tirto.id - Presiden Joko Widodo sejak 2015 telah menyepakati Perjanjian Paris (Paris Agreement) yang berisi ketentuan batasan kenaikan suhu bumi 1,5 derajat Celsius hingga 2030. Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan diperlukan keputusan politik yang kuat dari pemerintah untuk memenuhinya.
Direktur IESR, Fabby Tumiwa mengatakan keputusan politik presiden perlu didukung oleh para pemangku kebijakan kunci di pemerintahan, meliputi PLN, Dewan Energi Nasional, serta penyediaan investasi yang besar-besaran untuk membangun tambahan pembangkit energi terbarukan setara sekitar 65-75 giga watt (GW) di atas target skenario Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
"Upaya transisi ini juga perlu disertai dengan perubahan paradigma dan perilaku semua pihak untuk mulai mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dengan mengendalikan produksi dan konsumsi bahan bakar fosil, termasuk penyediaan subsidi energi dan listrik yang lebih selektif untuk mengurangi beban bagi anggaran negara," ujar Fabby di Kantor IESR Jakarta pada Selasa (9/10/2018).
Menurutnya, perubahan paradigma diperlukan untuk mendorong efisiensi dan konservasi energi yang mendukung tujuan pembangunan rendah karbon yang lebih berkelanjutan. Sebab, ia mengatakan sebuah transisi energi yang cepat perlu dilakukan, dari energi fosil menuju energi terbarukan, khususnya di pembangkitan listrik dan transportasi darat.
Berdasarkan laporan Climate Action Tracker (CAT), upaya pemerintah Indonesia dalam menurunkan emisi tidak selaras dengan komitmen yang tertuang dalam Perjanjian Paris.
Target temperatur Paris Agreement, sekitar 1,5 derajat Celsius sampai 2 derajat Celsius. Untuk setara dengan target 2 derajat Celsius saja, emisi GRK harus menjadi 1.075 juta tCO2eq (ton ekuivalen karbon dioksida) pada 2030, dan untuk mendukung pencapaian 1,5 derajat Celsius emisi GRK harus turun menjadi 523 juta tCO2eq.
"Untuk mencapai tingkat emisi tersebut, maka separuh dari pembangkit listrik batu bara harus dipensiunkan secara bertahap mulai 2025, 2030, dan sisanya harus diakhiri secara bertahap hingga 2050," ujarnya.
Selain itu, setelah 2025 pembangunan PLTU baru tidak lagi diperbolehkan. Kemudian, pembangunan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) harus dipercepat dan jumlahnya lebih besar dari pada target yang ditetapkan di Kebijakan Energi Nasional (KEN).
Menurut proyeksi CAT, emisi GRK Indonesia dari sektor energi, transportasi, sampah, dan industri diperkirakan mencapai 1.573-1.751 juta tCO2eq pada 2030. Jumlah ini setara dengan 3,75-4 persen dari emisi GRK global yang diperkirakan mencapai 40 Giga-ton CO2eq. Dari total emisi GRK Indonesia di 2030, pembangkitan listrik menyumbang 400 juta tonCO2eq.
"Indonesia sebagai salah satu negara ekonomi terbesar di dunia, dan penyumbang 3,5-4 persen total emisi dunia, seharusnya tidak lepas dari upaya mengatasi pemanasan globaI dan ancaman perubahan iklim," ujarnya.
Pada 2016, pemerintah Indonesia meratifikasi Paris Agreement melalui UU No. 16/2016. Setelah itu, pemerintah Indonesia menyampaikan komitmennya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29-41 persen pada 2030 yang dinyatakan dalam Nationally Determined Contribution (NDC).
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Dipna Videlia Putsanra