Menuju konten utama

Francisca Fanggidaej, Revolusioner Indonesia yang Terlupakan

Francisca Fanggidaej adalah satu dari sekian banyak orang yang tidak bisa pulang ke Indonesia pada 1965 karena perubahan tiba-tiba situasi politik.

Francisca Fanggidaej, Revolusioner Indonesia yang Terlupakan
Header Mozaik Belanda Hitam. tirto.id/Tino

tirto.id - Pagi tanggal 1 Oktober 1965 bukan pagi yang biasa bagi tujuh anak pasangan Francisca Fanggidaej dan Suripyo. Saat mereka tengah bermain di dalam rumah, muncul kegaduhan dari arah luar dan bahkan terdengar teriakan, “Keluar! Keluar!”

Anak ke-5, Savitri Sasanti Rini, bercerita kepada BBC Indonesia bahwa setelah itu, ayahnya, seorang jurnalis kantor berita Antara, ditangkap gerombolan yang ternyata tentara tersebut. “Kami hanya bisa menangis [seraya setengah berteriak], 'bapak, bapak, bapak kenapa'?”

Setelah belasan tahun kemudian barulah Rini tahu bahwa ayahnya ditahan karena pilihan politik ibunya, yang beberapa hari sebelum peristiwa itu--dikenal dengan sebutan Gestok atau G30S--melawat ke beberapa konferensi internasional sebagai perwakilan Indonesia. Karena peristiwa itu pula Francisca tidak dapat kembali ke tanah air.

Siapakah perempuan bernama lengkap Francisca Casparina Fanggidaej ini? Apa yang menyebabkan dirinya mengalami nasib demikian?

“Belanda Hitam”

Francisca Fanggidaej lahir pada 16 Agustus 1925 sebagai anak keempat dari pasangan Gottlieb Fanggidaej dan Magda Mael. Francisca adalah seorang “Belanda Hitam”, sebagaimana yang dia katakan sendiri dalam buku yang ditulis oleh Hersri Setiawan, Memoar Perempuan Revolusioner (2006).

Dalam hukum kolonial, Francisca berstatus gelijkgesteld atau disetarakan dengan golongan masyarakat Belanda. Status ini didapat karena ia diakui sebagai anak biologis bapaknya yang adalah Belanda (ibunya berasal dari Timor Timur). Ayahnya bekerja sebagai pengawas (hoofdopzichter) di Burgerlijke Openbare Werken (BOW)–semacam dinas pekerjaan umum.

Tidak heran jika keluarga Francisca mendapat fasilitas yang lebih dibandingkan dengan pribumi. Status gelijkgesteld juga membuat Francisca lekat dengan kebudayaan Belanda dan menjadikan bahasa Belanda sebagai bahasa sehari-hari.

Mengikuti tempat kerja ayah yang kerap berpindah, tempat belajar Francisca juga berbeda-beda kota. Dia belajar pendidikan dasar di ELS Madiun dan melanjutkan ke MULO serta HBS di Malang. Dia mendapat gelar “diploma darurat” sebab sekolah-sekolah Belanda ditutup ketika Jepang menyerang.

Bertambahnya usia dan pengalaman membuat Francisca lebih banyak berpikir tentang apa yang terjadi di sekelilingnya. Meski menyandang status “Belanda Hitam”, ia merasa terasing di tengah orang-orang Belanda. Sebagai contoh, teman-teman Belandanya tidak pernah mengundang Francisca untuk bermain padahal dia sering melakukan itu. Karena itu dia mulai mendekati golongan Indo. Menurutnya, golongan Indo dapat menerimanya dengan “kemurahan hati”. Hal itu didasari atas persamaan nasib diterima oleh masyarakat Belanda.

Francisca juga mengalami konflik batin ketika menyadari bahwa dia diperlakukan secara berlebihan dari para “kuli” dan mandor yang bekerja di bawah perintah ayahnya. Konflik batin tersebut pada akhirnya membuat Fransisca sadar bahwa “status gelijkstelling tidak lain ialah status untuk bisa berwatak menjadi penindas.”

Aktif Berorganisasi

Tahun 1942, Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang. Seketika segalanya berubah bagi banyak orang, tak terkecuali Francisca. Kegetiran menggantikan segala kemudahan hidup dalam keluarganya, apalagi sang ayah meninggal tak lama setelah Jepang masuk. Saat itu mereka tinggal di di Jalan Slamet, Surabaya, belakang kantor Kaigun atau angkatan laut Jepang.

