AP Photo/Tony Avelar)

tirto.id - Meskipun teknologi baru pembuatan es hadir hampir saban tahun, hal itu tidak cukup membuat pemilik kulkas mau mengganti barang lamanya secara berkala. Kisah ini terjadi pula pada iPhone, juga ponsel lain.

Merujuk data yang dilansir Bloomberg, sembilan bulan berlalu sejak pergantian tahun, pendapatan penjualan iPhone turun $19,1 miliar dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, dengan percaya diri, Apple tetap meluncurkan versi baru produk andalannya berbarengan dengan peringatan 18 tahun tragedi 9/11: iPhone 11, seri ke-17 produk yang berawal di tahun 2007.

Jika hanya melihat dari spesifikasi, iPhone 11 adalah monster karena menggunakan System-on-Chip (SoC) A13 Bionic yang paling baru dan diklaim sebagai chip paling kencang dalam jagat ponsel pintar hari ini. Selain itu, chip tersebut juga mampu menopang kerja machine learning yang tersemat langsung di tubuh iPhone.

Di sektor kamera, Phone 11 juga tidak tanggung-tanggung. Pada varian “Pro,” ada tiga modul yang terpasang: 12MP regular camera dengan lensa 26mm f/1.8, 12MP ultra-wide camera dengan lensa 13mm f/2.4 yang mampu memotret 120-degree field of view, dan 12MP telephoto/portrait lens lebar 52mm f/2.0.

Tapi, tunggu dulu. Sebulan lalu, Samsung, produsen Android terbesar dunia, juga merilis Galaxy Note 10. Tak berbeda dengan iPhone 11, spesifikasi Galaxy Note 10 pun level monster. Segalanya baru dan segalanya canggih.

Sialnya, itulah gambaran terkini dunia ponsel. Yang baru dirilis ialah yang layarnya lebih lebar dan kinclong, yang kameranya lebih banyak dan jernih, yang memori dan media penyimpanannya lebih besar.

Seperti itu dan seperti itu.

Bejibun Aplikasi Berbayar

Atas mandegnya inovasi, dan terlebih klaim “ponsel lama masih baik-baik saja untuk tetap digunakan”, penjualan ponsel pintar menurun. Pada akhir kuartal 2-2019, merujuk Techcrunch, penjualan ponsel turun dari 374 juta unit menjadi 368 juta unit di seluruh dunia. Penurunan ini merupakan kelanjutan dari tahun sebelumnya.

Penurunan penjualan ponsel, khususnya bagi Apple, jelas mengkhawatirkan bagi mereka karena masih harus menghidupi 132 ribu karyawan dan orang-orang yang memiliki sahamnya. Maka, selain iPhone 11, Apple kini juga merilis banyak aplikasi berkonsep “subscription-based” atau “berlangganan.”

Hal tersebut merupakan suatu konsep di mana pengguna tidak dimungkinkan “beli-putus” suatu produk/layanan, tetapi harus membayar setiap bulan atau tahun agar produk/layanan dapat digunakan.

Beberapa aplikasi dengan konsep ini ialah Apple News+, aplikasi pembaca berita yang menggabungkan banyak media; Apple Arcade, aplikasi yang menggabungkan banyak permainan; Apple TV+, aplikasi penyedia film langganan yang disinyalir bakal menjadi kompetitor Netflix; hingga Apple Music, yang langsung bersaing dengan Spotify.

Dan seluruh aplikasi buatan Apple tersebut terintegrasi langsung dengan iPhone milik setiap orang. Tentunya dengan harga yang harus dibayar saban bulan.

Apple Music dihargai $10 per bulan. Apple Arcade harus ditebus $4,99 per bulan. Apple News $9,99 per bulan. Dan Apple TV+ menawarkan biaya berlangganan sebesar $5 per bulan.

Jika seorang pengguna iPhone menggunakan seluruh aplikasi berlangganan itu, ia harus membayar $29,98 setiap bulan pada Apple. Hari ini, merujuk data Statista, terdapat 222,9 juta pengguna iPhone. Maka, Apple memiliki potensi pendapatan sebesar $6,9 miliar setiap bulan atau $82,8 miliar per tahun dari bisnis ini.

