tirto.id - Desas-desus rencana pembunuhan terhadap Archduke Franz Ferdinand dan istrinya, Sophie, saat berkunjung ke Sarajevo, Bosnia, santer terdengar dan menjadi perbincangan banyak orang di lingkungan istana. Tidak sedikit orang terdekatnya yang menyarankan agar pewaris takhta Kekaisaran Austria-Hongaria itu membatalkan perjalanan demi keselamatan.
Namun, alih-alih mendengarkan nasihat dan berdiam diri di istana, ia justru tetap melanjutkan perjalanan resminya ke Sarajevo. Pada 23 Juni 1914, rombongan berangkat dari Wina menempuh perjalanan lebih dari 500 km. Franz Ferdinand tampaknya memahami bahwa nyawanya terancam tatkala berkunjung ke wilayah yang sedang memanas itu. Tetapi di sisi lain ia juga harus mengunjungi rakyatnya di sana sebagai bentuk tanggung jawab seorang pemimpin.
Setelah menempuh perjalanan selama beberapa jam, ia sampai di Sarajevo dan langsung mengunjungi barak-barak militer, panti asuhan, pasar, dan restoran. Pada awal kunjungan, situasi masih aman dan terkendali. Namun, pada 28 Juni 1914, tepat hari ini 107 tahun lalu, situasi mendadak berubah.
Pada pukul 10.10, rombongan mobil yang ditumpangi Franz Ferdinand dilempari bom oleh gerombolan pemuda tak dikenal. Meski tidak melukai Ferdinand dan istrinya, tapi para petugas yang menyertainya roboh dan harus dibawa ke rumah sakit. Entah apa yang ada dipikiran Ferdinand, meski beberapa menit sebelumnya hampir dijemput maut, ia malah tetap melanjutkan acaranya di balai kota lalu hendak mengunjungi petugas yang terluka di rumah sakit. Satu jam berselang sejak acara di balai kota, Ferdinand meluncur pun ke rumah sakit.
Dalam perjalanan itu mobil yang ditumpanginya mendadak berhenti akibat salah jalan. Pada saat itulah ia dan istrinya meregang nyawa. Pukul 11.30, seorang pemuda tak dikenal melepaskan dua kali tembakan. Peluru menghunjam leher Ferdinand dan melukai perut Sophie. Keduanya langsung tumbang bersimbah darah dan dinyatakan meninggal di tempat beberapa menit setelahnya. Sementara pelaku penembakan segera ditangkap.
Ketika Ferdinand tewas dibunuh, tensi politik di Eropa yang sedang menghangat seketika memanas. Kekaisaran Austria-Hungaria marah besar dan menuduh Serbia sebagai dalang pembunuhan. Kedua negara yang berafiliasi dengan kekuatan-kekuatan politik-militer utama Eropa—Austria-Hongaria didukung Jerman, Serbia didukung Rusia, Prancis, Inggris—lantas bersitegang. Selama sebulan, keduanya saling lempar tanggung jawab sampai akhirnya terjadi gerakan mobilisasi tentara oleh kedua negara dan para pendukungnya. Berawal dari sini, kedamaian di Eropa runtuh. Perang Dunia I pun segera dimulai.
Otak di Balik Penyerangan
Pelaku yang menewaskan Ferdinand menjadi saksi kunci untuk pengembangan kasus. Pemuda itu bernama Gavrilo Princip, berusia 19 tahun, anggota organisasi Bosnia Muda—organisasi revolusioner penyatuan Bosnia dan Serbia. Setelah itu, tersangka lainnya terungkap, yaitu Nedeljko Abrinovi, Cvjetko Popovi, Trifko Grabež, dan Muhamed Mehmedbašić.
Menurut sejarawan pemerhati Perang Dunia I, Luigi Albertini, dalam Origins of The World War 1914 (1953), motif Gavrilo Princip--seturut kesaksiannya di pengadilan pada oktober 1914--murni sebagai bentuk aksi nyata dari perjuangan organisasinya untuk menyatukan Slavia Selatan dan memisahkan diri dari Austria-Hongaria. Namun, kesaksiannya itu diabaikan oleh pengadilan yang bersikukuh bahwa terdapat campur tangan militer Kerajaan Serbia. Akhirnya, pengadilan menjatuhi hukuman 20 tahun penjara dan meminta militer Kerajaan Serbia bertanggung jawab atas aksi terorisme yang menewaskan Franz Ferdinand.
Usai persidangan, aktor intelektual di balik pembunuhan itu mengerucut pada Black Hand--organisasi rahasia para perwira Angkatan Darat Kerajaan Serbia. Organisasi ini dibentuk untuk memperjuangkan penyatuan wilayah yang mayoritas beretnis Slavia Selatan ke dalam satu wilayah tunggal.
