tirto.id - Pada medio Mei 1938, ada sesuatu yang beda dari peringatan Maulid Nabi yang digelar Persatuan Arab Indonesia (PAI) Cabang Surabaya. Sekali itu gedung PAI Surabaya tak hanya ramai oleh lelaki, tetapi juga perempuan. Kejadian macam ini adalah hal yang jarang terjadi di komunitas Arab kebanyakan pada zaman itu.
Jamaah lelaki dan perempuan duduk dalam satu gedung dengan dipisahkan tabir di tengahnya. Tak hanya hadir, perwakilan perempuan Arab pun ikut naik mimbar memberikan pidato. Hoesin Bafagih dalam “Masyarakat Arab dan Kaum Istrinya” yang terbit di majalah Insaf (tahun II, No. 6, Juni 1938) menulis peristiwa dengan agak berbunga-bunga:
“Semua ini kejadian, cuma dengan mendengar suara dengan zonder meliat orangnya, precies sebagaimana cara yang berlaku dalam pergaulan ummat Islam terdahulu, semasa hidup Nabi yang mulia itu.”
Tak ayal, peristiwa itu menjadi pembicaraan di komunitas Arab Surabaya. Sejak berdirinya pada 1934, PAI memang sering mengambil langkah yang bagi orang Arab saat itu tabu. Misalnya, pada April sebelumnya PAI mementaskan tonil Fatimah yang memicu kecaman dari para wulaiti (Arab totok).
Dasar PAI mengajak kaum perempuan Arab ikut ambil bagian dalam maulid itu tak lain adalah untuk memberi mereka kesempatan tampil di ruang publik. Suatu usaha mereka menjebol tembok adat yang hingga saat itu masih menerungku perempuan Arab. Jika langkah PAI itu kemudian memancing kasak-kusuk, menurut Hoesin memang itulah tujuannya.
“Demikian dari bicara dan bicara, dari satu lidah kepada lidah yang lain, akhirnya kedudukan pihak istri bangsa Arab itu, sekarang telah diletakkan orang di dalam mikroskop, diteropongi untuk diselidiki dan dipikirkan masak-masak, cara bagaimana orang harus tujukan perhatiannya ke sana,” demikian Hoesin Bafagieh menegaskan.
Ruang Gerak Bagi Perempuan Arab
Dalam lingkaran komunitas Arab di Hindia Belanda Hoesin Bafagieh dikenal sebagai penulis yang kritis. Ia banyak menulis kritik sosial melalui majalah Aliran Baroe yang dikelolanya. Ia menulis tepat di kala gelombang perubahan dan modernisasi melanda masyarakat Hindia Belanda, tak terkecuali peranakan Arab.
Usai menamat pendidikan di lembaga Al-Khairiyah, Surabaya, dalam usia belasan ia bergabung dengan Moeroatoel Ikhwan—organisasi Arab pertama di Surabaya yang berdiri pada 1911. Ia lalu bergabung dengan Jamiah Tahdhibiyah yang berdiri sejak 1924. Menurut Huub de Jonge dalam “Arab-Indonesian Nationalism on Stage” yang menjadi pengatar naskah Fatimah karya Hoesin Bafagieh (2018) menyebut kedua organisasi itu berjuang untuk emansipasi kaum muwallad dan melawan dominasi kaum wulaiti (hlm. xix).
Karier menulisnya dimulai pada 1926 ketika ia bersama Salim Ali Maskati menerbitkan majalah Zaman Baroe. Setahun kemudian ia menerbitkan majalahnya sendiri, Al-Mahdjar. Ia juga termasuk pemuda Arab yang membidani berdirinya PAI pada 1934. Sejak 1937 tulisan-tulisannya rutin mengisi terbitan PAI Insaf. Ia kemudian kembali menerbitkan majalah sendiri Aliran Baroe pada 1938.
Kendati ikut mendirikan PAI, nama Hoesin Bafagieh tak setenar sahabatnya Abdul Rahman Baswedan. Lapangan utamanya memang bukan di sana, tetapi di ranah media. Dan di sinilah suaranya bahkan melampaui A.R. Baswesdan.
“Tak ada jurnalis muwallad lain—bahkan A.R. Baswedan yang pendiri, pemimpin, dan ideolog PAI—yang bisa melampaui pengertian Bafagih atas kaumnya. [...] Artikel-artikelnya menunjukkan besarnya empati dan kesadaran sosialnya,” puji Huub de Jonge (hlm. xx).
