Menuju konten utama
Hari-hari Terakhir Bung Karno

Hidup Sukarno Jungkir Balik Usai Supersemar Terbit

Jelang kejatuhannya, Sukarno sempat dikabarkan akan bertolak ke Jepang. Yang terjadi justru dia dikucilkan di Bogor.

Ilustrasi hari-hari terakhir Bung Karno di Istana Negara. tirto.id/Fuad

tirto.id - Sukarno menjalani akhir hayat yang tragis. Meski begitu, dia adalah satu dari sedikit negarawan yang tetap bisa memengaruhi politik Indonesia dari liang kubur. Kala Soeharto berkuasa, namanya dicela dan jasa-jasanya disepelekan. Tapi, usai Reformasi bergulir, namanya direhabilitasi dan bahkan ditinggikan lagi.

Usai terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966 yang misterius, posisi politik Sukarno perlahan digerus oleh Soeharto.

Meski tak tinggal diam, Bung Besar semakin kehilangan minat pada politik. Gelagat itu diamati oleh seorang fotografer keturunan Belanda Otto Kuyk.

Kuyk sempat akrab dengan Sukarno karena cukup sering berkunjung ke istana Jakarta dan Bogor. Menurutnya, Sukarno saat itu lebih menggemari filsafat wayang daripada politik. Bahkan, pada malam Minggu, Sukarno biasa memberikan semacam “kursus” kepada sekelompok peserta yang puspa ragam di Istana Bogor.

Sehabis kursus, Bung Karno akan mengajak tamu-tamunya beramah-tamah sambil mendengarkan orkes keroncong yang dipimpinnya sendiri. Pesta sederhana itu biasanya akan ditutup Sukarno dengan lantunan lagu Silver Threads Among the Gold. Salah satu liriknya yang sering dikutip, berbunyi “Life is fading fast away, but my darling you will always young and fair to me.”

Di masa itu, Sukarno juga jadi lebih dekat dengan teman-teman Belandanya. Van Konijnenburg tetap menjadi teman baiknya sejak lama. Lalu, Schiff masih tetap seorang tamu yang diterima dengan tangan terbuka pada waktu makan pagi. Sukarno juga akrab lagi sahabat lamanya Oltmans yang berkunjung ke Indonesia dengan sebuah tim dari stasiun televisi NOS pada Oktober 1966.

Tidak lama sebelum penyerahan kekuasaan pada Februari 1967, Sukarno sempat mengadakan resepsi penyerahan surat kepercayaan dari Duta Besar Pakistan yang baru. Dikelilingi oleh kaum diplomat, jurnalis, dan anggota staf istana, Sukarno berlaku seakan-akan dia masih tetap seorang penguasa. Akan tetapi, gesturnya yang tertangkap kamera televisi tidak bisa berbohong. Bung Karno sebenarnya sadar betul, dia kini hanyalah seorang kepala negara tanpa wewenang eksekutif.

Gambar-gambar televisi memperlihatkan Presiden Sukarno secara demonstratif menandatangani surat-surat di pangkuan sekretarisnya. Pada satu kesempatan, si Bung tampak menghela asap rokoknya dengan gelisah. Di lain cuplikan, dia memperingatkan wartawati favoritnya Toeti Kakiailatoe dengan lagak laiknya seorang ayah memperingatkan anaknya.

Akhir tayangan televisi itu memperlihatkan adegan-adegan yang penuh perlambang. Dengan sebuah gerakan tangan, Bung Karno menyuruh Menteri Luar Negeri Adam Malik untuk pergi. Pun dia tak memandangnya sama sekali. Sesudah itu, Sukarno menanggalkan baju seragamnya, lantas berjalan ke ruang istana yang lain. Dia berlalu sambil di sana-sini membetulkan gantungan lukisan yang miring dan meniup debu yang tidak ada dari bajunya.

Dengan kemeja dan bretel yang menggantung, Bung Karno berlalu dan menghilang dari layar televisi.

Dikabarkan Akan Bertolak ke Jepang

J.D. Legge dalam Sukarno: A Political Biography (1973) menyebut tayangan itu diabadikan oleh dua staf dari sebuah stasiun televisi Belanda. Mereka adalah Aad van den Heuvel dan Ed van Westerloo. Di tengah acara resepsi itu, mereka sempat pula mewawancarai Sukarno.

Liputan dan hasil wawancara itu—berjudul Ik heb je door, Aad van den Heuvel! (Saya tahu maksudmu, Aad van den Heuvel!)--kemudian disiarkan pada 19 Februari 1967 dalam acara Brandpunt Extra.

Dua wartawan televisi Belanda itu menanyai Sukarno tentang banyak hal. Salah satunya adalah soal kabar yang menyebut Bung Besar akan bertolak ke Jepang. Untuk satu hal itu, Sukarno mengelak.

Menurut Masashi Nishihara dalam Sukarno, Ratna Sari Dewi & Pampasan Perang: Hubungan Indonesia-Jepang 1951-1966 (1993: 229-237), berita angin itu mulanya muncul sekira awal 1967. Musababnya adalah kabar Ratna Sari Dewi akan segera melahirkan buah hatinya dengan Sukarno. Dewi sendiri sudah berada di Jepang sejak akhir 1966.

Hulu dari kabar kabur itu agaknya terjadi beberapa bulan sebelum Dewi bertolak ke Jepang. Beberapa sumber menyebut Dewi pernah melobi Soeharto terkait nasib sang suami. M. Yuanda Zara dalam Sakura di Tengah Prahara: Biografi Ratna Sari Dewi Sukarno (2008) menyebut, ”Dewi melakukan serangkaian lobi kepada Soeharto, salah satunya dengan main golf bersama. Dewi juga menggiring opini Soeharto.”

Di lapangan golf pula, seperti dicatat sejarawan Aiko Kurasawa dalam Peristiwa 1965: Persepsi dan Sikap Jepang (2015), Soeharto memberikan tiga pilihan kepada Dewi terkait masa depan Sukarno. Pertama, pergi ke luar negeri untuk beristirahat. Kedua, tetap tinggal di Indonesia sebagai presiden namun hanya sebulan. Dan ketiga, mengundurkan diri secara total.

Soeharto merekomendasikan opsi pertama dan menyarankan Jepang atau Makkah sebagai negara peristirahatan. Di lapangan golf itu, Dewi kian menyadari bahwa posisi suaminya makin lemah di hadapan tentara. Namun, nyatanya Sukarno tak pernah meninggalkan Indonesia sampai wafat.

Menurut Kurasawa, sikap Dewi yang manut terhadap pemerintah Orde Baru, membawa untung baginya. Dewi tetap boleh memiliki Wisma Yaso—kemudian jadi tempat Sukarno menjalani hari-hari terakhirnya. Dewi juga tak pernah kekurangan uang selama perjalanan-perjalanannya ke luar negeri yang serba glamor. Tak hanya itu, Dewi juga bebas dari interogasi, meski dia merupakan salah seorang saksi penting terkait Peristiwa G30S 1965.

Buah hati Sukarno dan Dewi akhirnya lahir pada 7 Maret 1967. Bayi perempuan itu lantas diberi nama Kartika Sari. Sesudah melahirkan Kartika, Dewi tidak kembali ke Indonesia. Bahkan, hingga ajal menjemput, Sukarno belum sempat bertemu muka dengan Kartika.

Infografik Hari Hari Terakhir Bung Karno

Infografik Hari Hari Terakhir Bung Karno. tirto.id/Fuad

Bung Besar Dikucilkan

Berbanding terbalik dengan Ratna Sari Dewi, mantan-mantan istri Sukarno yang lain justru mendapat perlakuan yang kurang layak dari Soeharto. Pihak militer mengusir Haryati, Kartini Manoppo, dan Yurike Sanger dari vila-vila mereka di Grogol, Menteng, dan Polonia.

