Menuju konten utama

Imperium Sunyi Jean-Michel Aulas

Tak semua orang menyukai Jean-Michel Aulas. Akan tetapi, bagi Olympique Lyonnais, dia adalah malaikat pelindung.

Imperium Sunyi Jean-Michel Aulas
Presiden Olympique Lyonnais Jean-Michel Aulas berpose sebelum upacara Ballon d'Or ke-66 di Theater du Chatelet di Paris, Prancis, Senin, 17 Oktober 2022. AP Photo/Francois Mori

tirto.id - Tak semua orang menyukai Jean-Michel Aulas. Akan tetapi, bagi Olympique Lyonnais, dia adalah malaikat pelindung.

"Semua pemain yang kujumpai, bahkan di tim nasional atau dari klub lain, akan menyebutnya pria yang membosankan—atau bahkan lebih buruk lagi—tetapi mereka semua ingin memiliki presiden seperti dirinya," kenang Sidney Govou, mantan penyerang sayap Lyon, seperti dikutip dari The Athletic.

Rekam jejak hidup Aulas menunjukkan bahwa sosok yang kini berusia 73 tahun itu memang tak kenal rasa takut. Kendati lahir dari keluarga yang cukup mapan—ayah dan ibunya sama-sama berprofesi sebagai guru—Aulas tidak tumbuh menjadi bocah penurut. Bahkan, secara sadar dia memutuskan berhenti sekolah, mengajukan emansipasi dari orang tuanya, lalu terjun ke dunia bisnis.

Pada 1983, Aulas mendirikan Cegid, perusahaan piranti lunak yang jadi sumber utama kekayaannya hingga kini. Empat tahun kemudian, pria kelahiran L'Arbresie itu mengambil alih Lyon yang tengah terpuruk di divisi dua. Objektif Aulas: Menjadikan Lyon jadi penantang serius, tak cuma di Prancis tetapi juga di Eropa.

Dalam perjalanannya, bisa dibilang Lyon dan Aulas telah menjadi dwitunggal. Eksistensi yang satu tak bisa dipisahkan dari yang lain. Apalagi, di setiap kesempatan yang dia miliki, Aulas tak pernah lelah berjuang untuk Lyon meski pada akhirnya dia harus memiliki banyak musuh.

Salah satu musuh Aulas itu adalah eks Presiden Liga Prancis, Gerard Bourgoin. "Aulas bisa berkata satu hal hari ini dan mengubahnya pada esok hari tanpa rasa malu sedikit pun. Kalau ada klub 'Pembohong Terbesar di Prancis', dia pasti akan meminta jadi presiden. Orangnya memang seperti itu," ucap Bourgoin, disitat dari The Athletic.

Aulas memang vokal dan selalu punya opini untuk segala hal. Fakta bahwa dia merupakan salah satu orang Prancis pertama yang memiliki akun Twitter makin mempertegas citra tersebut. "Semua dikomentari olehnya, tak peduli apakah isu itu berkaitan dengan klubnya atau tidak," tutur Alex Hayes, mantan Wakil Presiden Lorient.

Meski demikian, apa yang dilakukan Aulas itu, menurut para pelaku sepak bola Prancis, sebetulnya selalu berkaitan dengan kemaslahatan Lyon. Dan segala upaya Aulas itu pun menunjukkan hasil nyata. Pada dekade 2000-an, khususnya, tak ada klub yang bisa menggeser dominasi Lyon di Prancis.

Selama dikendalikan Aulas, Lyon sukses merajai Prancis tujuh kali. Dua trofi Coupe de France, satu Coupe de la Ligue, tujuh Trophee des Champions, serta keberhasilan melangkah ke semifinal Liga Champions 2009/10 dan 2019/20 pun makin menegaskan bahwa rezim Aulas adalah rezim penuh kejayaan.

Keberlanjutan menjadi kata kunci dalam keberhasilan Lyon selama dipimpin Aulas dan keberlanjutan itu bersumber dari dua hal: kualitas akademi dan sistem pencarian bakat. Tiga dari lima penjualan termahal Lyon—Tanguy Ndombele, Alexandre Lacazette, dan Ferland Mendy—merupakan produk asli akademi. Sementara, dua lainnya (Lucas Paqueta dan Bruno Guimaraes) merupakan bukti jelinya mata pencari bakat Lyon.

Dari situ semua sudah terlihat betapa hebatnya sosok Aulas sebagai pemilik klub. Akan tetapi, sebetulnya ada satu hal lain yang membuat dirinya tak cuma layak disebut sebagai pemilik klub hebat, tetapi juga pahlawan sepak bola. Hal yang dimaksud adalah kontribusinya bagi sepak bola perempuan.

Peretas Jalan, Pendobrak Kemapanan

Awal mula cerita Aulas di persepakbolaan perempuan tak jauh berbeda dengan bagaimana dia mengawali kisah bersama Lyon. Bedanya, saat memulai kiprah di sepak bola perempuan, Aulas sudah memimpin tim laki-laki Lyon selama belasan tahun dan sudah mulai mereguk sukses bersama mereka. Inilah yang kemudian membuatnya berbeda dari sosok presiden klub lain.

