tirto.id - Kementerian Pertanian (Kementan) menyatakan kenaikan harga telur hingga saat ini karena lonjakan permintaan kurang diantisipasi dan produktivitas ayam petelur kurang dipersiapkan oleh para pelaku usaha.
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan, Fini Murfiani, menyebutkan ada kenaikan permintaan 20-30 persen dari menjelang Lebaran.
"Ada semacam fenomena yang beda, karena liburan yang panjang, terus mereka [peternak] juga butuh libur. Sehingga, mereka tidak mengantisipasi demand yang banyak itu. Itu memang tidak diprediksi, sehingga peningkatan permintaan itu tinggi sekali," ujar Fini di Kementerian Perdagangan (Kemendag) Jakarta pada Senin (16/7/2018).
Adanya bantuan pangan non-tunai (BPNT), meliputi telur dengan harga terjangkau untuk masyarakat kurang mampu, menurutnya, juga semakin menambah peningkatan permintaan.
"Adanya bantuan dalam bentuk telur. Mensos ada bantuan non-tunai ke masyarakat miskin yang harganya disubsidi. Ada pembagian telur untuk rumah tangga miskin itu pun menambah volume permintaan," kata Fini.
Lalu, senada dengan pernyataan Menteri Perdagangan bahwa adanya Piala Dunia juga berkontribusi mendorong peningkatan permintaan konsumsi telur.
"Dengan berbagai event panjang kaya bola segala macem meningkatkan konsumsi makanan meliputi telur. Begadang makan mie pakai telur, makan nasi pakai telur," ucapnya.
Di sisi lain, di tingkat peternak ada penyusutan produktivitas ayam. Ketersediaan ayam bibitan atau anak ayam berumur di bawah 10 hari (day old chicken/DOC), disebutkan Fini sebenarnya ada cukup ketersediaan.
Namun, karena ada peternak ayam petelur yang turut libur berproduksi saat libur panjang Lebaran, maka produksi telur terhenti. Terjadi penumpukkan permintaan telur ayam karena tidak diantisipasi matang.
"Pengaruh ada peningkatan demand, seharusnya ada jarak 21 hari untuk DOC berproduksi telur. Nah enggak diantisipasi," ujarnya.
Selain itu, produktivitas yang terganggu juga karena pelarangan oleh Kementan kepada peternak untuk menggunakan Antibiotic Growth Promoter (AGP) kepada ayam. Tanpa AGP, ayam rentan terkena penyakit.
"Mereka (peternak) tadi disebut juga ada penurunan produktivitas dari ayam-ayam karena tidak boleh digunakannya antibiotik. Untuk yang ini, kami minta by name by adjust di mana, berapa. Kami akan melakukan semacam pengecekan lagi berapa penurunannya, sehingga tidak lagi dijadikan alasan," kata Fini.
AGP adalah obat antibiotik yang biasa dikonsumsikan kepada ayam untuk menjaga daya tahan tubuhnya dari penyakit, agar memiliki masa pertumbuhan dan produktivitas yang baik. Namun, terdapat residu yang tidak baik bagi kesehatan manusia yang mengkonsumsinya.
Pelarangan AGP ini sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 14 tahun 2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan. Permentan itu berlaku sejak 12 Mei 2017, tetapi pengawasan pelaksanaannya dimulai 1 Januari 2018.
"Pelarangan antibiotik ini adalah hal yang baik karena kita sebagai konsumen nantinya dapat terkena dampak. Ya ini masa transisi," ungkapnya.
Namun, ia kemudian meyakini bahwa seminggu ke depan harga telur dapat berangsur menurun sesuai dengan masa tenggat yang diberikan Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita. Sebelum dilakukan intervensi pasar oleh pihak Kemendag dengan ketersediaan telur di integrator (perusahaan besar pengumpul telur).
"Karena liburan panjang udah selesai, dan udah mulai turun sih hari ini katanya [pelaku usaha] tadi," ujarnya.
Masa tenggat seminggu untuk para pelaku usaha menurunkan harga disepakati pula oleh perwakilan para pelaku usaha yang hadir di Kementerian Perdagangan.
Kesepakatan ini, dikatakannya mencerminkan adanya ketersediaan barang sebetulnya. "Seminggu harus turun kan menunjukkan cukup [ketersediaan]. Dan mereka [pelaku usaha] setuju. Itu kan artinya mereka atur lagi," ucapnya.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Maya Saputri