tirto.id - Valensia Edgina, siang itu bercerita tentang hidangan Imlek yang melekat dalam kenangannya, dan bagaimana beberapa memorinya tentang tradisi tersebut, berkaitan erat dengan bentuk meja makan bernama Lazy Susan.
Ia adalah jenis meja makan dengan nampan bundar yang bisa diputar di bagian tengah, sehingga memungkinkan setiap orang yang mengelilingi meja tersebut bisa mengambil lauk pauk mudah hanya dengan memutarnya pelan.
Valensia, mengungkapkan, meja Lazy Susan yang masih berada di ruangan rumahnya adalah tempat muara sekian cerita dan hidangan, tidak terkecuali saat-saat Imlek tiba.
Meja Lazy Susan pula yang empat tahun lalu menginspirasi dan membuatnya bergairah untuk mendirikan Lazy Susan, nama yang sama, sebuah platform yang menghubungkan komunitas, penelitian, budaya, dan kreativitas melalui makanan bersama beberapa kawannya.
Paginya, ayahnya akan menyalakan speaker dengan volume gaspol lagu "Gong Xi Gong Xi", sembari menemani dia dan beberapa saudarinya untuk mandi dan berdandan. Setelah rapi, anak-anak ini akan menyapa orangtua mereka dengan sapaan; “xin jia ju yie” kemudian salam tadi akan berbalas; “tang tang ju yie”.
Tak terhitung berapa kali ucapan ini mereka lontarkan saat menemui saudara dan kerabat. Namun rasa capainya tak mereka hiraukan, karena ada angpau yang mereka terima.
Urusan hidangan, meja makan rumahnya akan penuh dengan menu yang beragam sedari malam Imlek. Namun, Valensia mengingat ada beberapa hidangan Imlek yang selalu setia mengisi perutnya; hekeng yang seringnya dikirim saudara dari Pontianak, yu sheng (sering pula ditulis yusheng), dan ayam goreng jeruk spesial buatan ibunya.
Menu hidangan lain juga sudah menanti di tempat beberapa kerabatnya. Di sana, biasanya ada menu favoritnya yang lain: samcan sayur asin, yang diperkaya taburan lobak asin, dengan irisan daging babi yang lembut, dan membuatnya tak kuasa menambahkannya ke mangkok berulang kali.
Selain itu ada juga menu yang menurutnya jarang ditemui selain Imlek. Ini adalah hidangan dari besan sebagai turunan Hakka, trah yang berbeda dengannya sebagai keturunan Tio Ciu.
Beberapa hidangan yang diceritakan Valensia tadi, tidak lepas dari tangan cekatan ibunya, Juli Dellarosa. Tante Juli, begitu sapaannya, mengungkapkan, beberapa menu tadi masih terhitung belum terlalu lengkap. Dia bercerita, saat masih kecil dulu di Pontianak, hidangan Imlek buatan Sang Ibu, alias Nenek Valensia, ebih semarak lagi. Ritual membakar dupa yang tidak tertinggal, dengan meletakkan meja altar di pekarangan rumah sesajian seperti ayam, bebek, dan ikan (tiga macam hidangan amis), kue apem dan buah-buahan.
Tante Juli juga mengingat dengan samar hidangan yang berkesan ketika Imlek saat dirinya kecil dulu dan sekarang sudah sangat susah ditemukan: ho pao ak, hidangan bebek yang rongganya diisi cacahan daging babi, kemudian dimasak dengan batang tebu. Saking langkanya hidangan tersebut, pencarian informasi tentang hidangan ini di Google pun nyaris mustahil.
Hidangan Tionghoa dan Cerita di Baliknya
Dalam dokumenter Ugly Delicious, episode “Fried Rice” Fuchsia Dunlop, seorang penulis & sejarawan masakan Tionghoa, menyebutkan bahwa tak ada kebudayaan lain yang terobsesi dengan makanan seperti Tionghoa. Bagi mereka, makanan adalah cara komunikasi dengan dewa dan leluhur, dengan memberi persembahan yang bisa dimakan.
“Obsesi masakan tadi sudah mulai dari masakan kekaisaran, pesta mewah, sampai masakan-masakan petani. Di Amerika dan Eropa Barat makanan Tionghoa adalah salah satu makanan imigran pertama," ujarnya.
Namun, jejak masakan Tionghoa di Amerika tidak sesedap aroma bumbu dalam wajan yang mengepul di restoran Chinese food. Imigran-imigran awal di Amerika dianggap mengganggu lapangan pekerjaan penduduk lokal. Padahal usaha seperti penatu dan kuliner diambil sebagai upaya bertahan hidup, karena dua bentuk usaha tadi tidak banyak dilakukan oleh para keluarga di Amerika saat itu.