Hoesin adalah penulis serbaneka persoalan masyarakat Arab di Hindia. Lahir dan tumbuh besar di Ampel—sebuah perkampungan Arab terbesar di Hindia Belanda—membuatnya mengenal betul seluk beluk masyarakatnya. Termasuk pula segala tabu dan adat kolot orang Arab. Tulisan-tulisannya mencakup banyak hal, mulai dari isu-isu sosial, agama, pendidikan, hingga persoalan perempuan peranakan Arab.
Melalui tulisan-tulisannya di majalah Insaf dan Aliran Baroe, ia sering mendadar hal-hal tabu dalam masyarakatnya. Mulai dari budaya memingit anak gadis, tingginya biaya pernikahan, hingga kebutuhan pendidikan untuk perempuan.
Dalam artikel “Masyarakat Arab dan Kaum Istrinya”, misalnya, Hoesin mengkritik soal tradisi memingit anak gadis dengan alasan agama. Padahal itu hanyalah adat belaka. Baginya tak ada yang salah dengan kehadiran perempuan di ruang publik, sebagaimana ditunjukkan dengan inisiatif PAI Surabaya mengajak kaum perempuan menghadiri maulid.
Kritik terhadap adat kolot juga terlihat ketika ia menulis “Masyarakat Arab Kebanjiran Perawan”, terbit di Aliran Baroe (Tahun I, No.1, Agustus 1938). Tak hanya soal pingitan, ia juga menyayangkan tingginya biaya nikah yang membikin pemuda Arab sulit memenuhinya. Kondisi ini melatari banyaknya gadis-gadis yang jatuh ke tangan “bandot-bandot tua” kaya raya. Masih pula ada adat yang mengharuskan mereka menikah dengan sesama Arab.
Tentang gadis-gadis Arab, ia menulis: “Tidak bisa nyatakan kandungan hatinya, lantaran sikap masyarakatnya melarang mereka berbicara tidak bisa mengeluhkan halnya kepada orang, lantaran malu dari satu jurusan pun dari jurusannya yang lain lagi mereka tidak diizinkan bertemu muka atau berbicara pada sesama pihak istri.”
Di lain waktu, dalam “Masyarakat Istri Arab dengan Keadaan Zaman” yang terbit di Aliran Baroe (Tahun I, No. 2, September 1938) Hoesin merekam kegamangan orang Arab menghadapi perubahan zaman. Ia mengamati keresahan sementara kalangan orang Arab melihat perempuan bebas hadir di ruang publik dan mengikuti perkembangan mode. Sebagian kemudian memberikan kelonggaran, yang lain tetap bertahan pada adat: mengunci perempuan dalam sangkar pingitan.
Melalui artikel itu, Hoesin hendak menegaskan bahwa perubahan zaman adalah suatu keniscayaan. Maka, ketakutan-ketakutan tetua soal perempuan-perempuan Arab yang “berontak” itu tiada gunanya. Kekangan juga bukanlah jalan keluar yang tepat, melainkan pendidikan.
“Berikan pengetahuan yang dapat menerangi otak pikiran mereka, memimpin dan mempelajari cara bagaimana mereka harus menentukan kedudukannya yang sulit itu. Cara bagaimana mereka bisa mencukupi pihak lelakinya di dalam segala sesuatu yang mengenai pergaulan, maupun yang mengenai sikap masyarakat mereka sesama pihak istri!” tulis Hoesin.
Bagi periset Menara Center, Nabiel Abdul Makarim Hayaze, Hoesin Bafagieh punya peran dalam memberikan ruang gerak bagi perempuan Arab. Menurutnya, intensi utama Hoesin adalah: kalau orang Arab mau maju, maka perempuannya harus diberi kesempatan yang sama. Maka itu tabu-tabu yang selama itu ada harus dijebol dulu.
Tak hanya menulis sendiri, Hoesin Bafagieh juga menunjukkan keberpihakannya dengan membuat rubrik khusus tentang perempuan di majalahnya. Rubrik yang diberi nama Taman Putri—kemudian berubah jadi Dunia Istri—itu diasuh oleh A.A. Noor.
“Dia tak peduli kalau itu akan bikin geger, yang penting ada tempat bagi perempuan untuk bicara. Bahkan penulis-penulis rubrik perempuan ini awalnya ragu,” tutur Nabiel yang menyusun buku Kumpulan Tulisan dan Pemikiran Hoesin Bafagieh: Tokoh PAI dan Nasionalis Keturunan Arab (2017).
Editor: Maulida Sri Handayani