Menuju konten utama

IPA Sebut Migas Masih Jadi Energi Utama Hingga 30 Tahun Mendatang

Migas masih menjadi energi utama di dunia dalam 20-30 tahun ke depan.

IPA Sebut Migas Masih Jadi Energi Utama Hingga 30 Tahun Mendatang
Petugas beraktivitas di anjungan lepas pantai Pertamina Hulu Energi (PHE) 5 di Perairan Madura, Jawa Timur, Rabu (12/10). PHE 5 tersebut merupakan anjungan yang sebelumnya memproduksi gas dan kini beralih fungsi menjadi Central Processing Platform yang memproses pemisahan air, minyak dan gas. ANTARA FOTO/Zabur Karuru

tirto.id - Indonesian Petroleum Association (IPA) menyatakan minyak dan gas bumi (Migas) masih menjadi energi utama di dunia dalam 20-30 tahun ke depan. Pasalnya, porsi energi migas masih di atas 50 persen.

Anggapan itu juga didukung oleh Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 yang menetapkan target porsi energi migas pada tahun 2050 sebesar 44 persen dari total energi nasional.

Presiden IPA, Ronald Gunawan mengatakan, salah satu pekerjaan rumah yang harus dilakukan pemangku kepentingan adalah meningkatkan kembali daya saing sektor hulu migas Indonesia di level global. Pasalnya, kondisi hulu migas Indonesia terus mengalami penurunan produksi.

Ronald mengatakan, investasi juga perlu digenjot untuk menemukan sumber cadangan migas baru melalui kegiatan eksplorasi. Namun, potensi cadangan migas saat ini sudah mulai bergeser dari darat (onshore), beralih ke area lautan (offshore).

"Ini adalah sebuah tantangan yang besar karena eksplorasi untuk menemukan cadangan migas baru telah bergeser ke daerah frontier dan laut dalam, dimana diperlukan investasi awal yang sangat besar dan teknologi yang tinggi," ungkap Ronald dalam acara Konvensi dan Pameran IPA ke-42 di Jakarta Convention Center, Rabu (2/5/2018).

Menurut Ronald, apabila investasi tidak digenjot, maka sulit untuk menemukan cadangan migas baru. Bahkan, Indonesia bisa menjadi negara net importir gas pada tahun 2022.

"Indonesia telah menjadi negara net importir minyak bumi sejak 2002. Dengan terus menurunnya produksi migas nasional, diperkirakan Indonesia akan menjadi net importir untuk gas pada tahun 2022," terang Ronald.

Ia menerangkan, kondisi industri hulu migas bergerak dinamis, baik secara global maupun dalam negeri. Harga minyak dunia turun secara drastis mulai akhir 2014, tetapi mulai beranjak naik sejak November 2017, yang kemudian membawa optimisme bahwa industri migas akan bangkit kembali.

"Perusahaan-perusahaan minyak di dunia makin selektif dalam melakukan investasi modal. Untuk itu kita harus mampu mengatasi persaingan global dan menarik investasi ke Indonesia," ucapnya.

Kendati demikian, Ronald mengapresiasi langkah pemerintah dalam 18 bulan terakhir, terutama Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan yang melakukan berbagai perubahan di industri migas dalam negeri dengan menerbitkan skema kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract/PSC) model baru dengan skema Gross Split, setelah Indonesia memakai PSC Cost Recovery selama lebih dari 50 tahun.

Menurut dia, perubahan kontrak dari PSC Cost Recovery menjadi Gross Split adalah perubahan yang signifikan dari segi tata kelola industri hulu migas dengan tujuan memberikan fleksibilitas kepada kontraktor untuk melakukan efisiensi dalam operasinya.

"Perubahan ini juga menggeser risiko bisnis migas menjadi sepenuhnya terletak pada pihak investor. Sudah terlihat sinyal yang positif dengan diambilnya 5 WK (Wilayah Kerja) dari 10 WK yang ditawarkan tahun lalu," ujarnya.

Selain itu, dia juga mengapresiasi upaya pemerintah yang menggairahkan kembali iklim investasi hulu migas lewat penyederhanaan peraturan dan perizinan. "Kami mencatat pada Februari tahun ini ada sekitar 14 peraturan di sektor migas telah dicabut karena dianggap menghambat kegiatan bisnis," terangnya.

Baca juga artikel terkait MIGAS atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Alexander Haryanto