Menuju konten utama

Iklan-Iklan Rasis yang Memicu Kontroversi

Rumah fesyen hingga produsen detergen pernah diprotes keras karena iklan rasis.

Perancang busana Stefano Gabbana, kiri, bersama aktris Monica Bellucci dan model Marpessa Hennink setelah peragaan busana koleksi musim semi & musim panas Dolce & Gabbana di Milan Fashion Week, Itali (16/6/18). AP Photo/Luca Bruno

tirto.id - Dolce & Gabbana mengunggah video berisi permintaan maaf kepada masyarakat Cina yang marah gara-gara iklan buatan rumah fesyen tersebut pada Kamis (23/11/2018). Dalam rekaman berdurasi satu menit lebih, Stefano Gabbana dan Domenico Dolce selaku pendiri menjelaskan bahwa mereka menyesali kekeliruan yang terjadi dan berjanji agar hal itu tak terulang lagi.

Dolce menjelaskan keluarga mereka mengajarkan untuk menghargai tiap kebudayaan yang ada di dunia. Ia pun mengatakan bahwa dirinya dan Gabbana mencintai kebudayaan Cina.

“Karena itulah kami ingin meminta maaf jika kami berbuat salah saat menginterpretasi kebudayaan kalian,” katanya. Permintaan maaf tersebut, lanjut Gabbana, tidak hanya ditujukan pada warga yang tinggal di Cina tapi juga orang Tionghoa di seluruh dunia.

Seperti yang dilaporkan CNN, Dolce & Gabbana merilis tiga video di akun Instagram, Facebook, Twitter, dan situs microblogging asal Cina Weibo untuk mempromosikan peragaan busana yang rencananya diselenggarakan pada Rabu (21/11/2018). Seluruh advertensi tadi menampilkan perempuan Asia yang kesulitan menyantap makanan Italia dengan menggunakan sumpit di sebuah restoran.

TIME menjelaskan narator di iklan tersebut berkata dengan nada sugestif. Di salah satu video, ia menyuruh model untuk memakan hidangan penutup cannoli sambil berkata,”Apakah itu terlalu besar untukmu?” CNN, di sisi lain, mengatakan narator sempat salah mengucapkan nama Dolce & Gabbana. Hal ini lantas diartikan oleh beberapa orang sebagai penghinaan terhadap cara berbicara orang Cina.

Gara-gara hal di atas, Dolce & Gabbana harus membatalkan jadwal peragaan busana di kota Shanghai. Rumah fesyen itu juga dikritik selebriti Cina dan masyarakat luas. TIME melaporkan bahwa penyanyi Kary Wang dan aktris Dilraba Dilmurat memutus kontrak sebagai duta Dolce & Gabbana untuk wilayah Asia Pasifik. Sementara itu, pemain film Crouching Tiger, Hidden Dragon Zhang Ziyi mengatakan ia memboikot merek tersebut.

Produk Dolce & Gabbana yang dijual di situs belanja daring Cina, menurut The Guardian, turut ditarik setelah advertensi di atas menuai banyak protes. Salah satu platform ­e-commerce yang mengonfirmasi hal tersebut adalah Kaola yang didirikan oleh perusahaan teknologi asal Cina bernama NetEase.

Iklan Rasis

Dolce & Gabbana bukan satu-satunya pihak yang babak belur karena iklan yang dipandang rasis. Awal tahun ini, H&M dikritik gara-gara gambar advertensi seorang model anak kulit hitam mengenakan hoodie dengan tulisan “Coolest monkey in the jungle”. The New York Times melaporkan iklan itu muncul di toko daring atau online store perusahaan retail busana tersebut.

Independent mengatakan penyanyi asal Kanada The Weeknd adalah salah satu orang yang tidak suka dengan advertensi tadi. Ia lalu mengatakan lewat status Twitter bahwa dirinya tak mau bekerja sama lagi dengan H&M. Sementara itu, rapper dari Amerika Diddy memprotes dengan membagikan karya seni buatan Kervin Andre yang mengganti tulisan iklan H&M menjadi “Coolest king in the world” di media sosial.

The New York Times mengatakan H&M lantas meminta maaf dan menghapus advertensi serta menarik produk yang dipromosikan lewat iklan tersebut di seluruh toko di dunia. Namun, permohonan maaf tadi dianggap oleh beberapa orang tak disampaikan dengan tulus. Penyiar radio iHeartRadio Joseph Bonner mengatakan bahwa H&M meminta maaf karena menyinggung perasaan orang lain dan bukan karena mengunggah iklan rasis sehingga ia tak bisa dimaafkan.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/11/27/rasisme-di-iklan--mild--fuad-01.jpg" width="859" height="1527" alt="Infografik Rasisme di iklan" /

Pada 2016, advertensi detergen Cina Qiaobi juga mengundang kemarahan publik lantaran menampilkan pria berkulit hitam yang berubah menjadi putih usai “dicuci” bersama dengan pembersih tersebut.

Deutsche Welle menerangkan laki-laki itu mulanya bersiul ke arah perempuan Cina yang sedang ingin mencuci. Saat hendak mencoba mencium, wanita tadi justru menaruh kapsul berisi detergen ke mulut dan memasukkannya ke mesin cuci. Saat muncul kembali, pria tersebut telah menjadi laki-laki Cina berkulit putih.

Iklan di atas lantas dilabeli sebagai iklan paling rasis. Namun, produsen detergen Leishang Shanghai menganggap kritik yang dilontarkan cenderung berlebihan. “Media asing bisa jadi terlalu sensitif terhadap iklan. Kami tak bermaksud apa-apa selain mempromosikan produk. Kami tidak pernah berpikiran tentang isu rasisme,” kata pria bernama Wang seperti dikutip oleh tabloid lokal Global Times.

Namun, menurut CNN, perusahaan tersebut akhirnya meminta maaf meski masih menilai bahwa media asing melebih-lebihkan reaksi. “Sehubungan dengan bahaya yang ditimbulkan pada kelompok etnis Afrika sebagai akibat dari sirkulasi iklan dan dramatisasi opini publik, kami dengan ini menyatakan permohonan maaf dan dengan tulus berharap pengguna internet dan media tidak menganalisis berlebihan,” kata Leishang Shanghai.

Paul MacKenzie-Cummins, managing director Clearly PR Marketing and Communications, mengatakan kepada BBC bahwa beberapa jenama menggunakan ras dalam advertensi untuk meraih perhatian publik. “Mereka yang bekerja di agensi iklan adalah orang yang pandai. Mereka mempunyai kemampuan dan memiliki anggaran serta berada di tekanan untuk meningkat profil merek klien,” katanya.

Sementara itu, chief marketing agensi Grey London percaya bahwa tak ada jenama yang dengan sengaja membuat advertensi rasis. Menurutnya, kurangnya keberagaman di dalam agensi iklan justru yang membuat mereka tak awas akan advertensi yang tak layak.

“Semakin orangnya beragam maka semakin banyak ide bagus bermunculan. Kami juga memperoleh perspektif yang berbeda juga bermacam-macam pendekatan sehingga pekerjaan juga menjadi lebih baik,” ujarnya pada BBC.

Baca juga artikel terkait RASISME atau tulisan lainnya dari Nindias Nur Khalika

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Maulida Sri Handayani