Upaya memasak dan menjajakan makanan China di Amerika juga mempunyai halangan steorotipe, dianggap jika makanan-makanan tadi diidentikkan sebagai hidangan jorok. Bahkan The New York Times pada 1883 pernah menulis --plus bertanya dengan sedikit curiga-- “apakah orang Tionghoa makan tikus?”
Menurut Ruth Reichl, kritikus makanan The New York Times pada 1993-1999, isu orang Tionghoa menyantap makanan "aneh" dipakai untuk membuat segregasi antara warga lokal dengan para imigran.
Dalam Ugly Delicious, Ruth menyampaikan bahwa para pendahulunya di New York Times, menganggap hanya restoran Eropa yang layak mereka datangi dan direview dengan serius. Ketika dia bekerja di sana, Ruth sengaja datang ke beberapa restoran hidangan China untuk menulis dan mengubah persepsi yang selama ini mengakar. Ia berharap pembaca mengalami apa yang dia rasakan saat makan di restoran hidangan China.
Di Indonesia, perjalanan hidangan peranakan tidak sesuram apa yang terjadi di Amerika Serikat. Fadly Rahman, penulis buku Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia dalam webinar “Menyingkap Isi Dapur Peranakan Tionghoa”, menyampaikan bahwa salah satu elemen penting dalam perkembangan kuliner Indonesia adalah pengaruh kuat kuliner peranakan Tionghoa.
Menurutnya, akar keharmonisan Indonesia dan Tionghoa dalam hal kuliner, adalah saat makanan tadi dikenalkan dan dijual secara merakyat atau jadi street food sejak era kolonial. Pada perkembangannya, makanan tadi berangsur menjadi semacam kuliner hibrida, sehingga penjual dan pembelinya tak hanya didominasi oleh warga peranakan, tapi juga oleh kaum bumiputra.
Contoh konkritnya ada banyak. Mulai dari soto, bakso, hingga aneka mie.
Sayangnya, keharmonisan kuliner tadi tidak serta merta berbanding lurus dengan keharmonisan dalam konteks sosial.
Diskriminasi kepada warga Tionghoa di Nusantara punya sejarah yang panjang. Dalam buku Geger Pacinan 1740-1743: Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC (2013) yang ditulis oleh Daradjadi Gondodiprojo, disebutkan bahwa warga keturunan Tionghoa amat lekat dengan diskriminasi.
Pada perayaan Imlek, Februari 1740, VOC merazia ratusan warga Tionghoa di Batavia. Hingga puncaknya, pada 10 Oktober 1740, di bawah instruksi Gubernur Jenderal Adriaan Valckenir, terjadi pembantaian massal yang dilakukan VOC kepada warga Tionghoa di Batavia yang menewaskan lebih dari 10.000 orang warga keturunan Tionghoa.
Daradjadi menjelaskan dalam prolog buku tersebut, diskriminasi ini bermula dari persepsi dan mitos jika warga keturunan Tionghoa bersifat ekskusif. Padahal warga keturunan Tionghoa diasingkan oleh VOC setelah tragedi Geger Pacinan. Mereka dipaksa hidup terpisah dari para bumiputra, agar tidak dapat menggalang kekuatan untuk melawan penjajah.
Diskriminasi itu berjalan ratusan tahun. Pada masa Orde Baru, pemerintah melalui Inpres Nomor 14 Tahun 1967 melarang perayaan Imlek di Indonesia. Hal ini membuat warga keturunan Tionghoa tidak bisa dengan bebas merayakannya, bahkan harus sembunyi-sembunyi.
Pada era Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (1999-2001), diskriminasi perkara Imlek dan kepercayaan Tionghoa ini diputus melalui Keppres Nomor 6 Tahun 2000. Gus Dur lah yang memutus mata rantai diskrimasi dalam bentuk paling mendasar, membuat warga keturunan Tionghoa bisa mengakui dan merayakan identitasnya dengan aman dan terbuka.
Valensia, sebagai generasi yang lahir di ujung keruntuhan Orde Baru, mengungkapkan bahwa Imlek mempunyai arti penting buat dirinya dan keluarga. Mengingatkan tentang meja makan Lazy Susan, mengingatkan tentang mendiang ayahnya yang menularkan semangat menjajal street food sembari berbincang dengan penjualnya, dan juga untuk mengenang nama Tionghoa pemberian sang Nenek yang melekat padanya: Cin Xue yang bermakna salju emas.
Valensia berharap Imlek akan terus merekatkan keluarganya, dan Lazy Susan terus berkembang menjadi platform yang menyenangkan dan menginspirasi.
Selamat Imlek untuk yang merayakan.
Penulis: Husni Efendi
Editor: Nuran Wibisono