Francisca tidak diizinkan oleh ibunya untuk bersekolah kecuali di Nippon-go Gakko (sekolah bahasa Jepang)--diwajibkan oleh penguasa saat itu. Untuk menyambung hidup, keluarga Fanggidaej berdagang kue-kue, sabun, dan pasta gigi yang dibuat oleh sang ibu. Francisca berperan menawarkan barang-barang itu dari rumah ke rumah menggunakan sepeda. Inilah alasan terkuatnya untuk keluar rumah selama masa pendudukan Jepang.

“Selama tiga tahun, kalau tidak terlalu perlu, aku tidak mau keluar rumah,” katanya. Hal ini tentu saja karena status “Belanda Hitam” yang melekat padanya, yang fungsi sosialnya telah hilang bahkan menjadi bumerang. Dia juga trauma karena kakaknya hilang setelah ditipu akan dikirim untuk sekolah di Tokyo.

Berdagang ternyata tak hanya berguna untuk menyambung hidup, tapi juga membuka kesadaran politik Francisca.

Hal ini bermula dari pintu rumah keluarga Dr. Siwabessy yang senantiasa terbuka untuk Francisca saat menawarkan dagangan. Sering kali ia dapati para intelektual muda Maluku berkumpul di rumah tersebut. Mereka saling bertukar pikiran dan membicarakan segala hal yang terkait dengan politik. Francisca turut serta dalam arus perkumpulan tersebut dan mengantarkannya sebagai anggota Pemuda Indonesia Merdeka (PIM).

Tidak heran jika Francisca menyatakan bahwa Dr. Siwabessy merupakan guru politiknya. Seorang lagi yang sering ada di rumah tersebut, Sam Malessy, menjadi mentor Francisca belajar bahasa Indonesia.

Mengutip Norman Joshua Soelias dalam Pesindo: Pemuda Sosialis Indonesia 1945-1950 (2016), pascaproklamasi, PIM melebur ke dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI). PRI lalu turut serta dalam Kongres Pemuda I di Yogyakarta pada 8-10 November 1945. Orang yang diutus tidak lain adalah Francisca. Di ujung pertemuan, tujuh organisasi, termasuk PRI, berfusi menjadi Pesindo.

Francisca terlibat di Badan Penerangan DPP Pesindo. Dia juga aktif di Badan Keputrian Pesindo. Tidak berhenti di situ, bersama Maruto Darusman, Francisca bertanggung jawab dalam siaran berbahasa Belanda dan Inggris di Radio Gelora Pemuda milik Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI) yang bekerja sama dengan radio Pesindo di daerah-daerah.

Sebagai bagian dari DPP Pesindo, Francisca mendapat pendidikan di asrama bernama Marx House. Sebagaimana dia tuturkan dalam Memoar Perempuan Revolusioner (2016), pelajaran utama yang didapat adalah tentang marxisme-leninisme dan sesekali sejarah gerakan rakyat. Di Marx House inilah Francisca pertama kali mendengar istilah “sama rasa-sama rata”--diperkenalkan oleh Mas Marco Kartodikromo.

Pada 1947-1948, Francisca turut hadir dalam konferensi pemuda berskala internasional yang diadakan oleh World Federation of Democratic Youth (WFDY). Pertama sebagai anggota Pesindo dalam The 1st World Youth and Student Festival yang berlangsung di Praha pada Juli 1947; kedua sebagai wakil BKPRI dalam Konferensi Kalkuta pada 17 Februari 1948.

Dalam dua kongres pemuda internasional tersebut, Francisca bersama pemuda lain melakukan advokasi penghentian perang yang terjadi di Indonesia dan mengecam aksi-aksi imperialisme Barat. Tidak lupa, di hadapan para hadirin kongres, ia berkata: “Renville adalah pengkhianatan terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa yang terjajah! Tidak saja Indonesia!”

Ketika kembali ke Indonesia, karena keterlibatan Pesindo di Madiun Affair pada tahun 1948, Francisca dijebloskan ke penjara di Gladak, Surakarta. Ia dapat lolos dari hukuman mati karena sedang hamil. Nasib berbeda dialami suami pertamanya, S. Karno. Dia dihukum mati bersama Amir Sjarifuddin dan tokoh-tokoh kiri lainnya.

Pesindo sendiri mengalami kemunduran pasca Madiun Affair. Mereka bahkan tidak diperkenankan menghadiri Kongres Pemuda Seluruh Indonesia ke-III pada 1949 di Yogyakarta.

