tirto.id - Ini bukan hantu seperti yang didongengkan oleh nenekmu sebelum tidur. Ini hantu zaman modern. Senjatanya komputer jinjing, alat perekam, notes, bolpoin. Dia akan menulis apa saja. Buku, jurnal ilmiah, artikel koran, naskah pidato, hingga lirik musik. Ini adalah hantu yang muncul seiring makin pentingnya teks: penulis hantu, ghost writer.
Membahas tentang penulis hantu, tak bisa tidak, ingatan pasti langsung tertuju pada The Ghost, novel buatan Robert Harris yang kemudian difilmkan pada 2010 dengan bintang Ewan McGregor. Ada frasa yang bisa menjelaskan kenapa profesi penulis hantu ada, dan belakangan jadi populer.
"Dari semua kegiatan manusia, menulis adalah yang paling sering ditunda dengan banyak sekali alasan. Meja terlalu besar, meja terlalu kecil, terlalu berisik, terlalu ramai, cuaca terlalu panas, terlalu dingin, kepagian, kemalaman. Sejak beberapa tahun terakhir, aku belajar mengabaikan hambatan dan alasan macam itu, dan sesegera mungkin mulai menulis."
Kalimat itu adalah salah satu alasan kenapa profesi penulis hantu itu ada. Menulis memang selalu diajarkan seiringan dengan membaca. Tapi tak banyak yang bisa menulis. Apalagi yang menulis dengan baik. Pekerjaan ini juga jadi makin beken karena para pesohor, entah itu pejabat teras, aktris yang menua, hingga para politisi, menganggap cerita hidup mereka layak dibaca orang. Karena mereka tak bisa menulis, atau setidaknya tak punya waktu untuk itu, maka ditunjuklah penulis hantu untuk menggarap buku. Atau ada orang yang punya ide tulisan, tapi tak bisa menulis. Mereka biasanya juga mempekerjakan penulis hantu. Ada banyak definisi tentang penulis hantu. Yang paling sering dipakai adalah: mereka yang menulis segala bentuk teks untuk orang lain, dan tidak mencantumkan namanya sendiri. Hukum dasar hantu adalah: dia tak boleh kelihatan.
Tapi di tanah Barat, tempat di mana hantu dianggap sebagai kisah untuk menakut-nakuti anak kecil saja, profesi penulis hantu ini mulai diagungkan. Nama dimunculkan, walau tak selalu sebagai penulis. Bisa sebagai editor atau tim riset. Bahkan ada beberapa agensi penulisan yang secara khusus mewadahi para penulis hantu ini.
Manhattan Literature misalkan. Mereka dengan terang-terangan, bahkan bangga karena, "...memacak standar baru bagi para penulis hantu." Perusahaan yang bermarkas di New York ini didirikan oleh Mark Sullivan, lulusan Columbia University yang kemudian menekuni karir sebagai penulis dan editor.
Mereka mematok harga jasa yang tinggi. Untuk buku setebal 120 halaman atau kurang, alias berkisar 30.000 kata, dan dipasarkan untuk pasar digital seperti Kindle, harga yang ditawarkan sekitar 15 ribu dolar, atau sekitar Rp210 juta. Untuk buku yang lebih tebal dan kompleks, tentu lebih mahal.
"Ongkos kami tergantung banyak faktor. Seperti jumlah kata, durasi pengerjaan, reputasi penulis, dan sebagainya," tulis Mark dalam situs Manhattan Literary.
Madeleine Morel, perempuan kelahiran Inggris yang mendirikan 2M Communication, bahkan menyebutkan tarif yang lebih mahal. Biro yang dia dirikan secara tegas menyasar buku non fiksi, berbeda dengan Manhattan Literary yang masih bisa membantu penulisan buku fiksi. Menurut Madeleine, rata-rata tarif penulis hantu untuk buku yang diterbitkan penerbit besar, mencapai 40 ribu hingga 70 ribu dolar, alias sekitar Rp560 juta hingga Rp980 juta. Tapi berkat pasar buku digital, ada buku-buku yang bisa dibuat dengan harga lebih murah.
Pada 2001, Hillary Clinton yang saat itu masih menjabat sebagai Senator dari New York, menjual hak buku biografinya sebesar 8 juta dolar. Hillary juga mencari penulis hantu --yang dia sebut sebagai kolaborator-- untuk menuliskan buku biografinya. Untuk jasa itu, Hillary memberikan tarif sebesar 500 ribu dolar, atau sekitar Rp7 miliar. Buku berjudul Living History itu akhirnya diterbitkan oleh Simon & Schuster, salah satu penerbitan terbesar di dunia yang setiap tahunnya menerbitkan sekitar 2.000 buku.
Tarif penulis hantu tentu berbeda-beda di setiap negara. Di Kanada, serikat penulis menetapkan tarif minimal untuk para penulis hantu, yakni 40 ribu dollar untuk buku setebal 200 hingga 300 halaman. Akan ada honor tambahan bagi penulis hantu jika masih harus riset. Di Jerman, honor ditetapkan per halaman, yakni 100 dolar. Di negara-negara Asia seperti India, China, atau Filipina, penulis hantu dibayar lebih murah. Untuk sebuah buku dengan tebal sekitar 200 halaman, honornya hanya sekitar 3 ribu hingga 5 ribu dolar.
