tirto.id - Delapan tahun silam, Lehman Brothers kolaps. Raksasa finansial terbesar keempat di Amerika Serikat itu mendaftarkan kebangkrutannya di tengah belitan utang sebesar 619 miliar dolar. Kebangkrutan Lehman merupakan yang terbesar sepanjang sejarah.
Lehman Brothers merupakan korban terbesar dari krisis subprime mortgage di AS. Kolapsnya Lehman memperburuk krisis finansial yang sudah dimulai sejak awal 2008 dan menggerus kapitalisasi pasar global hingga 10 triliun dolar. Kebangkrutan Lehman adalah salah satu mimpi buruk di pasar finansial.
Kini, bayang-bayang kolapsnya sebuah raksasa finansial kembali muncul. Adalah Deutsche Bank yang kini sedang terbelit krisis dan membuat siapapun waspada, termasuk Indonesia. IMF menyebut kolapsnya Deutsche Bank akan memberikan risiko sistemik paling besar di dunia.
Pukulan Beruntun
Deutsche Bank merupakan raksasa finansial yang selamat dari krisis 2008 tanpa dana talangan. Secara perlahan, Deutsche Bank mulai memulihkan dirinya. Saham Deutsche Bank sempat mencapai puncaknya pada Juli 2015. Namun, secara perlahan sahamnya terus turun. Sejak puncaknya hingga saat ini, saham Deutsche Bank sudah terpangkas hingga 65 persen. Nilai kapitalisasi pasarnya pun hanya tersisa kurang dari setengahnya, dari 50 miliar dolar menjadi hanya 16 miliar dolar.
Deutsche Bank bukannya tidak melakukan apa-apa. Di tengah situasi perekonomian global yang lesu, Deutsche Bank sudah berupaya melakukan restrukturisasi. John Cryan yang baru diangkat sebagai co-CEO pada Juni 2015 langsung mengumumkan program restrukturisasi yang bernama "Strategy 2020". Program ini antara lain berisi pengurangan karyawan dan penutupan operasional di 10 negara. Program ini dilakukan karena Cryan melibat biaya yang dipikul perusahaan terlalu besar.
Cryan berusaha mengatasi permasalahan yang membelit unit bank investasi Deutsche Bank yang menyumbang 85 persen dari total pendapatannya. Setelah krisis finansial pada 2008, regulasi yang sangat ketat diberlakukan di pasar finansial. Hal itu membuat bank investasi memang menjadi lebih aman, tetapi kurang menguntungkan. Celakanya, Deutsche Bank tidak memiliki bank ritel atau bisnis wealth management untuk mengkompensasi susutnya pendapatan dari bank investasi.
Bank akan meraup pendapatan dari perbedaan suku bunga tabungan dan kredit. Ketika suku bunga negatif – sebagaimana yang terjadi di Eropa—maka dengan sendirinya akan menggerus pendapatan.
Tidak hanya lini pendapatannya yang terpukul. Deutsche Bank yang dulunya merupakan salah satu bank Eropa yang paling sukses di Wall Street juga menghadapi serangkaian gugatan. Biaya litigasinya sejak 2012 sudah mencapai 12 miliar euro atau sekitar 13,5 miliar dolar. Klaim individual, perusahaan, regulator memenuhi laporan keuangan Deutsche Bank pada 2015.
Kondisi yang sulit membuat pendapatan Deutsche Bank semakin susut. Pada 2015, Deutsche Bank mencatat rugi sebesar 6,77 miliar. Ini tentu saja sebuah kemunduran dibandingkan keuntungan yang dicetak pada 2014 sebesar 1,69 miliar euro. Namun, pada kuartal 1,2,3 tahun 2016, Deutsche Bank sudah mencatat kinerja yang positif.
Juli 2015, S&P menurunkan rating untuk Deutsche Bank. Pada saat yang hampir bersamaan, Deutsche Bank di AS gagal melewati stress test yang dilakukan The Fed. Stress test merupakan uji kekuatan sebuah bank dalam melewati krisis.
