Menuju konten utama
Ruang Aman Perempuan

Healing through Dancing: Menari untuk Cintai Diri Sendiri

Seni penyembuhan dengan tarian mulai dikonsepkan secara profesional di AS sejak akhir 1940-an. Menurut riset, dapat membantu mengurangi depresi & kecemasan.

Healing through Dancing: Menari untuk Cintai Diri Sendiri
Header diajeng Healing through Dancing. tirto.id/Quita

tirto.id - Semburat matahari pagi perlahan menyapu hamparan rumput nan sejuk di sebuah kafe sekitar 15 menit dari hiruk-pikuk pusat kota Bandung.

Sebanyak 30 perempuan, mengenakan atasan putih dan melilitkan rok batik warna-warni, berdiri melingkar bertelanjang kaki.

Mereka mulai bermeditasi.

Alih-alih mematung dalam diam, mereka melangkahkan kaki untuk “merasakan” tajamnya setiap pucuk rumput, lembutnya permukaan tanah yang lembab, dinginnya jejak embun di setiap helai dedaunan—menyatu dengan Ibu Bumi, menarik energi baiknya—sebelum kembali membentuk lingkaran.

Demikian pembukaan Lingkar Rasa—ruang aman perempuan untuk berekspresi dan mengelola energi melalui gerakan tari. Komunitas perempuan Semai Rasa, menggelar pertemuan yang bertajuk “The Dance of Transformation” pada Sabtu (8/6/2024) untuk kedua kalinya.

Di tepi lingkaran, Avitia Nurmatari (38) kerap disapa Avie, founder Semai Rasa memberikan sambutannya, “Metamorfosis kupu-kupu adalah simbol yang kuat bagi perubahan dan pertumbuhan manusia. Dari merayap, menjadi kepompong, kemudian kupu-kupu yang indah dan cantik.”

“Seperti kupu-kupu, manusia dalam proses transformasinya pun mengalami hal serupa. Jika kupu-kupu merelakan sayapnya, maka manusia pun harus melepas apa-apa lagi yang sudah tidak selaras dengan dirinya.”

diajeng Healing through Dancing

Meditasi menjadi pembuka kegiatan 'healing through dancing' bertema 'The Dance of Transformation' yang diselenggarakan oleh komunitas perempuan Semai Rasa pada Sabtu, 8 Juni 2024 di kafe Mendjamu, Sukajadi, Bandung. (Tirto.id/Sekar Kinasih)

“Meskipun perjalanan transformasi mungkin sulit dan menantang, tapi akhirnya kita dapat berkembang menjadi versi yang lebih baik dari kita sendiri, memancarkan keindahan, dan menginspirasi orang lain di sepanjang perjalanannya,” jelas Avie.

“Tadi teman-teman sudah melangkah—onestep—itulah langkah untuk transformasi,” lanjutnya.

Lalu hadir di tengah-tengah lingkaran Ratna Yulianti (51), pengajar tari kreatif asal Banyuwangi yang biasa disapa Budhe Ratna. Setelah membagikan selendang kepada peserta, Ratna mengajak untuk bergerak bebas mengikuti irama dari rekaman lagu Bandung oleh Yura Yunita.

Semua terlihat bersemangat menari bersama selendang masing-masing: melemparnya ke udara, memutar-mutarnya, memainkannya berpasangan dengan peserta lain di sebelahnya.

Seiring suasana kian akrab dan menghangat, Ratna menceritakan perjuangannya menemukan makna menari. Awalnya, orang-orang menyepelekan dirinya yang memilih untuk belajar seni pertunjukan tari.

Dalam perjalanannya, Ratna berjumpa dengan ruang, tenaga, waktu—tiga aspek utama dalam menari—yang kelak diyakininya sebagai pilar-pilar pelajaran untuk menjalani kehidupan.

“Bagaimana kita membuat dan mengisi ruang, bagaimana mengatur kekuatan—mau lembut, keras, santai—bagaimana waktu jadi cepat dan melambat,” ujarnya.