Dengan honor yang sebesar itu, seperti apa kerja penulis hantu ini? Secara garis besar, pekerjaan penulis hantu tak jauh berbeda satu dengan yang lain. Selain menulis, mereka kadang masih dibebani oleh pekerjaan riset dan wawancara. Jika berbentuk biografi, biasanya penulis hantu harus berlaku seperti bayangan. Menempel ke manapun subyek tulisan pergi. Di banyak agen penulisan, biaya riset bisa dikenakan tarif yang lumayan tinggi. Apalagi jika riset dikerjakan di luar kota dalam jangka waktu yang panjang. Karena itu di Manhattan Literary atau 2M Communication, harga buku bisa lebih murah jika semua bahan sudah tersedia dan penulis tak perlu riset lagi.
Penulis pidato bagi Hillary, Alison Muscatine, pernah berbagi sistem kerja ketika ikut menggarap buku Living History bersama Maryanne Vollers dan Ruby Shamir.
Selepas subuh, tiga orang ini sudah harus berada di rumah Hillary. Mengikuti kesehariannya ketika berada di rumah. Kemudian mereka mengikuti Hillary pergi ke kantor, menulis seharian. Setelahnya mereka akan bertemu lagi di rumah Hillary menjelang tengah malam. Mereka akan berdiskusi dan mengedit tulisan hingga pukul 3 pagi. Pekerjaan itu rutin mereka lakukan selama dua tahun hingga akhirnya buku itu terbit.
"Buku ini memang tidak ditulis oleh banyak orang, tapi jelas buku ini digarap oleh tim penulis yang super. Salah satu keputusan terbaikku adalah meminta Lissa (panggilan Alison), Maryanne, dan Ruby untuk bekerja denganku," puji Hillary setelah buku ini terbit.
Di Indonesia, sistem kerjanya juga tak jauh berbeda. Abu, tentu bukan nama sebenarnya, pernah menuliskan biografi seorang tokoh di daerah Lombok, Nusa Tenggara Barat. Karena bentuknya biografi, dia harus mewawancarai langsung sumbernya. Maka dia terbang ke Lombok selama kurang lebih satu minggu. Pagi dia mengikuti subyek tulisan, hingga sore tiba. Malam dia mulai menulis pendek-pendek untuk kemudian nanti disunting lagi. Begitu terus. Selain honor penulisan, dia juga mendapatkan uang tambahan untuk biaya hotel, transportasi, dan makan.
Honor penulis hantu di Indonesia juga beragam. Untuk tokoh yang tak seberapa dikenal, honornya tak terlalu tinggi. Berkisar jutaan hingga belasan juta. Untuk menulis tokoh di Lombok itu, Abu dan seorang kawannya dibayar masing-masing Rp7 juta. Itu honor bersih. Abu juga pernah menerima jasa penulisan buku, ditambah dengan foto dan desain, dari sebuah BUMN.
"Untuk pekerjaan itu aku dapat 42 juta. Kalau dikurangi dengan biaya operasional, bisa dapat bersih 30 juta," kata Abu.
Honor itu tentu masih kecil jika dibandingkan dengan penulis yang sudah terkenal seperti Alberthiene Endah. Pada 2010, mantan wartawan Femina ini menulis 10 buku biografi para pesohor. Mulai dari Ani Yudhoyono, Anang Hermansyah, hingga Chrisye. Meski tak pernah mengungkap secara pasti jumlah honornya, dalam satu wawancara dengan Tempo, Alberthiene pernah bilang kalau tarif menulis buku itu, "...yang jelas bisa buat hidup mapan."
Besarnya honor penulis hantu ini tentu sebanding dengan kerja keras mereka. Menulis buku, terutama biografi, bukan masalah sepele. Para penulis harus punya nafas panjang dan tahan banting dalam hal kebosanan. Bayangkan melakukan pekerjaan yang sama seperti tim penulis buku Hillary Clinton, selama 2 tahun. Selain itu, godaan terbesar para penulis hantu adalah rasa ingin dikenal.
"Meski kita adalah penulis hantu, tidak berarti kita harus menepis keinginan alamiah manusia: dipuji dan dihargai," tulis Philip Roth dalam novelnya yang terkenal, The Ghost Writer.
Ribut-ribut masalah pengakuan ini pernah terjadi dalam tim penulis buku biografi Chairul Tanjung. Dalam sampul depan, ditulis penyusunnya adalah Tjahja Gunawan Diredja, wartawan media Kompas. Namun seorang bernama Inu Febiana, mengaku dirinya adalah penyusun buku itu tapi hanya dicantumkan sebagai transkriptor wawancara.
"Ini bukan tentang uang saja. Tapi ini perintah ibu yang gue sampaikan dan penghormatan gue yang sama sekali dianggap gak ada," tulis Inu dalam akun Twitternya.
Sekilas pekerjaan penulis hantu ini memang menyenangkan. Honornya lumayan besar, bahkan bisa teramat besar. Tapi di balik itu semua, harus ada ketahanan yang kuat, nafas yang panjang, dan tentu saja harus sanggup menghadapi godaan alamiah manusia: ingin dikenal dan dipuji.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti