tirto.id - Rabu, 24 Oktober 2018. Timnas Indonesia U-19 melawan timnas Uni Emirat Arab (UEA) U-19 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta.
Pada menit ke-23, Yousif Ali Al-Mheiri, bek tengah UEA, mengontrol bola di daerah permainan timnya, di dekat area tengah lapangan. Ia menyentuh bola agak keras barangkali untuk memudahkannya dalam mendistribusikan bola selanjutnya. Keputusannya itu bisa saja tepat, bisa saja salah, tergantung situasinya. Namun, apa yang dilakukan Al-Mheiri saat itu jelas-jelas salah.
Witan Sulaeman, gelandang serang Indonesia, berada cukup dekat dengan Al-Mheiri. Tahu bahwa bola agak jauh dari bek uea tersebut, Witan berusaha merebutnya. Al-Mheiri kaget dan telat beraksi. Witan berhasil merebut bola dan langsung melaju kencang ke kota penalti lawan.
Al-Mheiri berlari terbirit-birit mengejarnya, tapi usahanya sia-sia. Witan sudah berada di dalam kotak penalti UEA. Ia sudah mengokang kaki untuk membidikkan bola ke arah gawang. Bola lantas meluncur sesuai keinginan Witan, gagal dibendung oleh kiper Suhail Al Mutawa, dan, gol! Indonesia 1, UEA 0.
Gol Witan tersebut kemudian menjadi satu-satunya gol yang terjadi di dalam pertandingan.
Di sepanjang sisa pertandingan, sementara pemain-pemain Indonesia tampak gigih dalam mempertahkan kedudukan, dengan sesekali mencoba untuk memperlebar jarak, pemain-pemain UEA seperti kehilangan akal untuk membalasnya. Padahal, timnas Indonesia harus bermain dengan sepuluh orang pemain sejak menit ke-53 karena kartu merah yang diterima oleh kapten tim, Nurhidayat.
Seolah tak percaya dengan apa yang ditampilkan anak asuhnya, Ludovic Batelli, pelatih UEA, hanya bisa geleng-geleng kepala dari pinggir lapangan. Sebelumnya, pemain-pemain UEA selalu mempunyai cara untuk membobol gawang lawan. Gawang Qatar mereka bobol dua kali. Gawang Cina Taipei mereka bobol delapan kali. Mengapa mereka kesulitan mencetak satu gol ke gawang Indonesia yang hanya bermain sepuluh orang sejak awal babak kedua? Karenanya, sesudah pertandingan, Batelli pun tak bisa menutupi kekecewaannya.
“Pada babak kedua, saya menyuruh para pemain untuk menekan dan instruksi saya itu hanya dijalankan selama 15 menit awal. Permainan kami lalu kembali seperti babak pertama. Kembali saya tekankan, bagaimana bisa kami menang jika gaya bermain kami seperti demikian,” ujar Batelli.
Batelli pun tak luput memuji permainan Indonesia. Katanya, “Saya tidak kaget dengan hasil pertandingan. Indonesia adalah tim yang bagus dan saya juga tidak kaget mereka bisa mengalahkan kami.”
Perubahan Formasi menjadi Kunci Pertahanan Kokoh Timnas U-19
Sesudah kalah 5-6 dari Qatar, terlihat betul kalau lini pertahanan Indonesia adalah kekurangan yang wajib ditambal. Tak hanya kebobolan enam kali, lini pertahanan Indonesia juga bisa dengan mudah ditembus oleh pemain-pemain depan Qatar. Malahan, dari enam gol tersebut, sebagian besar terjadi karena kesalahan yang dibikin oleh pemain-pemain belakang timnas Indonesia U-19 sendiri.
“Pekerjaan rumah kami, yaitu memperbaiki pertahan," kata pelatih Indra Sjafri, dilansir dari Bola.com.
Timnas Indonesia memang hanya punya waktu sekitar tiga hari untuk memperbaiki pertahanannya, tetapi Indra berhasil mengerjakan pekerjaan rumahnya dengan baik. Saat melawan UEA, pertahanan Indonesia tak hanya kokoh, namun juga terkoordinasi dengan baik. Pemain-pemain UEA kesulitan merangsek ke dalam kotak penalti Indonesia.
Menurut data statistik AFC, dari 11 percobaan tembakan ke arah gawang yang dilakukan anak asuh Ludovic Batelli tersebut, hanya 3 tembakan yang dilakukan dari dalam kotak penalti. Selain itu, hanya ada dua tembakan yang mengarah tepat sasaran. Padahal saat melawan Cina Taipei, tim yang lini pertahanannya susah dibongkar pemain Indonesia di pertandingan pertama, UEA berhasil mencetak 8 gol dan semuanya dieksekusi dari dalam kotak penalti.
Lantas, perubahan apa yang dilakukan oleh Indra Sjafri sehingga lini pertahanan timnas mampu tampil beda?
Jawabannya: Indra melakukan perubahan formasi. Saat menghadapi Qatar, Indonesia bermain dengan formasi 4-3-3. Sedangkan ketika melawan UEA, Indonesia bermain dengan formasi 4-2-3-1. Menurut Rochmat Setiawan, anggota tim analisis timnas U-19, perubahan tersebut sengaja dilakukan untuk mengantisipasi permainan UEA.
“Kami sesuaikan sama taktik lawan buat antisipasi. Lawan Qatar, kita lebih ke 4-3-3, (Syahrian) Abimanyu jadi attacking Midfielder. Lawan UEA lebih ke 4-2-3-1, Abimanyu jadi defensive midfielder,” tutur Rochmat.