Ratna mencontohkan, ketika memetik buah, perlukah kita mengerahkan tenaga yang terlalu keras? Ketika berkenalan dengan seseorang, selembut dan secepat apakah pendekatan kita untuk menarik perhatiannya?

Ratna kembali mengajak menari dengan fokus pada ketiga aspek tersebut. Beberapa kali ia menari bersama peserta, saling menempelkan telapak tangan, melenggok lembut mengikuti irama iringan musik instrumental. Sesi ini ditutup dengan joget bebas diiringi rekaman lagu Asmalibrasi dari Soegi Bornean.

diajeng Healing through Dancing

Aktivitas menari dipandu oleh pengajar tari kreatif asal Banyuwangi, Ratna Yulianti (51). (Tirto.id/Sekar Kinasih)

Mendampingi Ratna, pegiat seni Putu Dera Desintha (36), kemudian bertanya pada peserta tentang perasaannya ketika tadi menggerakkan tubuhnya. Muncul beragam jawaban.

“Lega.”

“Tenang.”

“Aneh.”

“Hangat.”

“Teringat masa kecil.”

Dera mengingatkan bahwa gerakan yang dilakukan dan perasaan yang mengiringi itu semua valid, perlu direngkuh dan diapresiasi sebagai keunikan diri masing-masing. “Kenapa harus menjadi sesuatu yang bukan diri kita?”

Pada akhirnya, di satu titik, perubahan pun penting untuk dilakukan agar kita menemukan versi diri yang paling nyaman dan otentik.

Berbagi ilham dengan Ratna, Dera mencoba menerjemahkan proses transformasi diri yang canggung dan rumit tersebut melalui pembacaan narasi tentang Leika: sebutir telur yang menetas menjadi seekor ulat, yang kebingungan ketika mendapati tubuhnya terbelenggu kaku dalam kepompong, kemudian merasakan kebebasan seluas-luasnya sebagai kupu-kupu, sampai kelak menemui ajal.

Peserta lantas dikelompokkan menjadi tiga grup untuk menciptakan interpretasi gerakan terhadap setiap tahap metamorfosis yang dilalui Leika, pertama dari sebutir telur, kemudian menjadi ulat, dan akhirnya kupu-kupu.

Berkreasi dengan selendang warna-warni, setiap kelompok menampilkan gerakan terbaiknya.

diajeng Healing through Dancing

Peserta menampilkan tari-tarian yang terinspirasi dari tahapan metamorfosis kupu-kupu. (Tirto.id/Sekar Kinasih)

Serangkaian kegiatan yang digawangi oleh Avie, Ratna, dan Dera di atas dapat dipahami sebagai upaya terbaru masyarakat urban untuk memopulerkan gerakan tari sebagai terapi kesehatan mental, atau istilah populernya sekarang: healing. Selain di kalangan pemerhati seni, diskursus ini juga ditemui di lingkup psikolog.

Bagi Avie, inspirasi membangun program Lingkar Rasa mustahil dipisahkan dari kegelisahannya sendiri karena merasa belum menjadi perempuan yang utuh.

Ibu satu anak ini lantas mencoba mempelajari konsep energi maskulin dan feminin. Ia kelak menyadari, betapa energi maskulin sudah mendominasi dirinya dan sebagian besar teman-teman di lingkaran sosialnya.

Sebagai pecinta seni tari sedari kecil, Avie tak kesampaian meneruskan kegemarannya menari di usia dewasa. Sampai akhirnya berjumpa dengan Ratna, Avie mulai merasa ‘hidup’ lagi dengan menari, “Ternyata untuk mengaktifkan energi feminin itu juga dengan bergerak.”

Seiring itu, Avie percaya, di balik segala ketangguhan perempuan untuk mengatasi setiap tantangan, mereka juga perlu mendapatkan kesempatan untuk menjadi vulnerable, “Kita butuh ruang sama-sama untuk jadi perempuan dengan tempat yang aman untuk bercerita.”