Memasuki Agustus 2016, Deutsche Bank dikeluarkan dari daftar saham blue chip STOXX Europe 50 index. Nasib buruk berlanjut ketika pada September 2016, Departemen Kehakiman Amerika Serikat memberikan denda ke Deutsche Bank sebesar 14 miliar dolar karena bersalah dalam menjual kredit perumahan murah (subprime mortgage). Denda yang besar inilah yang semakin memunculkan kekhawatiran tentang kondisi keuangan Deutsche Bank.
Kolapsnya Deutsche Bank tentu saja menimbulkan kekhawatiran karena keterkaitannya yang seperti gurita dengan institusi finansial global. IMF dalam laporannya Juni lalu menyebut Deutsche Bank AG yang merupakan bank investasi terbesar di Eropa akan menjadi kontributor terbesar terhadap risiko sistemik di antara para kreditur terbesar.
“Deutsche Bank terlihat sebagai kontributor paling penting dalam risiko-risiko sistemik,” jelas IMF. Setelah Deutsche Bank, bank besar lainnya yang berisiko besar pada risiko sistemik adalah HSBC dan Credit Suisse Group AG.
Menurut IMF, bank-bank besar dengan eksposure yang sangat luas di berbagai belahan dunia bisa terkena imbas jika Deutsche Bank krisis. Mulai deri UBS, Credit Suisse hingga Bank of China, semuanya bisa terkena imbasnya. Hal itu memunculkan kekhawatiran krisis yang lebih besar, meski sebagian analis memperkirakan situasi yang lebih buruk masih jauh.
Deutsche Bank merupakan pemain kunci di pasar derivatif, yang merupakan instrumen finansial kompleks yang digunakan untuk serangkaian aktivitas dari penjaminan hingga pergerakan suku bunga untuk pertaruhan pergerakan pasar saham. Produk-produk ini merupakan jantung dari krisis global 2008, ketika kolaks harga properti AS memukul sejumlah produk derivatif.
Sayangnya, di tengah kekhawatiran tersebut, Kanselir Jerman Angela Merkel pemerintah menolak memberikan bantuan kepada Deutsche Bank. Padahal, aset Deutsche Bank mencapai 1,8 triliun euro, setengah dari perekonomian Jerman. Dengan demikian, tergambar besarnya krisis yang akan terjadi jika Deutsche Bank kolaps.
Indonesia Bersiap
Besarnya dampak krisis Deutsche Bank tentu saja harus diwaspadai. Indonesia, sebagai negara dengan pasar keuangan yang terbuka juga melakukannya. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memanggil manajemen Deutsche Bank untuk meminta keterangan pada medio Oktober lalu.
Pemanggilan Deutsche Bank ini dimaksudkan agar OJK bisa mendapatkan penjelasan dan bisa menyiapkan langkah-langkah antisipasi untuk menghadapi krisis yang kemungkinan berdampak pada operasional di Indonesia.
Berdasakan penjelasan dari Deutsche Bank, diketahui bank tersebut sedang bernegosiasi dengan Departemen Kehakiman AS terkait denda 14 miliar dolar.
“Saya sudah diyakinkan oleh jajaran Deutsche Bank bahwa negosiasi masih terus berjalan antara Deutsche Bank dengan Departemen Kehakiman Amerika. Saya kira kalau ini bisa diselesaikan tidak akan ada masalah,” jelas Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman Hadad saat ditemui di JCC. Ia menambahkan, Deutsche Bank memang pemegang kustodian terbesar di Indonesia.
Sejauh ini, semua pihak masih terus memantau perkembangan krisis Deutsche Bank. Ada yang sudah bersiap, tetapi ada pula yang tetap tenang. Mereka yang bersikap tenang meyakini Deutsche Bank tidak akan runtuh. Nasibnya juga tidak akan seburuk Lehman Brothers.
Christopher Wheeler, analis bank dari Atlantic Equities menyatakan bahwa Deutsche Bank tidak kehabisan uang karena memiliki aset yang siap dijual senilai 250 miliar euro. Aset-aset itu siap dijual setiap saat untuk memenuhi permintaan nasabah.
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti