Menuju konten utama

Hantu Snapchat, Hantu Masa Depan

Snapchat Discover era baru, Ketika situsweb tidak lagi jadi pilihan utama pembaca untuk mengonsumsi berita. Inilah awal distributed content. Snapchat Disukai para remaja karena semua yang diunggah di sana tidak permanen. Snapchat memberi ruang kepada banyak orang agar bebas berbagi momen apa saja yang mereka inginkan tanpa pusing-pusing mengenai konsekuensi yang lebih luas.

Hantu Snapchat, Hantu Masa Depan
Ilustrasi Snapchat. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - "Saya laki-laki, muda, berkulit putih, dan berpendidikan. Saya sungguh, sungguh-sungguh, beruntung. Dan hidup ini tidak adil," kata Evan Spiegel suatu kali.

Evan adalah co-founder, CEO, cecunguk di balik suksesnya salah satu media sosial terbesar dan paling cepat berkembang di internet saat ini. Snapchat. Di umur 25 tahun, ia menjalankan sebuah startup dengan nilai 15 miliar dolar dan memimpin 330 karyawan. Snapchat kini punya lebih dari 200 juta pengguna, sebagian besar masih remaja.

Ia saat ini memacari Miranda Kerr, seorang supermodel pakaian dalam Victoria Secret. Sebelumnya ia juga pernah digosipkan punya hubungan spesial dengan Taylor Swift. Jangan iri, karena menurut Forbes ia adalah miliarder termuda di dunia. Kekayaan bersihnya mencapai 1,5 miliar dolar, tongkrongannya mahal, dan tampangnya tidak terlalu memalukan jika bersanding dengan selebritas. Karena potongan Hollywood-nya, ia sosok yang tidak terlalu populer—bahkan bisa dibilang diremehkan—di Sillicon Valley.

Lebih dari empat tahun setelah Spiegel mendirikan Snapchat di Universitas Stanford bersama temannya, Bobby Murphy, 26 tahun, kini Evan sedang berjuang setengah mati untuk memajukan perusahaannya. "Barang pukimak ini nggak mudah," katanya.

Beberapa kali ia sempat kena masalah, tersebab e-mail lamanya yang bocor. Pada akhir 2013, Business Insider menayangkan bocoran video deposisi Evan dan Bobby dalam gugatan yang diajukan Reggie Brown—pemilik ide awal Snapchat. Reggie merasa diperlakukan tidak adil ketika ditendang dari Snapchat. Lalu ada e-mail mesum yang dikirim Evan kepada teman-teman klab sosialnya semasa kuliah di Stanford. E-mail yang berisi komentar seksis Evan ini dipublikasikan situs Gawker pada Mei 2014. Desember 2014, e-mail di sistem komputer Sony diretas, bocorlah pembicaraan rahasia mengenai strategi bisnis Evan dan para eksekutif Snapchat, termasuk di dalamnya Michael Lynton, CEO Sony Entertainment.

Kombinasi itu membuat Evan punya reputasi sebagai anak muda kaya yang sombong dan misoginis. Tapi itu belum seberapa. Pada November 2013, ketika pendapatan Snapchat masih nol dolar setahun, ia dianggap egois dan bodoh karena menolak tawaran akuisisi dari Facebook dengan nilai 3 miliar dolar.

Bisakah laki-laki 25 tahun ini membawa Snapchat ke tingkat yang lebih tinggi dan melampaui pertumbuhan mereka sebelumnya?

Yang Impermanen Yang Menarik Perhatian

Internet semakin hari semakin menjadi tempat yang menyeramkan bagi anak-anak muda. Segala sesuatu yang ada di Facebook atau Twitter atau Instagram telah menjadi bagian dari persona internet mereka yang permanen. Sekali diunggah, ia bisa dilihat siapa saja, dunia mengaksesnya, selanjutnya bukan perkara mudah untuk mengubah atau memusnahkannya. Terlebih jika yang diunggah itu sudah serupa gunungan sampah digital yang lama tidak dibersihkan.

Dalam situasi seperti ini, Snapchat datang dengan tawaran terbaiknya berupa ketidakpermanenan. Snapchat menjadi pelopor genre baru dalam dunia pesan dan percakapan online. Di aplikasi berlogo hantu putih ini, setiap pesan gambar dan video akan hilang beberapa detik setelah dibuka. Snapchat memberi ruang kepada banyak orang agar bebas berbagi momen apa saja dengan siapa saja yang mereka inginkan tanpa harus pusing-pusing mengenai konsekuensi yang lebih luas.

"Sebelum Snapchat, Anda ambil gambar lalu menghadiahkannya kepada semua orang di muka bumi ini," kata Evan. "Ide kami tidak muluk-muluk. Sangat sederhana. Mari kita pulihkan konteks mengapa kita bertukar gambar dengan teman-teman secara online."

Evan percaya, pengguna internet muda tidak dilayani dengan baik oleh perusahaan-perusahaan raksasa internet saat ini. Maka ia memilih jalan berlawanan dari banyak saingannya

"Dia salah satu pemikir terbaik untuk desain produk di luar sana," kata mantan CEO Twitter, Dick Costolo.

Barangkali Dick tidak berlebihan. Evan spesial karena langkah-langkahnya tak lazim di mata kebanyakan elite Sillicon Valley. Hingga saat ini, ia masih masih kukuh pada pendirian bahwa layanan Snapchat selamanya hanya bisa diakses melalui mobile. Ini sebetulnya memang bukan barang baru. Tarik-menarik antara prioritas layanan di web konvensional atau mobile adalah perdebatan lama di lingkungan para pengembang teknologi internet. Whatssapp dan Instagram awalnya juga dikembangkan untuk pengguna mobile saja. Tapi sejak dikuasai Facebook, keduanya akhirnya terjun juga di layanan web. Evan Spiegel dan Snapchat lagi-lagi tidak mau tunduk pada arus ini. Evan sering menekankan, mobile adalah masa depan. Dan prinsip utama layanan Snapchat: video dan foto harus selalu sesuai layar penuh ponsel pintar.

Dalam pengembangan Snapchat, Evan seringkali menghindari pengandalan data dalam pengambilan keputusan, mengabaikan konvensi desain aplikasi, dan tidak mau berkantor di Sillcon Valley—ia memilih markas yang berlokasi di dekat Pantai Otot di California yang terkenal di tahun 70-an gara-gara Arnold Schwarzenegger. "Ada semacam obsesi aneh dengan ide bahwa data dapat menyelesaikan semua masalah," kata Evan.

Sementara Facebook dan Google fokus pada teknologi berdasarkan preferensi pengguna atau apa yang populer, Evan justru merasa dia bertanggung jawab memberikan sesuatu yang bermakna bagi anak-anak muda pengguna aplikasinya. Alih-alih menciptakan produk mengikuti kecenderungan pengguna berdasarkan data kata kunci pencarian, klik, dan sebaran (share), Evan justru berani berjudi dengan menyediakan ruang di Snapchat bagi beberapa editor lawas dan media tradisional.

Produk itu bernama Snapchat Discover, saluran harian video dan artikel yang hilang setiap 24 jam. Media-media yang bergabung tentu saja harus menyesuaikan diri dengan platform Snapchat: harus lebih banyak bermain dengan video dan gambar menarik, juga bersingkat-singkat dalam teks serupa poin-poin rangkuman pelajaran di Sekolah Dasar. Sejauh ini, sudah ada 17 brand media yang berkontribusi. Termasuk CNN, National Geographic, ESPN, dan majalah People,

Hasilnya, media-media rekanan Snapchat itu cukup puas dengan traffic yang mereka dapat di sana. Discover menjadi solusi bagi media seserius CNN dan National Geographic untuk meraih demografi pembaca yang selama ini sulit mereka jangkau: pembaca remaja. Joanna Coles, editor-in-chief Cosmopolitan, mengaku, kanal Discover mereka mendapat lebih 2 juta kunjungan per hari. "Traffic-nya bagus, dan mereka membaca semua konten," katanya.

Keberhasilan Snapchat Discover ini menandai era baru. Ketika situsweb tidak lagi jadi pilihan utama pembaca untuk mengonsumsi berita. Inilah awal dari apa yang disebut distributed content. Beberapa perusahaan besar lain juga mulai menyongsong era ini. Facebook mengembangkan moda Instant Article, dan Apple dengan Apple News. Beberapa yang lain akan segera menyusul.

Hantu Masa Depan

Pribadi Evan sangat mirip Snapchat: realistis, blak-blakan, dan seringkali tak terduga. Menurut rekan-rekan dan para investornya, ada kecerdasan bisnis di balik sikapnya itu. Untuk menyelesaikan masalah bisnis yang rumit, ia lebih menyukai diskusi panjang dengan rekan-rekannya sambil jalan kaki sejauh dua mil, dari kantornya di Venice menuju dermaga Santa Monica.

Ia juga pembaca buku yang rakus. Ketika diwawancara wartawan Bloomberg medio tahun lalu, ia sedang memegang buku Thirteen Days, karya seminal Robert F. Kennedy tentang krisis rudal Kuba. "John F Kennedy punya beberapa penasihat, mereka semua hobi berubah pikiran, 50 kali dalam seminggu, dengan jutaan nyawa sebagai taruhannya," kata Evan menceritakan buku itu. "(Sebagai pemimpin), Anda harus bisa menyelaraskan orang-orang yang mencoba untuk melakukan yang terbaik dalam pekerjaan mereka."

Kini, Spiegel terus berusaha meningkatkan penghasilan untuk perusahaannya. Salah satunya dengan iklan. Tapi Spiegel tampaknya kurang sreg dengan hampir semua jenis iklan online yang ada sekarang. Menurutnya, iklan di internet lebih banyak meyeramkan. Terutama targeted advertising: hanya karena pengalaman belanja produk tertentu di satu situs, kita akan terus-menerus melihat iklan itu di situs yang lain. "Ini jelas konyol," katanya.