Lingkar Rasa kemudian Avie akhiri dengan sesi saling bercerita tentang kegelisahan sebagai perempuan. Di situlah, peserta dapat mencurahkan isi hati, kekecewaan, dan kebingungannya seputar dinamika berumah tangga, relasi asmara, dan tekanan hidup yang timbul dari berbagai ekspektasi.

“Itu cukup sebagai langkah bertransformasi diri,” ujar Avie, “membuka hati perempuan-perempuan bahwa mereka tidak mengalami masalahnya sendirian.”

diajeng Healing through Dancing

Sesi intimate sister circle difasilitasi oleh Avitia Nurmatari (38), founder komunitas Semai Rasa. (Tirto.id/Sekar Kinasih)

Sementara itu, bagi Ratna, minatnya berangkat dari menekuni tari kreatif anak-anak ketika menempuh pendidikan magister di UPI pada 2012.

“Tari kreatif berorientasi pada proses, jadi lebih pada bagaimana anak-anak—atau semua orang—punya kebebasan untuk berekspresi dengan tubuhnya, dengan potensinya, sehingga apa yang dia hasilkan adalah benar-benar dari apa yang dia pikirkan,” terang Ratna.

Salah satu pengalaman terberat Ratna adalah mendampingi anak-anak korban letusan Gunung Sinabung di Sumatra Utara.

“Ketika bertemu, mereka hampir tanpa ekspresi. Dingin tangannya,” kenang Ratna.

Setelah Ratna memperkenalkan dunia tari dan musik, anak-anak tersebut mulai belajar memproses dukanya, perlahan mampu mengekspresikan keinginan yang selama ini terkubur di balik trauma mereka.

“Intinya, memberikan ruang pada siapa pun untuk berani mengekspresikan diri melalui tarian, sesederhana itu,“ tegas Ratna yang juga pendiri Semesta Tari, komunitas pembelajaran tari kreatif yang berorientasi pada kebebasan berekspresi.

diajeng Healing through Dancing

Pegiat seni Putu Dera Desintha (36) mempersembahkan tarian Legong untuk menghibur peserta. (Tirto.id/Sekar Kinasih)

Menari sebagai medium penyembuhan telah menjadi bagian dari ekspresi budaya dan spiritual yang dapat ditelusur sejarahnya seiring peradaban umat manusia itu sendiri berkembang.

Diperkirakan sejak abad ke-18, di Mesir dan kawasan sekitar Laut Merah serta Teluk Arab sudah tersebar ritual penyembuhan tarian Zar yang terbatas dibawakan oleh perempuan.

Ketika pandemi influenza melanda dunia pada awal abad ke-20, perempuan suku Ojibwe di Amerika Utara mulai mempraktikkan tarian “jingle dress” (kostum berhias kerucut perak yang mengeluarkan bunyi gemerincing setiap digerakkan).

Seusai Perang Dunia II, persisnya akhir 1940-an, gerakan tari sebagai seni penyembuhan mulai dikonsepkan secara profesional di Amerika Serikat—dikenal dengan Dance Movement Therapy (DMT) atau Terapi Gerak Tari.

Salah satu pionir DMT, Marian Chace (1896-1970), memulainya dari sesi-sesi terapi dengan pasien gangguan jiwa dan veteran perang.

American Dance Therapy Association yang berdiri pada 1966 kemudian mendefinisikan DMT sebagai “penggunaan gerakan psikoterapi untuk meningkatkan integrasi emosional, sosial, kognitif, dan fisik individu, dengan tujuan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan”.

Studi di jurnal Frontiers in Psychology (2019) meninjau berbagai penelitian tentang efek DMT yang sudah marak dikerjakan sejak dekade 1990-an.

Tim peneliti menyimpulkan, DMT berpotensi mengurangi depresi dan kecemasan, meningkatkan kualitas hidup dan keterampilan interpersonal serta kognitif.

