Menuju konten utama

Gara-Gara Dengkuran, Jadi Uring-uringan

Inilah masalah pengidap misofonia: bunyi mendengkur, mengecap saat makan, atau suara napas bisa memicu kemarahan.

Gara-Gara Dengkuran, Jadi Uring-uringan
Ilustrasi misophonia. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Pernahkah Anda atau kenalan Anda merasa resah luar biasa ketika mendengar suara orang mengecap makanan, gemerincing kunci, atau bunyi klik bolpoin? Jika ya, bisa jadi Anda atau kenalan mengalami misofonia.

Di Western Michigan University, mahasiswi senior jurusan Biologi, Lucy Babcock mengaku menemukan kendala besar saat belajar karena mengalami misofonia. Saat mendengar bunyi klik bolpoin atau bunyi orang mengunyah makanan, Babcock merasa kesulitan berkonsentrasi. Suara-suara yang dianggap banyak orang bukan masalah ini bisa memicu kecemasan dan reaksi fight atau flight dalam dirinya, seakan-akan ancaman yang berbahaya untuk Babcock.

“Ada saat-saat ketika saya mendapat kelas dengan dosen yang kerap membuat suara mengganggu. Saya biasanya menjajal masuk ke suatu kelas pada minggu pertama kuliah. Begitu dosennya suka memakan permen di kelas ketika mengajar, saya akan langsung mundur dari kelas tersebut,” papar Babcock.

Baca juga:Jangan Remehkan Polusi Suara

Bukan hanya suara mengganggu dari pengajar saja yang menghambat proses studinya di kelas. Kebisingan dari obrolan sesama mahasiswa atau bahkan suara bisik-bisik pun bisa mengusik Babcock. Ia berkata, “Saya harus menghabiskan waktu ekstra untuk belajar di luar karena saya gagal fokus di kelas.”

Pengalaman risi saat mendengar suara yang umumnya dianggap wajar juga dialami Meredith Rosol, guru SD dari Baltimore. Perempuan ini bahkan mesti menyumpal telinganya saat makan bersama orangtua selama bertahun-tahun. Bunyi mengunyah, mengetik, mengetuk, napas, dan denting sendok garpu adalah contoh-contoh sumber suara yang mengganggu sekali untuknya.

Mengenal Misofonia

Misofonia adalah gangguan yang diderita individu saat mendengar sejumlah bunyi-bunyian dalam keseharian. Umumnya, penderita misofonia mengalami kecemasan dan kemarahan saat mendengar bunyi-bunyian seperti yang telah disebutkan di atas. Rasa resah yang mereka alami potensial kerap terjadi karena bunyi-bunyian tersebut tidak terhindarkan atau sulit dikontrol ketika menjalani rutinitas.

Walaupun kendala saat beraktivitas sering ditemukan oleh para penderita misofonia, gangguan ini belum digolongkan dalam gangguan neurologi atau psikiatri, demikian dijelaskan oleh Kumar et. al. (2016) dalam tulisannya, “The Brain Basis for Misophonia”.

Karena masih dianggap remeh atau tidak membahayakan, orang-orang cenderung mengabaikan keresahan si penderita. Karenanya, ketika menghadapi situasi tidak nyaman karena bunyi-bunyian mengganggu, penderita biasanya memilih untuk meninggalkan tempat tersebut, sebagaimana dilakukan oleh Babcock dan 84 persen penderita misofonia lain yang diteliti Kumar et. al.

Selain Kumar et. al., Miren Edelstein dari University of California, San Diego, juga membuat studi khusus terkait misofonia. Dari situ ia menemukan, orang-orang dengan misofonia mengalami reaksi fisik seperti berkeringat saat mendengar bunyi mengganggu, contohnya mengunyah makanan. Lain halnya dengan saat mereka diperdengarkan bunyi-bunyian yang lebih lembut seperti bunyi hujan.

Selain berkeringat, menurut penelitian dalam jurnal Neuropsychiatric Disease and Treatment (2015), reaksi fisik yang muncul dalam diri penderita misofonia adalah ketegangan dan nyeri otot dada, lengan, atau seluruh tubuh, sakit kepala, tekanan darah tinggi, sesak napas, detak jantung tidak normal, dan hipertermia. Reaksi fisik yang kasatmata inilah yang menunjukkan bahwa mereka tidak sedang berbohong saat mengatakan dirinya terganggu dengan bunyi-bunyi tertentu.

Kasus khusus untuk misofonia disebut fonofobia (phonophobia). Dalam kondisi ini, seseorang akan merasa ketakutan luar biasa ketika mendengar bunyi spesifik, berbeda dengan reaksi misofonia secara general yang didominasi perasaan cemas, jijik, resah, marah, dan tertekan.

Baca juga: Keluar dari Bayang-Bayang Gangguan Kecemasan

infografik misophonia

Hal apa sebenarnya yang menyebabkan misofonia?

Para pakar medis belum begitu yakin penyebab pasti misofonia. Kendati demikian, Natan Bauman, penggagas Hearing, Balance, and Speech Center, mengatakan bahwa misofonia berkaitan dengan mekanisme tubuh saat menghadapi situasi-situasi tertentu.

Sering kali bunyi mengganggu bagi penderita misofonia berasosiasi dengan situasi bahaya. Misalnya, peristiwa kerusuhan pada 1998 yang melibatkan suara tembakan di Jakarta bisa membuat seseorang ketakutan luar biasa saat mendengar bunyi kembang api. Intinya, bunyi-bunyi tertentu bisa mempengaruhi kerja otak sehingga menimbulkan respons otomatis pada tubuh.

Dalam catatan misofonia Institute juga dipaparkan, gangguan ini sering ditemukan pada orang-orang dengan perilaku kompulsif atau memiliki rekam medis level kecemasan dan stres tinggi. Bisa saja hal-hal ini diturunkan secara genetis.

Peneliti juga menemukan, perubahan struktur pada otak bagian depan berdampak terhadap penderita misofonia. Kondisi abnormal pada otak ini mempengaruhi mekanisme kontrol emosi seseorang sehingga sering kali mereka merasa cemas, marah, atau resah saat mendengar bunyi-bunyi tertentu.

Sejumlah upaya dapat dilakukan untuk mereduksi gangguan yang dialami penderita misofonia. Tinnitus retraining therapy (TRT) misalnya, bisa dijalani supaya penderita dapat lebih menoleransi bunyi mengganggu yang ditemukannya. Pendekatan psikologi seperti cognitive behavioral therapy juga bisa dilakukan untuk menggeser pikiran dan emosi negatif yang muncul dalam diri penderita.

Cara yang lebih sederhana seperti menggunakan earphone untuk mendengarkan bunyi-bunyi menenangkan dapat pula menjadi solusi alternatif bagi penderita agar perhatiannya kepada bunyi-bunyi mengganggu teralihkan.

Baca juga artikel terkait POLUSI atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani