tirto.id - “Lupakan tahun 2019, anggap saja tahun ini tidak pernah terjadi,” ucap Gunther Steiner, Team Principal Haas F1 Team, dalam seri dokumenter Formula 1: Drive to Survive musim kedua, yang tayang di Netflix, Februari lalu.
Steiner kesal. Tim yang diasuhnya, Haas F1, yang dimiliki konglomerat asal Amerika Serikat bernama Gene Haas, gagal bersinar pada kalender 2019 Formula 1. Pada akhir musim 2019, Haas menempati posisi sembilan, alias berada di posisi kedua dari buncit sebagai konstruktor. Haas hanya mengantongi 28 poin, kalah jauh juara musim 2019 dibandingkan Mercedes dengan 739 poin.
Tentu, karena juara hanya ada satu di tiap kompetisi, bukan hanya Steiner yang kesal atas capaiannya. Christian Horner, Team Principal Red Bull Racing, bernasib sama. Dengan hanya mengantongi 417 poin, Red Bull gagal berjaya di 2019. Selain kalah dari Mercedes, “Banteng Merah” pun tak bisa lebih baik dari Ferrari. Maka, masih merujuk tayangan Netflix itu, Horner berjanji tahun 2020 akan menjadi salah "satu tahun terbesar dalam sejarah Formula 1”. Red Bull bertekad menjadi juara dunia.
Sialnya, nasib berkehendak lain. Steiner, Horner, dan siapapun yang terlibat dalam dunia F1 tampaknya tidak akan berjaya di kalender balapan 2020. SARS-CoV-2, virus di balik wabah COVID-19 memporak-porandakan balapan. Sejak keluarnya instruksi hampir setiap pemimpin negara di dunia untuk meminta rakyatnya tetap tinggal di rumah demi mencegah penyebaran Corona, F1 batal mengaspal. Nampaknya Steiner perlu menambahkan pernyataannya di muka: semua orang di F1 nampaknya harus “melupakan tahun 2020”.
Namun, F1 tidak mau menyerah untuk mengaspal pada 2020. Di sirkuit nyata, jelas balapan sukar dilakukan karena Corona. Maka, F1 kemudian memindahkan balapannya, dari nyata menjadi maya. Berbekal video game komputer berjudul “F1 2019,” yang dibuat pengembang video game Codemaster, lahirlah: F1 ESports Virtual Grand Prix. Mengelaborasi janji Horner, turnamen virtual F1 ini nampaknya akan menjadi sejarah tersendiri dari ajang balapan yang telah dimulai sejak tahun 1950 silam.
Meninggalkan yang Nyata, Menuju Maya
Hingga minggu ketiga April 2020, F1 Esports Virtual Grand Prix 2020 telah melangsungkan tiga seri balapan, yang jadwal balapannya disesuaikan dengan jadwal balapan F1 sungguhan seandainya tidak ada wabah Corona. Di seri pertama, F1 Esports Virtual Grand Prix berlangsung di Bahrain. Di seri kedua, balapan dilangsungkan di Australia, menggantikan posisi Vietnam karena sirkuit negeri Ho Chi Minh itu belum terpasang di video game F1 2019. Lalu, Grand Prix Cina menyusul setelahnya.
Karena F1 Esports Virtual Grand Prix merupakan balapan virtual, dan beberapa pembalap F1 sungguhan tidak pernah bermain video game atau tidak memiliki perangkat PC memadai—bukan karena tidak mampu, tentu saja— bukan hanya pembalap F1 yang berlaga di ajang virtual ini. Pihak penyelenggara melakukan improvisasi, mengajak juga selebritis, bukan hanya pesohor TV, tapi juga media sosial dan “atlet” esports sungguhan. Maka, di seri perdana F1 Esports, warganet yang “mengendarai” Renault jadi juara. Tapi, di seri kedua dan ketiga, pembalap betulan F1, Charles Leclerc asal Ferrari, jadi kampiun.
Selain Leclerc, pembalap F1 betulan lain yang membalap di ajang virtual ini adalah Alex Albon, George Russell, Lando Norris, Nicholas Latifi, dan Antonio Giovinazzi.
Sementara itu, Lewis Hamilton, Max Verstappen, dan Sebastian Vettel, yang di ajang F1 sungguhan selalu saling bergantian naik podium—tidak seperti pembalap F1 yang ikutan balapan virtual itu— memilih tidak ikut serta dengan alasan berbeda-beda. Hamilton, sebagaimana diwartakan Essentially Sports, tidak membalap di aspal maya karena faktor sponsor. Hamilton terikat kontrak dengan video game lain berjudul Gran Turismo. Verstappen tidak ikut serta terjadi dan mengaku tidak pernah bermain video game F1. Vettel, di lain sisi, mengaku tidak memiliki peralatan yang memadai untuk berpartisipasi.
Dalam setiap serinya, balapan F1 Esports Grand Prix menyajikan kebut-kebutan selama 28 putaran (laps), yang pada tiap lintasan panjangnya dikurangi hingga 50 persen. Jika diperkirakan, tiap seri F1 esports ini berlangsung selama sekitar satu jam.
Bagai F1 sungguhan, setiap seri ditayangkan televisi. Sky Sports, stasiun berlangganan asal Inggris, menjadi pemegang hak siar. Selain itu, tayangan F1 esports juga disiarkan secara langsung di laman resmi F1, F1.com, kanal media sosial mereka di Youtube, Twitch, dan Facebook, serta di kanal resmi milik masing-masing pembalap.
Secara umum, F1 esports terhitung sukses. Di kanal Twitch milik Norris, ada sekitar 70.000 orang yang menyaksikan adu balap virtual itu. Di kanal McLaren, balapan virtual disaksikan hingga 175.000 pasang mata.
Sebagaimana diwartakan The Verge, Parker Kligerman, pembalap NASCAR yang kompetisinya pun akhirnya mengaspal di sirkuit virtual, menyebut alasan mengapa balapan virtual laku ditonton karena sesungguhnya balapan nyata dan virtual “memiliki kemiripan kemampuan yang harus dipertunjukkan”.
“Esport sesungguhnya memiliki keterikatan paralel dengan dunia nyata,” tegasnya. “Banyak pembalap betulan yang bermain balapan virtual dalam keseharian mereka (tidak cuma saat pandemi melanda). Balapan virtual, entah bagaimana, membantu kami sebagai pembalap sungguhan.”
Di sisi lain, Julian Tan, Head of Digital Business Initiative and Esports F1, dalam keterangan resminya di laman F1, menyebut bahwa balapan virtual F1 dijalankan untuk “memberikan sedikit harapan di masa yang suram ini. Dengan diadakannya balapan virtual, kami berharap dapat menghibur para pecinta F1 yang kehilangan acara-acara olahraga karena Corona,” lanjutnya.
“Ini,” tegas Tan, “adalah saat yang tepat melihat manfaat sesungguhnya dari esports.”
James Hodge, Chief Technical Advisor Splunk, perusahaan analisis yang menjadi mitra McLaren, membeberkan manfaat sesungguhnya dari esports bagi pembalap sungguhan. “Video game itu menghasilkan banyak data, dan mengirimkannya sebanyak 60 kali per detik,” tulisnya di laman resmi McLaren Data-data itu, termasuk bagaimana pembalap merespons kecepatan, menghadapi tikungan, dan sebagainya.
Ketika dikombinasikan dengan alat bermain video game khusus, tingkah laku pembalap selama membalap virtual dapat dibaca. Lalu, data-data yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bekal untuk balap sungguhan.
“Lebih banyak data soal bagaimana pembalap bersiap dan terjun di aspal balapan merupakan kekuatan yang sangat berharga,” tulis Hodge.
F1 tidak sendirian beralih ke dunia virtual. Di berbagai belahan dunia, orang-orang dalam situasi karantina pun melarikan diri ke dunia video game. Kini bahkan muncul kampanye #PlayApartTogether, yang digalakkan pembuat game dan pemain game untuk bermain video game bersama dari rumah masing-masing.
Ray Chambers, Duta WHO untuk strategi global, sebagaimana dilaporkan USA Today, menyatakan bahwa video game “mampu menjangkau jutaan orang untuk menyampaikan pesan betapa pentingnya menurunkan tingkat penyebaran Covid-19.”
Senada, Amanda Taggart, Kepala Komunikasi Unity Technologies, perusahaan yang menciptakan engine atau kode dasar video game, yang dipakai hampir 50 persen game di dunia, seperti Angry Birds 2, Call of Duty: Mobile, Mario Kart Tour, Untitled Goose Game, Disco Elysium, hingga Wasteland 3 mengatakan bahwa “kita saat ini berada di posisi yang unik dan menantang karena virus Corona. Salah satu hal terpenting yang dapat dilakukan menurunkan tingkat kematian akibat Covid-19 adalah melakukan physical distancing” dan video game merupakan salah satu jawabannya.
Sebagaimana dilansir Mashable, Pemerintah Polandia bahkan merilis situs web Grarantanna yang menyediakan server dan bermacam video game seperti Minecraft agar anak muda mau tinggal di rumah sementara waktu.
Setelah keluar saran WHO dan pemerintah untuk bermain game, jumlah orang yang bermain video game meningkat selama pandemi Corona berlangsung. Steam, layanan distribusi video game, mengalami lonjakan pengguna, bahkan mencapai rekor. Tercatat, pada satu hari di bulan Maret, ada 22,67 juta pengguna Steam yang bermain video game. Rata-rata, ada sekitar 18,4 juta pengguna Steam setiap harinya di bulan ini, naik sekitar 13 persen dari bulan Januari lalu dan naik hingga 20 persen dibandingkan jumlah pengguna di bulan yang sama setahun lampau.
Twitch, layanan video yang menyiarkan orang-orang bermain game pun kebanjiran pengguna. Kala Corona menyerbu, pengguna Twitch meningkat 31 persen. Menurut Mike Vorhaus, Kepala Eksekutif Vorhaus Advisor, firma konsultasi startup dan video game, jumlah uang yang dihamburkan pengguna video game untuk membeli barang-barang virtual dalam video game meningkat hingga 40 persen.
“Tak diragukan lagi, orang-orang banyak menghabiskan waktu untuk bermain game, menggunakan waktu karantinanya untuk bermain game yang telah mereka miliki atau mencoba game baru,” kata Vorhaus, sebagaimana dilaporkan CNET.
“Video game,” tutur Bobby Kotick, Pemimpin Eksekutif Activision Blizzard, perusahaan di balik Call of Duty hingga Crash Bandicoot, “adalah platform sempurna karena sukses menghubungkan orang dengan kesenangan.”
Editor: Windu Jusuf