Imran Khan, seorang mantan bankir Credit Suisse yang saat ini menjabat Kepala Strategi Snapchat, mengatakan, "Evan memandang iklan sebagai produk, sementara sebagian besar elite internet melihat iklan sebagai kejahatan yang diperlukan."

Maka Snapchat menayangkan iklan video layar penuh dalam feed Discover, kanal media, atau di "Stories", tempat pengguna berbagi mengenai topik tertentu seperti peringatan "Earth Day" kemarin. Ia hanya di sana, sekali putar langsung hilang, dan tidak mengejar-ngejar pemirsa di semua tempat di internet. Iklan sekitar 10 detik yang kualitasnya menyerupai iklan TV konvensional, tidak seperti umumnya iklan internet yang berkapasitas kecil. Beberapa merek yang sudah mencoba beriklan di sana antara lain Coca-Cola, McDonald, dan Samsung.

Tapi tidak sedikit perusahaan yang menolak keras beriklan di Snapchat. Mereka umumnya menganggap Snapchat masih kekurangan dalam hal penargetan dan metode pengukuran dasar standar iklan digital. Selain itu, beriklan di Snapchat juga berarti tidak akan ada umpan balik dari kerumunan pemirsa. Menurut Scott Varland, Direktur Kreatif biro iklan IPG Media Lab, tidak akan ada pengiklan yang rela menghabiskan uang untuk sesuatu yang sangat mahal dan belum teruji seperti Snapchat. Tarifnya mulai dari 100 dolar per 1.000 pirsa, hingga lebih dari 750.000 dolar untuk promosi sepanjang hari. Harga ini dua kali lipat lebih mahal ketimbang yang diprok YouTube.

Selain mengatasi keraguan atas iklan pada layanannya, Evan juga masih harus menangani kritik dari para pengguna Snapchat. Terutama dari mereka yang lahir sebelum 1985. Mereka umumnya menganggap Snapchat membingungkan dan tidak mudah dioperasikan. Snapchat tidak punya tombol petunjuk yang mengarahkan pada kegunaaan tertentu. Tampilan depannya langsung berupa kamera, beberapa ikon samar untuk menambah teman dan kotak pesan, ditambah fungsi geser kanan atau kiri atau atas atau bawah. Termasuk yang paling sering dikomplain: tidak adanya direktori pengguna sehingga kita bisa dengan mudah menambahkan teman. Hampir mustahil mencari pengguna lain di Snapchat, kecuali jika Anda tahu nama akun atau nomor ponsel yang bersangkutan.

"Saya paham ini terlihat berbeda. Ini terlihat berbeda karena ini sesuatu yang baru," kata Evan menanggapi kebingungan beberapa penggguna dewasa. Evan saat ini belum tertarik memenuhi permintaan direktori pengguna, ia masih fokus berinovasi, 70 persen dari programer Snapchat tengah bekerja mengembangkan produk baru.

Produk baru yang dimaksud belum pernah diumumkan secara resmi, tapi tidak sulit menebaknya: apa pun yang anak-anak muda ingin bicarakan dan berbagi, seperti game, musik, dan film. Dalam e-mail yang bocor antara Evan dan Michael Lynton CEO Sony, Evan mengungkapkan upayanya mengajak layanan musik Vevo dan Spotify untuk kerja sama. Ia bahkan menyatakan minatnya untuk membeli label rekaman agar suatu saat nanti Snapchat bisa mempromosikan artis-artisnya.

Setelah insiden kebocoran email itu, Evan menulis memo kepada para perkerja di perusahaannya, yang juga ia poskan di Twitter. Di sana ia mengekspresikan kemarahannya, sekaligus meyisipkan misi Snapchat, "Menjaga rahasia memberi Anda ruang untuk berubah pikiran, sampai Anda benar-benar yakin bahwa Anda benar. Kami akan mengubah dunia karena bukan dunia macam ini yang ingin kita hidupi."

Snapchat ingin mengubah budaya internet masa kini yang tampaknya begitu bernafsu mengekspos segala sesuatu. Tapi untuk mencapainya, mereka masih harus menempuh perjalanan mendaki. Sementara, pekerjaan rumah masih menumpuk. Perbaikan kualitas layanan menanti di depan mata. Untuk layanan Discover, misalnya, sampai detik ini Snapchat belum mengakomodasi media dan pembaca selain yang berbahasa Inggris. Sedangkan Instant Article Facebook dengan cepat melenggang di semua bahasa.

Mendongkel dominasi Google dan Facebook jelas bukan pekerjaan ringan. Selain inovasi layanan, dibutuhkan pula serangkaian strategi yang sistematis, terstruktur, dan masif.

Baca juga artikel terkait FACEBOOK atau tulisan lainnya

tirto.id - Bisnis
Reporter: Arlian Buana