Menuju konten utama
Dosen Hukum Lingkungan:

Gugatan Polusi Udara, Pemerintah Jangan Tunggu Putusan Pengadilan

Masyarakat sipil melakukan gugatan terhadap pemerintah terkait masalah polusi udara di Jakarta.

Gugatan Polusi Udara, Pemerintah Jangan Tunggu Putusan Pengadilan
Warga beraktivitas dengan latar belakang suasana gedung bertingkat yang diselimuti asap polusi di Jakarta, Senin (29/7/2019). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/ama.

tirto.id - Dosen Hukum Lingkungan Unika Atma Jaya Kristanto P. Halomoan menilai jika pemerintah memang serius menangani masalah polusi udara, maka seharusnya tak perlu menunggu keputusan atas gugatan dari masyarakat di Pengadilan Negeri.

"Dalam gugatan ini, kalau bentuknya perdata, kan ada mediasi. Kalau pemerintah sebetulnya punya itikad baik, dalam proses ini, sebetulnya tidak perlu fokus pada menjawab gugatan, tapi bisa melakukan tindakan-tindakan nyata," ujar Kristanto saat ditemui di Pejaten, Jakarta Selatan, pada Jumat (2/8/2019).

Tindakan nyata itu, kata dia, bisa melakukan penataan transportasi atau kemacetan. "Apa misalnya? Mempercepat penyediaan infrastruktur yang lebih baik, yang lebih banyak. Sesuatu yang sekarang bisa dilakukan tanpa harus menunggu putusan pengadilan mengatakan apakah gugatan itu bisa dikabulkan atau tidak," lanjutnya.

Menurut dia, gugatan masyarakat itu harus menjadi pendorong bagi pemerintah untuk melakukan perbaikan masalah polusi udara.

"Untuk political will, dorongan untuk pemerintah secara internal," ungkap Kristanto.

Sebelumnya, sejumlah masyarakat sipil melayangkan gugatan kepada Presiden RI Joko Widodo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Selain itu, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Gubernur Banten Wahidin Halim. Gugatan itu terlampir dalam registrasi nomor perkara 374/Pdt.G/LH/2019/PN Jkt.Pst.

Menurut Koordinator Tim Advokasi Gerakan Ibukota, Nelson Simamora, buruknya kualitas udara Jakarta ini disebabkan oleh parameter pencemar yang telah melebihi Baku Mutu Udara Nasional (BMUN) sebagaimana yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 dan dan Baku Mutu Udara Daerah Provinsi DKI Jakarta (BMUA DKI Jakarta) sebagaimana yang ditetapkan dalam Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 551 Tahun 2001 tentang Penetapan Baku Mutu Udara Ambien dan Baku Tingkat Kebisingan di Provinsi DKI Jakarta.

Nelson memberikan contoh, angka konsentrasi PM 2,5 dari Januari hingga Juni 2019 adalah 37, 82 μg/m3 atau 2 kali lebih tinggi dari standar nasional atau 3 kali lebih tinggi dari standar Badan Kesehatan Dunia (WHO).

"Mengapa hal ini begitu penting? Karena tingginya parameter pencemar yang melebihi baku mutu akan menimbulkan gangguan kesehatan. Setidak-tidaknya 58,3% warga Jakarta menderita berbagai penyakit yang diakibatkan polusi udara yang trennya terus meningkat setiap tahun yang menelan biaya pengobatan setidak-tidaknya Rp. 51,2 triliun," kata Nelson, Kamis (1/8/2019) pagi.

"Angka ini diprediksi akan semakin meningkat seiring memburuknya kualitas udara Jakarta apabila tidak ada langkah-langkah perbaikan dari para pengambil kebijakan," lanjutnya.

Baca juga artikel terkait POLUSI UDARA atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Alexander Haryanto