Memasuki tahun 1950, nama Pesindo berganti menjadi Pemuda Rakyat berdasarkan resolusi kongres ke-III pada 4-12 November 1950. Selain berganti nama, mereka juga menyatakan sebagai organisasi sayap Partai Komunis Indonesia (PKI). Di organisasi baru ini Francisca menjabat sebagai Pemimpin Umum II, sementara Pemimpin Umum I adalah Ir. Setiadi.

Keterlibatannya dalam Pemuda Rakyat hanya bertahan selama empat tahun. Selanjutnya, masih merujuk Soelias (2016), Francisca bergabung dalam Organisasi Internasional Setiakawan Rakyat Asia Afrika (OISRAA), Komite Perdamaian (World Peace Council), dan, meski tidak aktif, tercatat tercatat sebagai anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang juga dekat dengan PKI.

Infografik Mozaik Belanda Hitam

Infografik Mozaik Belanda Hitam. tirto.id/Tino

Menjadi Eksil

Menjelang tahun 1955, Francisca bekerja sebagai wartawan lepas di kantor berita Antara. Di sana dia kerap diminta mewawancarai tokoh-tokoh luar negeri, salah satunya Jamilah, pahlawan perempuan dalam perang kemerdekaan Aljazair. Francisca turut pula meliput Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang berlangsung pada 18-24 April 1955. Masih di tahun yang sama, ia menjabat redaktur pelaksana Indonesian National Press Service (INPS).

Dia meninggalkan pekerjaan wartawan dua tahun kemudian, setelah diangkat menjadi anggota DPR-GR cum anggota MPRS. Francisca menjadi anggota parlemen bukan diusung partai, melainkan sebagai wakil golongan (jurnalis). Di DPR-GR, Francisca duduk di Komisi Luar Negeri di bawah pimpinan Manai Sophiaan.

Di komisi tersebut ia menangani masalah Timor Timur yang saat itu masih menjadi wilayah jajahan Portugal. Setelah mengetahui kondisi yang terjadi di Timor Timur, ia mengajukan interpelasi kepada pemerintah RI. Interpelasi tersebut akhirnya disetujui oleh DPR-GR dan ditindaklanjuti Departemen Luar Negeri dengan bantuan keuangan dan penampungan pelarian politik. Interpelasi tersebut menjadi media untuk menurunkan ketegangan politik antara Portugal dengan Indonesia pada waktu itu, katanya dalam Memoar Perempuan Revolusioner (2016).

Pada tahun 1964, Francisca sebenarnya termasuk dalam rombongan penasihat Presiden Sukarno di Konferensi Asia-Afrika ke-III. Namun konferensi tersebut batal dilaksanakan. Dia kemudian menghadiri Konferensi Perdamaian Dunia di Helsinki pada 1965. Tidak lama setelah itu, pada 28 Oktober 1965, Francisca berangkat menuju Cile untuk menghadiri Kongres Organisasi Jurnalis Internasional.

Sejak saat itulah ia tidak dapat kembali ke Indonesia dan harus berpisah dengan suami dan anak-anaknya. Keselamatan menjadi pertimbangan baginya untuk tetap berada di luar negeri. Indonesia pada akhirnya hanya menjadi fatamorgana.

Meski demikian, ia tetap berupaya untuk melawan ketidakadilan dan penindasan yang terjadi di negaranya. Dia misalnya menghadiri Konferensi Trikontinental di Havana, Kuba. Konferensi itu membicarakan apa yang terjadi di Indonesia. “Konferensi Trikontinental berhasil mengeluarkan suatu dokumen yang mengutuk para jenderal yang tangannya berlumuran darah puluhan ribu rakyat Indonesia tak bersalah,” ujarnya dalam Penilaian Terhadap Masa Kini Atas Dasar Pengalamanku Masa Lampau (2005).

Setelah paspornya tidak lagi diakui pemerintah Orde Baru, pasca menghadiri Konferensi Trikontinental, Francisca tinggal sementara di Kuba. Selanjutnya, berbekal paspor sementara dari Fidel Castro, ia menetap di Tiongkok selama 20 tahun. Memasuki tahun 1985, Perempuan revolusioner tersebut memilih Belanda sebagai tempat pengembaraan hidup berikutnya, hingga mengembuskan napas terakhir pada 13 November 2013.

Baca juga artikel terkait EKSIL atau tulisan lainnya dari Andika Yudhistira Pratama

tirto.id - Politik
Kontributor: Andika Yudhistira Pratama
Penulis: Andika Yudhistira Pratama
Editor: Rio Apinino