Menuju konten utama

Imigrasi RI Belum Pastikan Jumlah WNI Gabung ISIS di Suriah

Hingga saat ini, pihak imigrasi juga belum memiliki data pasti berapa jumlah WNI yang telah bergabung dengan ISIS di Suriah.

Imigrasi RI Belum Pastikan Jumlah WNI Gabung ISIS di Suriah
Kelompok ISIS. FOTO/Istimewa.

tirto.id - Kepala Bidang Humas Ditjen Imigrasi Agung Sampurno mengatakan jumlah WNI yang bergabung ISIS belum bisa dikonfirmasi lantaran data yang disebut hanya dimiliki oleh Pemerintah Turki. Hingga saat ini, pihak imigrasi juga belum memiliki data pasti berapa jumlah WNI yang telah bergabung dengan ISIS di Suriah.

Pemerintah Turki menyebut Indonesia sebagai negara dengan jumlah militan ISIS terbesar kedua di dunia. Dari total 4.957 militan asing yang tertangkap oleh otoritas Turki, 435 di antaranya dikabarkan berasal dari Indonesia. Jumlah tersebut hanya berada di bawah Rusia yang menempati posisi tertinggi dengan 804 militan.

“Pergerakan manusia di luar negeri itu sangat bebas dan baru bisa diketahui ketika terjadi sesuatu, apakah dia melanggar keimigrasian atau melanggar tindak pidana umum,” ungkapnya saat dihubungi Tirto, Minggu (16/7/2017).

Ia menyampaikan, kepergian para WNI untuk bergabung dengan ISIS sangat sulit dideteksi lantaran jalur yang biasanya dilalui bukanlah jalur langsung dari Indonesia, melainkan negara ketiga seperti Turki, Iran dan Tajikistan.

Apalagi, tidak ada jalur penerbangan langsung ke negara-negara tersebut melalui Indonesia. Sehingga, untuk sampai ke sana, para WNI mula-mula harus pergi di negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.

“Di Indonesia itu tidak ada direct flight ke Turki. Jadi enggak bisa dihitung. Yang ada itu mereka menggunakan negara ketiga untuk masuk. Jadi misalnya, mereka ke Singapura, data mereka ke Singapura ada. Tapi kalau dari Singapura ke Turki itu enggak ada," jelasnya.

“Artinya, imigrasi tidak punya data orang Indonesia yang terbang ke Turki. Pun demikian orang Indonesia yang pergi ke Suriah,” tambah Agung.

Agung menjelaskan, pihak imigrasi hanya mampu mencegah warga Indonesia untuk bepergian ke negara-negara yang sedang dilanda konflik. Hal itu dilakukan dengan cara melakukan pengawasan serta memperketat pemberian paspor dan izin ke luar negeri.

“Untuk pemberian paspor, kami melakukan penundaan kepada orang-orang yang persyaratan maupun prosedurnya mencurigakan. Biasanya dilakukan ketika orang yang membuat paspor, tidak bisa menjelaskan motifnya membuat paspor, kemudian tidak jelas tujuan dan maksudnya. Negara berhak menunda sampai dia bisa menjelaskan dan membuktikan dengan pasti, dan memberikan dokumen yang valid," jelasnya.

Upaya lain yang juga dilakukan oleh imigrasi adalah integrasi database Interpol di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) serta pertukaran data dan informasi terkait WNI yang terlibat tindakan terorisme dengan instansi terkait, seperti Polri, badan Intelijen Negara (BIN), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Di luar itu, pertukaran informasi juga dilakukan melalui hubungan bilateral dan multilateral antar negara guna menangkal jaringan-jaringan teroris masuk ke Indonesia.

“jadi kami saling tukar informasi, baik di lingkup Asia maupun dunia secara luas. Kalau ada yang terindikasi sebagai jaringan isi, kami tentu dicekal untuk masuk dan keluar dari Indonesia.”

Diwawancarai terpisah, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius menyebut bahwa jumlah yang dirilis oleh Pemerintah Turki bukanlah militan melainkan para wanita dan anak-anak yang bergabung dengan ISIS karena terpengaruh propaganda.

Selain itu, jumlah yang disebutkan juga terbilang kecil jika dibandingkan dengan populasi penduduk Indonesia secara keseluruhan.

"Dua kali saya ke Turki, jadi angka yang disebut kalau dari Rusia itu foreign fighter, kalau kita itu wanita dan anak-anak. Dan jangan lupa populasi kita ratusan juta, besar, kalau persentase kecil," ungkapnya di Kantor BNPT, Bogor, Senin (17/7/2017).

Menurut Suhardi, cita-cita untuk tinggal dan hidup di bawah naungan negara dan hukum Islam, membuat para WNI rela bersusah-payah pergi ke Suriah. Namun setelah ISIS semakin terpojok, mereka tak bisa keluar dari wilayah tersebut. "Mereka ke sana tertarik untuk hidup di negara Islam, menjadi cita-cita ideologis, tetapi sampai sekarang sudah kita lihat, tertahan di perbatasan."

"Mereka keluar susah. Kami dengan Menlu koordinasi sehari bisa tiga kali mencari jalan keluar bagaimana, mencari jalan keluar terbaik untuk saudara saudara kita," imbuhnya.

Sejauh ini, kata Suhardi, pihaknya terus melakukan upaya deradikalisasi kepada warga Indonesia yang tertangkap oleh otoritas Turki tersebut. BNPT juga telah meminta agar para WNI tersebut dipulangkan melalui penerbangan langsung ke Indonesia. Hal itu dilakukan untuk mempermudah proses identifikasi dan pemulangan warga.

Nantinya, para WNI tersebut akan dibawa ke Rumah Sosial dan Perlindungan Anak (RSPA) serta Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) di Bambu Apus, Cipayung, Jakarta Timur, untuk mengikuti proses deradikalisasi.

"Sesampai sini kita langsung kumpulkan karena itu yang kita punya sekarang. Kita tidak punya regulasi yang pas, kemudian setelah identifikasi kita kumpulkan di Bambu Apus, koordinasi selama satu bulan deradikalisasi. Ada ulama dari NU, Muhammadiyah, MUI, kemudian psikolog. Ada psikolog anak kita libatkan kita berharap satu bulan selesai."

Selain itu, pihaknya juga telah meminta pemerintah daerah, melalui Kementerian Dalam Negeri, untuk memantau para WNI yang telah melalui proses deradikalisasi. Sebab, menurutnya, proses deradikalisasi membutuhkan waktu yang panjang dan tak bisa hanya dijalankan oleh BNPT.

"Enggak mampu kalau kita sendirian. Di situ peran penting lokal. Kalau saya katakan, di luar lokal government juga punya tanggung jawab monitor. Kita tidak bisa menjamin satu bulan di Bambu Apus tereduksi," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait WNI atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Maya Saputri