Dugaan ini semakin kuat ketika terungkap fakta bahwa Princip dan kawan-kawan dilatih terlebih dahulu oleh Danilo Illić, gerilyawan dari organisasi tersebut. Black Hand melalui tokoh kuncinya, yakni Dragutin Dimitrijević alias Apis, membuat skenario dan mensponsori pembunuhan terhadap salah satu tokoh penting dari Kekaisaran Austria-Hongaria.
Dalam Apis, the Congenial Conspirator: the Life of Colonel Dragutin T. Dimitrijević (1983: 123-138), sejarawan David MacKenzie menjelaskan bahwa rencana awal pembunuhan tokoh penting kekaisaran Austria-Hongaria itu sudah dirancang oleh Apis sejak tahun 1912. Awalnya ia ingin membunuh Kaisar Austria, Franz Joseph. Namun karena kaisar sudah menunjuk pewaris takhta yakni Franz Ferdinand, maka Ferdinand yang menjadi sasarannya.
Apalagi jika kelak Ferdinand naik takhta, maka masalah Slavia Selatan diduga kuat tidak akan terselesaikan. Maka itu, membunuh Franz Ferdinand adalah langkah terbaik untuk membuat keadaan domestik kembali damai. Pada saat yang bersamaan, rencana pembunuhan ini diketahui oleh Perdana Menteri Serbia, Nikola Pašić (1912-18).
Pašić dengan tegas menolak gagasan Apis. Sebagai PM Serbia, Pašić memandang rencana ini dari sudut pandang politik. Baginya, jika benar terjadi pembunuhan terhadap petinggi Austria-Hongaria, maka akan jadi malapateka bagi Serbia. Hal ini karena pasti Austria-Hongaria akan mendeklarasikan perang melawan negara yang dipimpinnya dan otomatis mengganggu stabilitas politik domestik.
Sementara bagi Apis yang berlatar militer, pendapat atasannya itu tidak sesuai dengan keinginannya untuk menyelesaikan masalah dengan cara revolusioner. Maka itu, Apis dan rekannya segera melakukan rencana pembunuhan yang terorganisasi. Sejak saat itu mereka menyusun konspirasi dan juga mencari eksekutor untuk melaksanakan pembunuhan. Pada tahap pencarian inilah salah seorang rekan militernya, Vladimir "Vlado" Gaćinović, bertemu dengan pemuda bernama Gavrilo Princip di Beograd, Serbia.
“Alasan kuat yang melatari direkrutnya Princip oleh Gaćinović dan Apis ialah karena Princip memiliki pribadi yang penuh tekad, dapat diandalkan, dan mampu melaksanakan rencana,” tulis David MacKenzie.
Sejak saat itulah Princip diperintahkan untuk menyusun rencana pembunuhan bersama Danilo Illić--rekan Apis sekaligus mentor pembunuhan Princip. Keputusan untuk menyerahkan rencana pembunuhan kepada Princip tentu saja dapat dipandang sebagai langkah Apis untuk menghilangkan jejak.
Setelah itu, Princip dan Illić berupaya mencari rekan tambahan yang berlatar sipil dan mencari pasokan senjata, seperti granat dan pistol. Sedangkan Gaćinović terus memberikan propaganda dan semangat kepada Princip agar tidak mengurungkan niat pembunuhan. Akan tetapi, rancangan pembunuhan terus berubah.
Menurut Ivor Roberts dalam artikel “The Black Hand and The Sarajevo Conspiracy” yang dipublikasikan dalam Balkan Legacies of The Great War (2016: 23-42), pada tahun 1913 terjadi perubahan target pembunuhan. Princip sadar, membunuh Ferdinand adalah langkah yang sulit. Alhasil ia memutuskan untuk memilih membunuh gubernur Bosnia, Jenderal Potiorek.
Tidak lama berselang, perubahan sasaran pembunuhan kembali berubah ketika memasuki pertengahan 1914. Princip saat itu mendapat kabar bahwa Franz Ferdinand akan berkunjung ke Sarajevo untuk mengecek kesiapan militer. Hal ini menjadi momentum bagi Princip untuk segera membunuhnya.
Princip dan rekan eksekutor lainnya segera berangkat ke Sarajevo untuk melaksanakan pembunuhan. Dan akhirnya pada 28 Juni 1914, mereka sukses membunuh Ferdinand. Lalu, bagaimana nasib Apis setelah pembunuhan? Ia lolos dalam kasus ini. Namun, dalam pengadilan yang digelar otoritas Austria-Hongaria pada tahun 1917, Apis didakwa hukuman mati atas berbagai kasus palsu yang dibuat oleh pemerintah.
Editor: Irfan Teguh Pribadi