tirto.id - Pagi hari sekitar jam 7 di Jakarta, sekumpulan orang berdiri di tepi jalan. Lelaki, perempuan, remaja, orang tua, anak-anak, ada pula seorang ibu atau ayah yang menggendong anaknya. Setiap ada mobil yang lewat, tangan mereka diacungkan ke udara.
Mereka yang sendiri mengacungkan jari telunjuk membentuk angka satu. Mereka yang menggendong anaknya, menunjukkan telunjuk dan jari tengahnya, memberi tanda angka dua. Mereka bukan sedang menunggu metromini, kopaja atau angkutan umum lainnya. Bukan pula sedang mencari tumpangan. Di Jakarta, mereka akrab disapa joki three in one.
Mereka adalah penyelamat bagi mobil-mobil berpenumpang kurang dari tiga orang tetapi harus melewati jalur mobil berpenumpang tiga orang. Para joki akan menerima imbalan atas jasanya.
Jadi, hal baik dari kebijakan three in one adalah mampu menciptakan lapangan pekerjaan dan sumber penghasilan baru. Apakah berhasil mengurai kemacetan? Tentu saja tidak, sebab di jam-jam pergi dan pulang kerja, jalur-jalur three in one tetap padat merayap.
Dinilai tak berhasil, kebijakan three in one ini resmi dihapus Mei 2016 lalu. Pemerintah provinsi DKI Jakarta berharap pada kebijakan ganjil genap. Jadi akan ada hari khusus untuk pelat ganjil atau genap di jalur-jalur yang tadinya menjadi jalur three in one.
Misalnya, hari Senin adalah hari untuk pelat genap. Maka mobil-mobil dengan pelat ganjil tak boleh melewati sejumlah ruas jalan di jam-jam tertentu. Mobil-mobil ini tentu saja masih boleh berlalu lalang di ruas jalan yang lain.
Adapun ruas jalan yang terkena aturan baru ini adalah Jalan MH Thamrin, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Sisingamangaraja, Jalan Merdeka Barat, dan sebagian Jalan Jenderal Gatot Soebroto. Aturan ini tentu tak berlaku sepanjang hari. Ia hanya setiap Senin hingga Jumat mulai pukul 07.00—10.00 WIB dan mulai 16.00—20.00 WIB. Sementara hari Sabtu, Minggu, dan hari libur nasional, semua pelat bebas berkeliaran di seluruh jalan Jakarta.
Uji coba aturan baru ini akan dimulai pada 27 Juli hingga 26 Agustus nanti. Lalu pada 30 Agustus, kebijakan ini akan mulai berlaku secara efektif.
Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta Andri Yansyah menyebutkan aturan ini merupakan aturan transisi sebelum implementasi sistem jalan berbayar elektronik atau Electronic Road Pricing (ERP).
Kebijakan ganjil genap sebenarnya bukan barang baru. Ia sudah menjadi wacana dan rencana sejak Joko Widodo masih memimpin Jakarta. Hanya saja, waktu itu Jokowi dinilai terlalu gegabah jika langsung menerapkan kebijakan ini tanpa ada perbaikan signifikan pada angkutan umum.
Sampai 2014, ada 3,2 juta mobil penumpang di Jakarta. Ini masih angka di Jakarta, belum Tangerang, Depok, Bogor, dan Bekasi yang biasanya juga masuk wilayah Jakarta. Kalau kebijakan ganjil-genap diterapkan, dan diasumsikan persentase pelat ganjil dan genap adalah 50:50, maka setidaknya ada 1,6 juta orang yang akan menambah angka pengguna angkutan umum—jika mereka memilih menggunakan angkutan umum.
Tanpa tambahan itu saja, penumpang angkutan umum di jam-jam sibuk sudah membludak. Desak-desakan di dalam kereta listrik atau bus TransJakarta tak bisa dihindari. Sampai saat ini, saat aturan ini akan segera diterapkan, Jakarta belum memiliki alternatif angkutan umum massal lainnya.
Mudah Dikelabui
Beberapa waktu lalu bereda video di media sosial. Video itu menunjukkan teknologi memutar balik pelat mobil. Jadi, bisa disesuaikan dengan hari-hari sesuai aturan yang berlaku. Cara itu tentu bertentangan dengan hukum, tetapi masyarakat tentu tak akan berhenti mencari cara mengelabui sebuah aturan.
Pengawasan akan pelat ganjil atau genap di jalanan Jakarta yang begitu padat tentu sebuah pekerjaan berat bagi pihak kepolisian. Satu-satunya cara bagi mereka untuk membuktikan pelat yang digunakan tidaklah palsu adalah dengan cara memeriksa kecocokan pelat dengan surat tanda nomor kendaraan (STNK).
Di jam-jam sibuk, saat jalanan padat dan penuh kendaraan, polisi tentu tak punya waktu untuk memeriksa STNK setiap kendaraan yang lewat. Kalaupun polisi punya waktu dan melakukan hal itu, maka kemacetan akan semakin menggila.
Bagi mereka yang tak punya uang untuk membeli mobil baru dengan pelat berbeda, mengelabui dengan pelat palsu kemungkinan akan ditempuh. Tetapi bagi orang-orang kaya, mereka tinggal datang ke showroom dan beli mobil baru.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai kebijakan ganjil genap ini adalah sebuah langkah mundur. Ketua YLKI Tulus Abadi melihat ada begitu banyak kekurangan dari aturan ini, salah satunya adalah sulitnya teknis pengawasan.
Sulitnya pengawasan ini membuat potensi pelanggarannya sangat tinggi. Bukan hanya pemalsuan pelat yang dikhawatirkannya, tetapi bisnis pelat nomor polisi antara oknum polisi dengan konsumen. Jangan sampai joki three in one hilang, muncul joki pelat mobil.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti