tirto.id - Pernah memandang kecantikan Kim Kardashian? Mungkin Anda tidak setuju jika saya menyebutnya cantik karena wajahnya yang penuh riasan kosmetik. Tetapi, harus diakui, Kim adalah maha guru bagi para make up artist dan penggemar seni merias wajah. Ada ratusan ribu video YouTube dan artikel yang berusaha membuka rahasia radiant complexity ala Kim Kardashian.
Konon, untuk bisa menghasilkan wajah seperti Kim, make up artist menggunakan puluhan variasi produk. Mulai dari concelear, foundation, bb cream, cc cream, shading, nude lipstic, eye shadow, hingga bronzer atau apalah nama-nama terbaru yang saking banyaknya sulit dihapal satu-satu. Yang jelas, berbagai strategi dipakai dan dicampur aduk dengan kombinasi sempurna, menghasilkan gradasi warna wajah Kim yang masyhur disebut golden glow itu.
Kita sedang melihat strategi yang hampir sama dengan strategi golden glow ala Kardashian dalam manuver politik Presiden Jokowi. Strategi mencampur adukkan gradasi warna dalam sendi-sendi budaya, media, dan politik untuk membentuk opini dan mengendalikan suhu politik yang sekarang kita lihat di media massa.
Tujuan strategi golden glow adalah untuk menunjukkan pada masyarakat secara terang benderang tentang kompleksitas masalah berbangsa kita, menyampaikan pesan yang berpendar kuat pada publiknya, hingga mengikat warna pesan yang ditunjukkan dengan konsistensi.
Saya ajak Anda melihat dari sisi kronologis waktu dan pesan yang disampaikan Jokowi melalui akun resminya hingga wacana yang berkembang di masyarakat. Hal-hal yang dipublikasikan oleh Jokowi ini, menurut saya, bukan kebetulan belaka. Ini sebuah strategi.
Dalam kajian retorika terbaru, ada hal baru yang disebut “ubiquitous presidential rhetoric”. Kajian ini mendobrak studi retorika yang cenderung hanya meneliti pidato presiden, dengan meneliti segala performa presiden di ruang publik yang menyita perhatian dan membentuk opini publik, baik yang muncul dalam kanal formal maupun informal. Semua menjadi bagian dari strategi retorika.
Sebab, presiden adalah simbol negara, yang tingkah lakunya mampu menyedot perhatian publik. Itulah sebabnya, polak sekecil apapun memiliki makna, memiliki radiant, dan diatur secara strategis dengan kompleksitas pesan tertentu.
Pertama, Jokowi secara konsisten menunjukkan kompleksitas masalah bangsa kita. Ada dua hal yang ditekankan Jokowi dalam pesan visualnya. Tujuannya adalah agar pesan politik Jokowi dikonstruksi secara visual untuk menyampaikan masalah apa yang begitu penting baginya pada bulan November 2016 ini.
Pesan tentang silaturahmi dan mempererat kerjasama antara pemeluk agama dan tokoh politik:
1 November bersama Prabowo.
9 November bersama ormas-ormas Islam.
10 November bersama kyai dan ulama pondok pesantren Banten dan Jawa Barat.
13 November bersama para ulama PPP dalam Munas Alim Ulama dan Rapimnas PPP serta Rapimnas PAN.
17 November bersama Prabowo.
21 November bersama Megawati.
22 November bersama Surya Paloh, Romahurmuzy dan Seta Novanto.
Pesan menjaga stabilitas negara dengan instansi militer, kepolisian, dan lembaga terkait:
2 November bersama Lemhanas.
9 November bersama TNI untuk kepahlawan dan tanda jasa.
10 November dalam upacara Hari Pahlawan.
10 November bersama Kopassus.
11 November bersama Brimob.
13 November bersama Polri membahas Bom Samarinda.
15 November bersama Korpaskhas.
16 November bersama Kostrad.
20 November bersama Paspampres.
22 November bersama KPK.
Pesan kerja urusan luar negeri dan dalam negeri:
4 November bersama tim kerja pembangunan rel Bandara Soekarno-Hatta.
6 November bersama warga RI di Sydney via konferensi video.
14 November bersama Perdana Menteri Singapira Lee Hsien Loong.
17 November bersama pengusaha/petani agro industri dalam pameran buah Indonesia.
Jadwal kerja Jokowi sama sekali tidak kendor. Pertemuan-pertemuan yang padat tidak bisa hanya disebut sekadar seremonial. Ada pidato, pesan penting, silaturahmi, dan produksi visual yang sangat kuat yang ingin disampaikan Jokowi, khususnya pada November ini.
Ada tiga pesan utama yakni tujuh hari tentang pesan silaturahmi dan mempererat persatuan dan kerjasama antara pemeluk agama dan tokoh politik. Ada pesan selama 10 hari tentang menjaga keamanan dan stabilitas negara dengan instansi militer, kepolisian, dan lembaga hukum terkait. Ada pula pesan tentang kerja mengenai urusan luar dan dalam negeri sebanyak 4 hari.