Soeharto akhirnya diangkat menjadi pejabat presiden pada 12 Maret 1967, hanya berselang setahun setelah terbitnya Supersemar. Sejak itu, dunia Sukarno seperti dijungkir-balikkan. Atas perintah Soeharto, Sukarno dan keluarganya diultimatum untuk angkat kaki dari Istana Merdeka dan Istana Bogor sebelum 17 Agustus 1967.

Dulu, setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, Sukarno masuk istana dengan seluruh kebesarannya sebagai pemimpin. Kini, dia dipaksa keluar dengan hanya berkaos oblong dan celana piyama. Segala kekayaan yang dia bawa adalah selembar bendera merah putih, beberapa botol minuman ringan, kue-kue, dan obat-obatan.

Statusnya kini adalah tahanan Orde Baru. Mulanya, Sukarno ditahan di rumahnya di daerah Batu Tulis, Bogor, dan lalu dipindahkan ke Wisma Yasoo, Jakarta, pada 1969. Anak-anaknya lalu berpindah ke rumah Fatmawati di Kebayoran Baru.

Di Bogor, Sukarno menghabiskan waktunya ditemani Hartini. Hidup Sukarno jadi makin sepi lantaran Orde Baru Soeharto hanya mengizinkan segelintir orang mengunjunginya. Secara harfiah, kini, Sukarno benar-benar dikucilkan dari dunia luar.

Roeslan Abdulgani bercerita sempat bertemu empat mata dengan Sukarno. Pertemuan itu terjadi beberapa waktu sebelum Soeharto secara resmi diangkat jadi presiden pada Maret 1968. Dalam kesempatan itu, Cak Roeslan mengimbau Bung Karno agar bersedia menerima tuntutan Soeharto dan mengutuk Partai Komunis Indonesia (PKI). Sukarno menjawab bahwa dia tidak bisa melakukannya.

Tidak lama sesudah pertemuan itu, dua orang pemuda anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) berhasil menembus masuk ke Bogor untuk menemui Sukarno. Mereka bertanya kepada Sukarno, mengapa dia tidak mau mengerahkan kekuatan para pendukung setianya untuk melawan orang-orang yang ingin merenggut kekuasaannya.

Bung Karno barangkali tampak pasif sepanjang 1966, kala Soeharto perlahan-lahan menggerus kekuasaanya. Namun, Sukarno bukannya tak berbuat apa-apa. Pada 22 Juni 1966, dia menyampaikan pidato pertanggungjawaban selama jadi presiden dan soal Peristiwa G30S di hadapan MPRS. Pidato berjudul Nawaksara itu ditolak MPRS.

Sukarno lalu menyampaikan Pelengkap Nawaksara pada 10 Januari 1967 yang lagi-lagi ditolak MPRS. Itu adalah usaha terakhirnya untuk mempertahankan diri dan dia kalah.

Kepada dua pemuda itu Bung Karno mengatakan tak ingin menyulut perang saudara. Lalu, Bung Karno memberi mereka nasihat, “Jadilah cerdik laksana ular dan berlakulah seperti burung merpati.”

==========

Untuk memperingati haul Bung Karno ke-51 pada 21 Juni 2021, Redaksi Tirto menayangkan serial artikel tentang hari-hari terakhirnya dalam karantina politik Orde Baru. Serial ini ditayangkan setiap hari pada 22-25 Juni 2021 dan ditulis oleh sejarawan Muhammad Iqbal.

Muhammad Iqbal adalah sejarawan kelahiran Amuntai, Kalsel. Sehari-hari ia mengajar di IAIN Palangka Raya dan menjadi editor penerbit Marjin Kiri. Baru-baru ini ia menulis buku berjudul Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai 27 Januari 1953.

Baca juga artikel terkait SEJARAH SUKARNO atau tulisan lainnya dari Muhammad Iqbal

tirto.id - Politik
Penulis: Muhammad Iqbal
Editor: Fadrik Aziz Firdausi