Perubahan posisi Abimanyu tersebut kemudian dapat digarisbawahi. Bermain sebagai double pivot bersama Muhammad Luthfi, Abimanyu berhasil membuat lini pertahanan Indonesia memiliki perlindungan tambahan. Terlebih, bersama Lutfi, Abimanyu juga mempunyai peran spesifik dalam bertahan.
Menyoal peran tersebut, Rochmat mengatakan, “Prioritas paling utama mereka (Abimanyu dan Luthfi) adalah melindungi empat bek di belakangnya. Kalau ada salah satu bek yang pressing lawan dengan maju ke depan, mereka harus siap menggantikan posisi bek tersebut. Baru kalau empat bek dalam posisi aman, mereka baru diperbolehkan ikut melakukan pressing ke depan.”
Abimanyu dan Luthfi kemudian memainkan perannya tersebut secara disiplin dan jarang salah melakukan positioning. Dua pemain tersebut berhasil melakukan tujuh kali tekel sukses. Selain itu, Luthfi juga berhasil melakukan dua kali intercept. Dampaknya: pemain-pemain Uni Emirat Arab kesulitan menembus pertahanan Indonesia dari tengah lapangan.
Permainan apik Lutfi dan Abimanyu di depan garis pertahanan tersebut tentu sangat berpengaruh terhadap kinerja lini belakang timnas. Mereka jarang berada dalam posisi yang kurang nyaman karena jarang menemui ruang terbuka yang berada di depan garis pertahanan mereka. Kesalahan-kesalahan elementer dapat dihindari. Bahkan, pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pemain belakang timnas pun dilakukan seperlunya.
Dari situ, pelanggaran yang dilakukan oleh Nurhidayat sebetulnya dapat dimengerti. Saat melakukan dua kali tekel yang berujung dua kartu kuning, Nurhidayat tak mempunyai pilihan lain; ia memang harus melakukan pelanggaran untuk mencegah marahabaya di depan gawang timnas Indonesia. Itu adalah keputusan strategis. Tak heran jika Indra Sjafri kemudian menganggapnya sebagai “salah satu pahlawan kemenangan timnas”.
Bagaimana Timnas U-19 Dapat Bermain Efektif
Suatu waktu, dalam kanal Fourfourtwo Performance, Rio Ferdinand, mantan bek Manchester United pernah mengatakan, “Saat Anda berada di dalam tekanan di dalam daerah pertahanan sendiri atau di daerah sepertiga akhir, Anda harus mampu mengambil keputusan terbaik yang berguna untuk tim anda bukan bagi Anda sebagai sosok individual.”
Dan apa-apa yang dilakukan pemain-pemain U-19 Indonesia saat menghadapi UEA adalah contoh gambaran pernyataan Ferdinand tersebut.
Pemain-pemain timnas mampu bermain sangat efektif. Mereka menggiring bola seperlunya, mengoper pada saat yang tepat, dan membidik gawang pada saat benar-benar bisa mengancam. Alhasil, meski harus bermain dengan 10 orang sejak menit-menit awal babak kedua, permainan timnas pun terus berkembang tanpa sedikit pun tersendat-sendat.
Hebatnya, semua itu tampak begitu alamiah. Apa yang dilakukan Todd Rivaldo Ferre, penyerang timnas U-19, bisa menjadi contoh. Menjelang akhir pertandingan, Valdo, sapaan akrab Todd Rivaldo Ferre, melakukan penetrasi ke dalam kotak penalti UEA. Rekan-rekannya jauh di belakang dan dia sudah dikepung oleh pemain-pemain belakang UEA dia tidak mempunyai sudut tembak yang memungkinkan.
Dalam waktu sepersekian detik, Valdo kemudian mengambil keputusan: ia memilik mencungkil bola ke udara. Tanpa pikir panjang, salah satu bek UEA lalu menyapu bola tersebut jauh-jauh ke depan. Bola kembali jatuh ke pemain-pemain Indonesia. Sekali lagi, pemain-pemain Indonesia mempunyai kesempatan untuk membangun serangan.
Yang menarik, apa yang dilakukan oleh Valdo tersebut, dan bagaimana cara pemain-pemain timnas lainnya dalam mengambil keputusan terbaik untuk tim, memang bukan kebetulan. Menurut Rochmad Setiawan, timnas U-19 memang terbiasa menyantap latihan yang tujuannya untuk mematangkan decision making yang berguna bagi tim.
“Setiap desain sesi latihan, pemain diberi problem dan dituntut untuk mencari solusi yang paling baik. Oleh karena itu, semua sesi latihannya selalu merepresentasikan interaksi di dalam lapangan, seperti akan selalu ada kawan dan akan selalu ada lawan," ujar Rochmad.
Sejauh ini, terutama setelah melawan UEA, penampilan timnas U-19 dengan segala pendekatannya berhasil membuat banyak orang angkat topi. Jika terus dididik secara benar, ada harapan bahwa masa depan sepakbola Indonesia akan baik-baik saja saat pemain-pemain timnas U-19 menjadi dewasa nanti. Namun, sebelum berpikir terlalu jauh, Jepang, yang pernah mengalahkan timnas U-19 1-4 Maret 2018 lalu, akan menghadang di pertandingan perempat-final.
Menang melawan Jepang memang bukan hal mudah, terlebih juara bertahan AFC Cup U-19 itu masih berada satu tingkat di atas Indonesia. Meski begitu, jika dilihat dari perkembangan timnas U-19 di dalam setiap penampilannya di AFC Cup U-19, peluang untuk membuat kejutan tentu saja terbuka lebar.
Editor: Nuran Wibisono