Menuju konten utama
22 Mei 2010

Hikayat Cinta Habibie dan Ainun

Wanita penting.
Setia nan mengiring 
di masa genting.

Hikayat Cinta Habibie dan Ainun
Hasri Ainun Besari (1937-2010). tirto.id/Sabit

tirto.id - Sembilan puluh menit ialah waktu maksimum yang dibutuhkan seseorang untuk terbaring di dalam mesin MRI guna mendeteksi ragam penyakit yang ada di dalam tubuh. Delapan tahun lalu, Hasri Ainun Besari berbaring di dalam mesin tersebut. Di tempat dan waktu yang sama, B.J. Habibie, suaminya, menelepon kantor maskapai penerbangan Lufthansa untuk mencari dua tiket first class penerbangan langsung dari Jakarta menuju Muenchen, Jerman.

Sebelumnya, ia menelepon Duta Besar Jerman di Jakarta, meminta dibuatkan visa untuk berkunjung ke negara tersebut dalam beberapa jam ke depan. “Harus jadi hari ini juga. Saya harus berangkat ke Jerman,” katanya mengulang perkataan kepada sang duta besar. Ia mengucap lagi kalimat tersebut saat menjadi bintang tamu acara bincang santai Rosi di Kompas TV.

Sang duta besar kebingungan. Habibie tetap memaksa. Ainun sakit keras dan Habibie baru saja mengetahui hal itu. Usai MRI, Ainun yang telah sadar mencoba menenangkan dengan berkata pada suaminya bahwa tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. “Ovarium stadium 3-4,” kata Habibie. Ainun terdiam. Ia sudah tidak bisa lagi menyembunyikan kondisi kesehatannya.

“Saya tidak mau mati di luar negeri,” kata Ainun kepada Habibie. Ainun bersedia pergi bila sang suami berjanji akan membawa dirinya kembali ke Jakarta pada Desember 2010 agar bisa menghadiri rapat Bank Mata, organisasi yang bergerak di bidang donor mata bagi para tunanetra. Ainun aktif di sana. Ia yang membuat lembaga ciptaan Tien Soeharto itu kembali berfungsi. Habibie siap memegang komitmen tersebut.

Keajaiban terjadi. Ada sejumlah penumpang yang batal berangkat sehingga Habibie dan rombongan bisa pergi. Sesampainya di Muenchen, dokter berkata bahwa Ainun harus menjalani serangkaian operasi. Dalam kurun waktu sebulan, Ainun mesti menjalani 12 kali operasi.

Sebelum operasi pertama dilakukan, ia berkata pada suami, “Saya mau mati. Saya tidak ingin pakaian saya kotor.” Habibie mengantar sang istri membersihkan tubuh. Malam itu Ainun juga memangkas rambutnya. Menyimpannya di dalam kantung dan menyelipkannya di kitab Alquran. “Saya berkata padanya bahwa saya tidak akan meninggalkannya,” tutur Habibie dalam wawancara dengan Tempo pada Desember 2010 .

Terwujudlah perkataan Habibie. Ainun yang pergi meninggalkannya lebih dulu. Habibie membasuh tubuh yang tak bernyawa itu dengan air zam zam. Dari ujung kepala sampai ujung kaki.

“Saya merasa bersalah. Saya bisa membantu orang lain tetapi tidak bisa menolong istri sendiri,” katanya pada Rosiana Silalahi tujuh tahun setelah sang istri meninggal.

Jenazah dibawa ke Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Setiap hari selama 100 hari pertama, Habibie ziarah ke makam sang isteri. Setiap malam ia tidur ditemani anak dan cucu.

Kehilangan Pelindung

Kepedihan ditinggal istri membuat Habibie menderita penyakit psikosomatis. Dokter berkata, bila Habibie tidak melakukan apapun untuk tubuhnya, ia bisa menyusul Ainun dalam waktu tiga bulan.

“Bapak kehilangan orang yang bisa melindunginya. Ibu punya insting tajam. Dia bisa membisikkan Bapak, menjauhkannya dari hal-hal jahat yang muncul di sekitarnya. Pasangan ini bisa memberi nilai untuk satu sama lain. Pernikahan ialah kerja keras dan tidak semua berakhir baik. Ibu dan Bapak ialah dua orang cerdas dan dewasa sehingga mereka bisa melalui ini,” kata Gina S. Noer, penulis skenario film Habibie & Ainun.

Habibie memilih bangkit dan berupaya menyembuhkan diri dengan menulis kisahnya bersama Ainun. Buku berjudul Habibie & Ainun terbit pada November 2010. Dalam waktu satu minggu setelah terbit, buku itu terjual sebanyak 5.000 eksemplar. Sebulan setelah dipasarkan, penerbit menggarap cetakan kedua sebanyak 50.000 eksemplar.

Pada 2012 Hanung Bramantyo membuat film yang terinspirasi dari buku ini. Gina yang mendapat tawaran untuk menggarap skenario merasa bangga tetapi ia menjalani proses pembuatan skenario dengan rasa haru. Wanita ini tidak bisa lagi menghitung berapa kali ia bertemu Habibie dalam waktu setahun. Dari pertemuan itu ia masih merasakan rasa kehilangan yang disiratkan Habibie.

“Sedih. Kisah ini sangat personal dan melibatkan perasaan. Sebuah kisah cinta yang kuat dan rasa kehilangan yang besar. Berat rasanya. Saya merasa Ibu Ainun ialah wanita yang pemberani. Pada tahun tersebut ia memutuskan untuk menikah dan pindah ke Jerman. Ke sebuah tempat yang mungkin membuatnya merasakan kesepian yang luar biasa,” tutur Gina.