Tiga pesan ini bergaung di dalam wacana diskusi masyarakat dan opini publik sehingga masyarakat pun fokus pada isu-isu di atas. Ini adalah strategi retorik yang secara simbolis dan visual memancarkan pesan mengenai kompleksitas masalah yang sedang dihadapi oleh bangsa. Publik pun hanyut dalam pusaran diskursus ini. Strategi pertama ini penting sebab Jokowi sedang memberi alarm hal-hal apa saja yang sedang mengancam bangsa Indonesia yang patut diperhatikan, disikapi, dan digerakkan.
Kedua, Jokowi menyampaikan pesan yang berpendar sangat kuat di masyarakat. Saya akan menyoroti pada dua hal yang paling menonjol yakni selama 7 hari Jokowi menjumpai lembaga keamanan dan hukum, serta secara berturut-turut yakni 4 hari melakukan pertemuan dan jamuan makan ekskluisif one on one dengan tokoh politik.
Pesan yang muncul dengan 7 hari bertemu lembaga keamanan dan hukum adalah bentuk exercise of power seorang Presiden. Jokowi ingin menunjukkan bahwa ia bukan lagi seorang tukang kayu berwajah ndeso dari Solo. Ia kini adalah simbol negara. Komandan tertinggi bagi lembaga keamanan negara yang dapat menggerakan pasukan.
Saya melihat ini gertakan dan pengingat pada pihak-pihak yang mau macam-macam dengan kebhinekaan Indonesia. Ini juga sebagai bentuk koordinasi dengan pihak keamanan. Jokowi tidak secara langsung menggertak lawan. Ia cukup menunjukkan kekuatannya sebagai RI-1 agar lawannya berpikir dua kali untuk menyerang secara agresif. Halus, tapi kuat.
Jamuan eksklusif one on one dengan Jokowi sendiri yang menjadi tuan rumah, menunjukkan siapa saja yang perlu diundang tetapi juga yang tidak perlu diundang. Ini adalah strategi skala prioritas. Siapa yang harus diundang dahulu dan diundang belakangan. Bisa diartikan sebagai bentuk pengakuan tentang seberapa besar pengaruh tokoh-tokoh yang mendapat undangan jamuan eksklusif.
Kita lihat saja, Prabowo, Megawati, Suryo Paloh, Romy, dan Setya Novanto. Anda pasti akan bertanya-tanya mengapa si Anu tidak diundang? Apakah ada masalah dengannya? Apakah si Anu dianggap tidak penting dalam skala prioritas ketokohan politik menurut Jokowi?
Mereka yang tidak diundang atau belum diundang tentu akan risih jika hal itu menjadi bahan omongan di kalangan publik. Ini menyangkut harga diri dan pengakuan. Sekali lagi, ini bentuk exercise of power.
Strategi ini secara budaya bisa disebut sebagai ngajeni, memperlihatkan tokoh mana yang disegani dan mana yang tidak atau bahkan tak dianggap atau diprioritaskan. Sementara tokoh politik itu, si Anu, mungkin memiliki ego, narsisme, atau harapan dan penilaian yang tinggi tentang dirinya. Apalagi jika ia pernah menjadi orang yang paling berkuasa. Tetapi, tidak mungkin mereka yang meminta-minta untuk diundang. Ini prerogatif presiden.
Ketiga, Jokowi sedang mengikat warna, menjadi satu pesan yang kuat melalui konsistensi dan pola retorikanya. Mirip seperti Kim Kardashian yang menggunakan berbagai strategi make up, tetapi pada akhirnya hanya ada satu personal brand yang mewakilinya yakni selebritas yang khas dengan penampilan golden glow.
Golden glow Jokowi kali ini adalah pesan yang menyatakan: “Saya Presiden RI yang cerdik, bermain cantik, dan tidak bisa diremehkan.”
Melalui berbagai langkah hariannya, retorika kepresidenan menunjukkan kekuatan simbol yang bergaung di arena publik. Tidak hanya memberikan sinyal peringatan kepada yang hendak bertindak makar, tetapi juga memecah belah musuh yang memiliki berbagai kepentingan, hingga menekankan kepada publik tentang kepentingan bangsa yang lebih besar, yakni kebhinekaan dan perdamaian.
Kini, suhu politik bisa menurun dengan manuver Jokowi. Apalagi langkah-langkah preventif dan negosiasi yang dilakukan aparat pemerintah menjelang Aksi 212 juga berhasil menggeser rencana salat Jumat berjamaah di jalan raya ke Monas. Puncaknya, Jokowi memutuskan datang ke acara salat Jumat berjamaah di Monas itu dan "mencuri" perhatian dengan naik ke panggung menyapa umat yang datang.
Selain itu, pecah sudah kongsi-kongsi pihak yang ingin berdemo. Sementara IHSG kita mulai menguat kembali, sinyalemen positif dan kepercayaan publik pada permainan Jokowi yang cerdik juga meningkat. Selanjutnya, sambil menikmati teh panas legi kentel, kita akan menikmati babak baru penegakan hukum di Indonesia yang transparan melalui sidang kasus Ahok.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.