Jika cara itu sukses, maka aplikasi “subscription-based” milik Apple dapat sanggup mengalahkan pendapatan iPhone, yang “hanya” menyumbang $62,9 miliar bagi pendapatan Apple di tahun 2018.

Tapi, bisakah?

Infografik Kinerja iPhone bagi Apple

Infografik Kinerja iPhone bagi Apple. tirto.id/Fuadi

Siasat 'Curang'

The New York Times, dalam laporan investigasi yang dikerjakan bersama Sensor Tower, firma analisis aplikasi, mengungkapkan bahwa Apple bermain "curang" agar aplikasi mereka digunakan pengguna Apple. Dalam analisis terhadap 700 kata kunci yang digunakan untuk mencari aplikasi di App Store, Apple disebut mengutamakan aplikasi buatannya dibanding para pesaing.

The Times mencontohkan, pada 2013, sebelum Apple meluncurkan Apple Music, Spotify menjadi aplikasi teratas tatkala pengguna memasukkan kata “music” di App Store. Namun, tak lama selepas Apple Music lahir di Juni 2016, Spotify tergeser ke urutan ke empat.

Apple tak berhenti di situ saja. Pada akhir 2018, demi memuluskan kesuksesan aplikasi-aplikasinya, ketika pengguna memasukkan kata “music” di kolom pencarian App Store, hasil yang diperoleh secara berurutan ialah: Apple Music, Garage Band, Music Memos, iTunes Remote, Logic Remote, iTunes Store, iMovie, dan Clips. Artinya: banyak aplikasi buatan Apple yang sebetulnya tidak relevan dengan kata kunci itu tampil di muka hasil pencarian. Spotify sendiri berada di posisi ke-23.

Pun, kecurangan ini terjadi tatkala kata kunci “TV” atau “Movie” dimasukkan. Sebelum Apple merilis Apple TV, Netflix jadi teratas. Lalu ketika The Times memasukkan kata kunci yang sama pada Juni 2018, Netflix terjun ke urutan... ratusan.

Philip Schiller, Senior Vice President Apple, membantah kecurangan yang dituduhkan pada perusahaannya. Katanya, “hasil pencarian dirancang dengan algoritma yang memprediksi apa yang pengguna inginkan.”

Atas tindakan Apple ini, Spotify menuntut Apple ke pengadilan. Namun, sebagaimana dilaporkan The Motley Fool, Spotify justru dianggap “tidak ikhlas” oleh Apple. Meski disebut telah memperoleh banyak manfaat dari App Store, Apple mengklaim bahwa Spotify tidak berkontribusi apapun bagi perkembangan toko aplikasi iOS itu.

Namun, terlepas dari pembelaan Apple tersebut, sesungguhnya siasat "curang" yang mereka tempuh juga dilakukan perusahaan lain.

Pada awal dekade 2000-an, Microsoft dianggap melakukan praktik monopoli web browser atau perambah. Kala itu, atas keunggulan Windows sebagai sistem operasi, Microsoft secara langsung (default) memasangkan Internet Explore sebagai perambah di tiap komputer berbasis Windows.

Netscape Communications, perusahaan di balik perambah Netscape Navigator, lantas menuntut Microsoft ke pengadilan karena hal tersebut. Hasilnya, pengadilan Amerika Serikat beserta sembilan negara bagian akhirnya memaksa Microsoft untuk tidak kembali melakukan monopoli.

Tidak terlalu lama sebelum The Times merilis laporannya tentang Apple, di Eropa, Google juga digugat untuk kasus yang hampir serupa.

Semula karena banyak pengguna Google yang mencari berbagai produk melalui mesin pencari mereka. Namun, sebagaimana dilaporkan Telegraph, Google melalui kemampuannya, terus menempatkan forum belanja daring milik mereka, Google Store, di hasil pencarian utama, tatkala pengguna, misalnya, melakukan pencarian “ponsel” ataupun “televisi.”

Menurut otoritas Uni Eropa, hal tersebut dianggap tidak fair bagi para pebisnis di forum belanja daring.

Dalam dunia teknologi, perilaku Apple, juga Microsoft dan Google, dalam memonopoli atau melakukan kecurangan agar produk mereka laris, sejatinya sudah lazim ditempuh tiap perusahaan yang tengah berkuasa. Apakah hal yang sama juga berlaku di sektor industri lain?

Baca juga artikel terkait APPLE atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Eddward S Kennedy