Tim laki-laki Lyon sedang berada dalam masa kejayaannya ketika Aulas melihat sebuah klub sepak bola perempuan bernama FC Lyon tengah terpuruk. Di sinilah kesamaan antara pengambilalihan Lyon pada 1987 dan pengambilalihan FC Lyon pada 2004 terletak. Aulas sama-sama melihat sebuah klub yang sedang kesulitan dan muncul hasrat dalam dirinya untuk membuat perubahan.

Pada 2004, FC Lyon diakuisisi dan dijadikan diubah namanya menjadi Olympique Lyonnais Feminine (selanjutnya disebut Lyon Feminine). Namun, tak seperti Lyon yang butuh waktu 15 tahun untuk akhirnya menjadi kampiun Prancis, Lyon Feminine cuma butuh tiga tahun. Pada 2006/07, Lyon Feminine jadi juara Prancis sekaligus memulai sebuah periode sukses yang muskil ditandingi tim mana pun.

Sejak menjadi juara Liga Prancis (Division 1 Feminine) pada 2006/07, laju Lyon praktis tak terhentikan. Total, 34 trofi sudah berhasil mereka raih sejauh ini, termasuk delapan gelar Liga Champions Perempuan (UWCL). Bahkan, pada 2013, Lyon Feminine masuk pula dalam Guinness Book of Records sebagai tim olahraga dengan jumlah kemenangan beruntun terbanyak (41 kemenangan dari 28 April 2012 hingga 18 May 2013).

Apa yang diraih Lyon Feminine itu beriringan dengan semakin populernya sepak bola perempuan. Kualitas permainan semakin bagus, penonton semakin banyak, nilai sponsor pun semakin besar. Lyon Feminine sendiri, selama dipegang Aulas, mampu menghadirkan deretan bintang terbesar sepak bola perempuan, mulai dari Megan Rapinoe, Alex Morgan, Ada Hegerberg, Dzsenifer Marozsan, Lucy Bronze, sampai Danielle van de Donk.

Tak cuma itu, Lyon Feminine juga sanggup mencetak bintang dari akademinya sendiri. Nama-nama macam Wendie Renard, Delphine Cascarino, Amel Majri, Selma Bacha, dan Melvine Malard, yang kesemuanya merupakan penggawa Tim Nasional Prancis, dilahirkan Lyon Feminine dari rahim akademinya sendiri.

Soal akademi, apa yang dilakukan Lyon Feminine itu sama persis dengan apa yang selama ini telah diterapkan Aulas di Lyon. Akan tetapi, soal rekrutmen pemain bintang, ceritanya agak lain. Di jagat persepakbolaan laki-laki, Lyon bukan klub kaya yang mampu mendatangkan bintang kelas satu di puncak karier. Akan tetapi, sepak bola perempuan memang beroperasi di semesta yang berbeda

Di sepak bola perempuan, Lyon Feminine adalah destinasi favorit para bintang. Sebab, Aulas yang memiliki net worth sekitar 600 juta euro itu mau dan mampu memberikan bayaran mahal bagi para pesepak bola perempuan terbaik. Seorang bintang kelas satu di Lyon Feminine bisa mendapatkan gaji 300-500 ribu euro per musim. Ini menjadikan mereka sebagai klub di mana pemain perempuan bisa mendapatkan penghasilan paling tinggi.

Jika dibandingkan dengan para pemain laki-laki, gaji yang diberikan Lyon Feminine itu memang bak bumi dan langit. Di sepak bola laki-laki, ada cukup banyak pemain yang bisa menerima nilai gaji tahunan tadi hanya dalam kurun waktu sepekan. Akan tetapi, bukan berarti Aulas tidak mau mengeluarkan uang lebih dari itu. Ada pertimbangan bisnis yang juga mesti dipikirkannya masak-masak.

“Sepak bola perempuan eksis dalam kehidupan ekonomi yang kita tinggali saat ini. Kami beroperasi sebagai perusahaan swasta, di mana aku adalah pemegang saham terbesar dan ada pula saham kami yang beredar di lantai bursa. Oleh karena itu kami tak bisa seenaknya karena harus ada pertanggungjawaban kepada pemegang saham,” jelas Aulas kepada The Guardian.

“Selain soal uang, hal terpenting lainnya bagi para pemain adalah posisi mereka di sebuah klub sepak bola. Promosi soal kesetaraan gender dan nilai-nilai yang kami miliki memang seharusnya diikuti oleh kompensasi ekonomi yang sesuai. Sayangnya, kami belum bisa membayar para pemain perempuan sebanyak pemain laki-laki. Akan tetapi, sampai sekarang kami adalah klub dengan bayaran terbaik untuk pemain perempuan karena itu masuk dalam nilai-nilai kami,” lanjutnya.

Dari Rumah Menjadi Rumah

Aulas, dengan segala yang sudah dia lakukan, telah menjadi pahlawan bagi sepak bola perempuan. Dan ternyata, jasa-jasa Aulas ini tidak bisa dilepaskan dari bagaimana dulu dia dibesarkan kedua orang tuanya.