Pengidap gangguan makan (eating disorder), yang biasanya mengalami gangguan body image, juga berpeluang terbantu dengan DMT sebagai terapi pelengkap selain terapi verbal. Demikian temuan dari studi pilot di Journal of Eating Disorders (2020).

Tak hanya di level psikologis, tarian juga berdampak pada motorik. Studi di Journal of Dance Medicine & Science (2023) mengungkap gerakan tradisional tarian Brasil, samba dan forró, berpotensi meningkatkan kualitas hidup dan meredakan gejala-gejala motorik pada penderita Parkinson.

Di Indonesia, beberapa riset sudah pernah mencoba mengaitkan DMT dengan tradisi lokal, seperti dilakukan Elizabeth Endang dari Universitas Indonesia (2013) yang meneliti terapi tari Bali sebagai model intervensi sosial untuk membantu proses penyembuhan korban kekerasan seksual.

Eshry Andityasmara dari Universitas Negeri Semarang (2015) juga mengulas bagaimana jathilan menjadi media penyembuhan pada pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Magelang.

Di balik berbagai benefit yang dapat dipetik dari praktik terapi tari, masing-masing orang memiliki motivasi personalnya untuk belajar mengolah tubuh dalam ruang aman yang bebas dan tanpa penghakiman ini.

Salah satu peserta termuda di Lingkar Rasa, Amarila (22), ikut menari karena ingin mengenali kembali lingkungan dan orang-orang di sekitarnya setelah tiga tahun tinggal di Inggris untuk berkuliah. “Reconnect lagi sama Bumi Pertiwi,” ujarnya.

Masih agak berkaitan dengan pengalaman Amarila, Hana (35) dari Jakarta mengakui bagaimana seiring menginjak dewasa, instingnya untuk bergerak sudah tidak terlalu tajam lagi karena dibayangi oleh ketakutan untuk melangkah dan merasakan.

“Sejak menikah, aku benar-benar out of touch sama badan. Yang aku suka di sini, kita banyak diminta melakukan hal-hal taktil, seperti memegang pohon, menginjak rumput, benar-benar merasakan teksturnya,” ujar Hana.

Lain cerita dengan Masitoh. Sempat didiagnosa mengalami depresi, mahasiswi doktoral di bidang Teknik Fisika ini sedang berusaha memperbanyak aktivitas baru untuk healing sebagai psikoterapi. Sebelumnya, ia ikut kelas merangkai bunga.

Menari adalah aktivitas baru bagi Masitoh. Peluang untuk mendapatkan ruang berkomunitas juga menarik perhatiannya, “Kok seru ya, aku udah lama juga gak ketemu cewek-cewek—komunitas yang isinya perempuan.”

Senada, datang dari Tangerang, Ara (27) ingin terpapar dengan lebih banyak energi feminin dan terkoneksi dengan sesama perempuan. Dari sekian acara dan komunitas yang pernah diikutinya selama ini, tidak ada yang energinya sefeminin Lingkar Rasa.

Selain itu, Ara juga tertarik dengan tema tentang perubahan yang ditawarkan, “Memang ada bagian dari diriku yang ingin kutransformasi sebagai penyembuhan karena selama ini hidup dengan permasalahan yang membelenggu.”

Ibu pekerja dari Jakarta, Ocha (34) menambahkan, “Dari penjelasan tentang acaranya, ada kegiatan menari, lebih mendekatkan diri ke alam—aku membutuhkan itu semua untuk healing, untuk mencari perasaan lebih bahagia, untuk lebih membebaskan diri.”

Salah satu yang berkesan bagi Ocha setelah mengikuti forum ini adalah diajarkan bahwa setiap gerakan tidak ada yang jelek atau bagus—jauh dari konteks penilaian di dunia kerja.

Di sinilah Ocha menemukan kenyamanan, dan tentunya tak merasa sendirian.

“Kita semua juga punya problem masing-masing, tapi kita bisa bahagia, kita bisa menghadapi itu semua.”

Baca juga artikel terkait DIAJENG atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Diajeng
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Maya Saputri