tirto.id - Awal Agustus lalu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merilis laporan yang menyatakan Korea Utara memperoleh uang senilai $2 miliar melalui kejahatan siber. Para peretas Korea Utara menyerang institusi keuangan konvensional dan digital, mulai dari bank hingga lembaga jual-beli uang kripto.
Yoo Dong-rul, Direktur Korea Institute of Liberal Democracy, mengungkapkan kepada Financial Timesbahwa aktivitas siber adalah satu dari sedikit cara yang bisa dilakukan ketika pintu perdagangan tertutup bagi Korea Utara.
Melalui tim peretas bernama Lazarus Group, alias APT 38 alias HIDDEN COBRA alias Guardian of Peace alias Whois Team, yang berada di balik pencurian $12 juta dari Banco del Austro Ekuador, $1 juta dari Tien Phong Bank Vietnam, $81 juta dari Bangladesh Bank, dan $60 juta dari Far Eastern International Bank, Korea Utara menjadi negeri peretas yang "gigih, sabar dan terampil," jelas Priscilla Moriuchi, mantan analis National Security Agency (NSA).
Kesuksesan tim peretas asal Korea Utara ini menimbulkan pertanyaan. Bagaimana sesungguhnya kehidupan dunia teknologi, khususnya internet, di negeri yang kini dipimpin Kim Jong-un itu?
Lebih Tangguh dari Tembok Cina
Sebagaimana diungkap The Washington Post, akhir Juli lalu Huawei dilaporkan membantu pembangunan jaringan internet nirkabel Korea Utara. Sedikitnya Huawei telah bekerja membangun sistem telekomunikasi Korea Utara selama delapan tahun. Untuk menyembunyikan operasional dari endusan Washington, Huawei mengganti namanya menjadi “A9”. Nama itu juga dipakai untuk melakukan bisnis dengan Iran dan Suriah.
Aktivitas pengembangan nuklir oleh Korea Utara telah dikenai sanksi. Perusahaan internasional dilarang melakukan aktivitas dagang dengan Kim Jong-un. Namun, Huawei, dalam sebuah pembelaannya pada Recode, menyebut bahwa mereka “tak memiliki bisnis apa pun di Korea Utara.” Huawei, lanjut pembelaan itu, “sangat berkomitmen mematuhi semua peraturan yang ada.”
Sayangnya, merujuk laporan Trading Economics, meski Huawei alias A9 telah bekerja membangun jaringan internet selama delapan tahun, kecepatan koneksi internet Korea Utara hingga Agustus 2019 masih berada di papan bawah. Internet Korea Utara berada di angka 3.451,38 kilobita per detik (Kbps) alias 3,4 megabita per detik (Mbps). Kecepatan internet Korea Utara tersebut, setengah dari kecepatan yang dimiliki Indonesia, yang rata-rata berada di angka 7.203.29 Kbps alias 7,2 Mbps.
Jelas, soal kecepatan, Korea Utara tak ada apa-apanya dibandingkan Korea Selatan, yang kini memiliki rerata kecepatan internet sebesar 28,5 Mbps.
Secara umum, internet adalah “barang mewah” di Korea Utara. Dave Lee, dalam laporannya untuk BBC, menyatakan bahwa salah satu cara warga untuk mengakses internet ialah dengan mengunjungi satu-satunya warnet di ibukota, Pyongyang.
Selain via warnet, mengakses internet pun dapat menggunakan perangkat mobile. Ya, di Korea Utara, terdapat provider telekomunikasi. Sayangnya, mereka tak menawarkan koneksi internet atau panggilan internasional. Guna dapat mengakses internet, warga Korea Utara yang cukup bernyali akan menggunakannya di wilayah sekitar perbatasan Cina.
Di Cina, negeri yang bersahabat erat dengan Korea Utara, internet dijaga ketat negara. Setelah internet masuk ke Cina pada Januari 1996, pemerintah mulai membangun "tembok" untuk melakukan sensor terhadap internet. Beijing pun memantau pembicaraan-pembicaraan di internet, mengendalikan ruang gerak warganet, memblokir situs web asing, memfilter konten, hingga menurunkan laju lalu lintas internet dari Cina ke luar negeri.
Kebijakan itu terkait dengan biaya bandwidth internasional yang harus dibayar mahal jika laju lalu lintas menuju situs web asing terlampau banyak. Sebagaimana dikutip Business Insider, terdapat 1,3 juta situs web yang diblokir otoritas Cina pada 2010.
Kebijakan tersebut melahirkan julukan “The Great Firewall of China”. Dalam dunia komputer, Firewall merupakan sistem yang dirancang untuk memblokir akses bagi aplikasi atau program yang tidak sah, entah itu yang keluar atau masuk ke komputer yang menggunakan Firewall.
Berbagai perusahaan teknologi asing terkena imbas “The Great Firewall of China”. Tak terkecuali para pemain-pemain besar di dunia internet. Sejak 2002, Google diblokir oleh otoritas internet Cina, menyusul kemudian Facebook dan Twitter yang diblokir pada 2009.
Tapi situasi di Korea Utara lebih buruk. Internet bukan hanya dipagari tembok besar, tetapi juga dicekik sehingga layanan yang ada pun sangat terbatas.
Satu-satunya warnet di Pyongyang misalnya, masih menurut laporan Lee, menggunakan sistem operasi khusus bernama Red Star, yang jejaknya dapat ditelusuri hingga ke Kim Jong-il, pendiri Korea Utara. Dengan memanfaatkan Red Star, pemerintah menciptakan Naenara, perambah web berbasis Mozilla Firefox, untuk membatasi ruang-gerak maya yang dapat dijelajahi warganya.
Korea Utara juga memiliki Mosquito Net, alias infrastruktur teknologi yang diciptakan penguasa untuk mengizinkan akses-akses internet dasar semata.
Mosquito Net didukung oleh satu-satunya penyelenggara internet, Kwangmyong.
Kehidupan internet warga biasa berbeda dengan warga khusus. Peretas atau akademisi, atau pejabat negeri, yang merupakan warga khusus, memiliki privilese dan kekuatan khusus dalam menggunakan internet. Dilansir Korea Times, setahun lalu, lima orang akademisi Korea Utara menerbitkan karya ilmiah melalui jurnal yang diterbitkan Korea Selatan. Karya ilmiah itu berjudul “Improved Hybrid Symbiotic Organism Search Task-Scheduling Algorithm for Cloud Computing". Dari judulnya saja, orang dapat mengetahui para akademisi itu memiliki kemampuan tak sembarangan dalam soal komputer.
Rektor Pyongyang University of Science and Technology Park Chan-mo menyatakan bahwa penerbitan karya itu adalah bukti bahwa Korea Utara tengah mengembangkan teknologinya.
Saat ini akses internet masih dibatasi. Namun, bukan tak mungkin kelak kebijakan negara akan membuka akses internet yang lebih besar bagi semua kalangan.
Selain untuk melayani “sebagian kecil” warganya, internet digunakan Korea Utara memoles citra diri, khususnya sang pemimpin, Kim Jong-un. Misalnya, melalui situs web Rodong Sinmun, media yang dikendalikan pemerintah.
Pada setiap artikel yang terbit, jika Anda berkunjung ke rodong.rep.kp, akan ditemukan “Kim Jong-un” ditulis dengan angka yang lebih besar 0,5 pt dibandingkan keseluruhan besar tulisan.
Editor: Windu Jusuf