“Ayahku seorang guru bahasa Prancis dan ibuku adalah guru matematika. Mereka berdua membesarkanku untuk menjadi orang yang penuh rasa hormat,” kenang Aulas.

Dengan berpegang teguh pada ajaran dari kedua orang tuanya, Aulas pun tak bisa tinggal diam ketika menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana para pesepak bola perempuan diperlakukan bak warga kelas dua. Ada dua kejadian yang membuat Aulas benar-benar tergerak untuk menciptakan perubahan konkret bagi sepak bola perempuan.

Dalam bukunya yang berjudul A Woman’s Game: The Rise, Fall, and Rise Again of Women’s Football, jurnalis Inggris Suzanne Wrack menceritakan bagaimana, pada 2006, Aulas mendapati kenyataan bahwa para pesepak bola perempuan tak bisa memilih jersi yang sesuai dengan tubuh mereka. Alhasil, pada masa itu, para pemain itu kerap mengenakan jersi kedodoran karena jersi itu sebetulnya dibuat untuk pemain laki-laki.

Kemudian, pada 2011, lanjut Wrack, Aulas harus ikut memeras jersi-jersi yang basah terkena hujan. Saat itu, bukan hal lazim bagi para pemain perempuan untuk membawa jersi cadangan ke sebuah pertandingan. Dua peristiwa ini betul-betul menggugah Aulas dan dia tak cuma melakukan perubahan secara mandiri tetapi juga memaksa para pemangku kebijakan lain untuk berbenah.

Bagi Aulas, timpangnya perlakuan terhadap pesepak bola laki-laki dan perempuan itu tak bisa diterima. Namun, dia sadar bahwa upaya merevolusi mental demi perbaikan sepak bola perempuan tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Tidak semua orang punya pikiran terbuka dan iktikad baik untuk sungguh-sungguh mengangkat derajat sepak bola perempuan.

“Ada banyak tentangan dari sepak bola laki-laki, dari klub-klub, dari federasi, dan secara umum dari masyarakat. Kupikir, karena aku punya sumber daya, aku bisa mengambil alih tanggung jawab ini dan membuat perubahan,” kata Aulas.

Hasilnya pun nyata. Bahkan Hegerberg, bintang Norwegia yang dikenal vokal atas perkara kesetaraan sampai-sampai memboikot tim nasionalnya sendiri, sangat mengapresiasi upaya-upaya yang sudah dilakukan Aulas untuk sepak bola perempuan.

“Delapan tahun lalu, tim ini bahkan tidak punya ruang ganti. Sekarang, kita sudah sampai pada titik di mana tim perempuan menggunakan fasilitas latihan yang sama dengan tim laki-laki dan bagiku ini sangat penting. Sepak bola modern, ya, harusnya seperti ini. Meski begitu, masih ada banyak hal yang Lyon mesti lakukan juga dan itulah mengapa kami harus terus berjuang,” ucap Hegerberg pada 2020, dikutip dari The Guardian,

Ucapan Hegerberg soal “banyak hal yang Lyon mesti lakukan” itu terbukti pada awal 2023 ketika sengketa gaji Sara Bjork Gunnarsdottir terungkap ke permukaan. Usut punya usut, Lyon Feminine sempat menolak membayar gaji pemain Islandia tersebut saat dirinya tengah hamil. Untungnya, pemain yang kini membela Juventus Women itu berhasil mendapatkan haknya usai menyeret klub ke pengadilan.

Meski demikian, jasa-jasa Aulas yang terejawantahkan lewat Lyon Feminine tentu tak bisa dikesampingkan. Bahkan, Aulas sendiri tidak cuma mencoba mengembangkan sepak bola perempuan di Prancis, melainkan juga di Amerika Serikat ketika dia mengakuisisi FC Reign dan mengubah namanya menjadi OL Reign. Aulas memang bukan tanpa cela tetapi komitmennya untuk sepak bola perempuan tak bisa dibantah siapa pun.

Awal Mei 2023 ini, Aulas mengumumkan perpisahan dengan Lyon sekaligus menyerahkan tampuk kepemimpinan pada pemegang saham mayoritas baru, John Textor. Dengan demikian, berakhirlah petualangan hampir 36 tahun yang dilakoni Aulas bersama Les Gones. Kepergian Aulas itu sekaligus jadi kehilangan besar bagi sepak bola perempuan.

Namun, bukan berarti dengan kepergian Aulas sepak bola perempuan harus berhenti berkembang. Sebaliknya, saat ini sepak bola perempuan tengah berada dalam masa pertumbuhan pesat. Lyon Feminine pun tak lagi jadi kekuatan dominan di Eropa karena makin banyak klub yang mengikuti jejak mereka, seperti Barcelona, Arsenal, Chelsea, Real Madrid, Wolfsburg, Bayern Munchen, Juventus, dan Roma.

Dengan kata lain, imperium Jean-Michel Aulas kini tak lagi sunyi.

Baca juga artikel terkait SEPAK BOLA atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Olahraga
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Nuran Wibisono