tirto.id - Selama ini, jukebox digadang sebagai gawai pemutar musik on-demand pertama di dunia. Bahkan, ada yang menganggapnya sebagai leluhur dari platform pemutar musik semacam Spotify. Namun, jukebox dan keturunannya yang paling mutakhir itu belum tentu eksis tanpa fonograf temuan Thomas Alva Edison.
Semula, menurut laman History, Edison tidak bermaksud mengembangkan gawai khusus yang dinamakan fonograf itu. Yang hendak dia bikin sebenarnya adalah alat untuk merekam transmisi kode morse yang digunakan dalam telegraf. Edison kemudian berpikir bahwa metode itu mungkin bisa juga diterapkan untuk merekam getaran diafragma pada telepon.
Maka Edison mulai merancang gawai yang bisa mentransfer getaran suara ke media perekam. Dia mengerjakan rancangan alat itu dengan bantuan teknisinya John Kreusi. Dalam eksperimen awalnya, Edison dan Kreusi menggunakan kertas parafin sebagai media perekamnya. Dia kemudian beralih memakai kertas timah hingga prototipenya selesai pada musim gugur 1877.
Pada 21 November 1877—tepat hari ini 144 tahun silam, si Penyihir dari Menlo Park itu mengumumkan temuannya itu sebagai piranti perekam sekaligus pemutar ulang suara.
Sebulan kemudian, tepatnya 22 Desember 1877, Edison mendemonstrasikan prototipe fonograf itu di hadapan redaksi Scientific American.Majalah sains tertua di Amerika Serikat itu lantas menerbitkan laporan, “Tuan Thomas A. Edison baru-baru ini mengunjungi kantor kami. Dia membawa sebuah mesin kecil ke meja redaksi dan memutarnya. Mesin itu menanyakan kabar kami, apakah kami suka fonograf tersebut… dan dengan hangat memberi ucapan selamat malam.”
Terbengkalai
Pada 19 Februari 1878, fonograf rancangan Edison itu terdaftar dalam US Patent No. 200.521.Kerry Segrave dalam bukunya Jukeboxes: An American Social History (2002) menyebut Edison kemudian menjual paten temuannya ini senilai $10.000. Dengan paten itu, dia bakal dapat royalti 20 persen dari hasil penjualan fonograf.
Pada masanya, fonograf Edison itu adalah gawai yang hebat. Namun, pengembangan dan pengaplikasiannya berjalan lambat. Sebagian sebabnya adalah ketidakmampuan Edison melihat potensi bisnisnya. Edison memang penemu yang hebat, tapi naluri bisnisnya begitu tumpul.
“Sejak awal, Edison dan teknisinyasadar alat itu bakal berguna untuk mereproduksi suara manusia. Tapi, mereka belum punya gagasan spesifik yang jelas untuk pengembangannya,” tulis Randall E. Stross dalam "The Incredible Talking Machine" yang terbit di Time.
Lagi pula, setelah dapat hak paten, Edison segera tenggelam pada eksperimen-eksperimen baru yang berujung pada penemuannya yang paling terkenal: lampu pijar.
Fonograf pada mulanya dimanfaatkan untuk mengatasi masalah terkait pemungutan suara di Kongres dan lembaga legislatif lain. Hasil rekaman fonograf membuat proses tabulasi suara anggota dewan dapat dihemat beberapa jam. Tapi, anggota dewan merespon dingin inovasi tersebut karena menghilangkan kesempatan untuk melakukan lobi politik.
Edison tidak melakukan apa pun untuk memaksimalkan potensi fonograf itu sampai setidaknya sepuluh tahun setelahnya. Lalu, alat yang disebut-sebut sebagai versi mutakhir fonograf muncul pada 1883. Para perancangnya, yaitu Chichester A. Bell—sepupu Alexander Graham Bell—dan Charles Summer, menyebut alat itu grafofon alias mesin berbicara. Setelah itu, barulah Edison tergerak untuk menyempurnakan fonografnya.
Persaingan antara Edison dan duet Bell-Summer itu kemudian dilirik seorang pebisnis bernama Louis T. Glass. Bersama rekannya William S. Arnold, Glass kemudian menerapkan kemampuan fonograf untuk memutar ulang musik yang direkamnya. Maka lahirlah piranti baru yang dinamai jukebox pada 1889.
Cara kerja “kotak musik” itu sederhana: ia akan memutar musik jika seseorang memasukkan koin ke dalamnya. Kira-kira mirip seperti cara penggunaan telepon umum.
Pada tahun yang sama, Edison akhirnya meluncurkan produk fonograf yang telah disempurnakannya. Fonograf “baru” itu rupanya masihlah mesin pendikte dan alat perekam pidato. Tapi, setidaknya ia mampu memutar rekaman musik dengan indah.
“Para investor lalu mencoba meyakinkan Edison bahwa fonograf dapat dipasarkan untuk tujuan hiburan, tapi dia tetap kukuh pada ide fonograf untuk kebutuhan perkantoran,” tulis Stross.
Edison baru menyadari potensi besar fonograf di industri rekaman musik belasan tahun kemudian.
Masa Sebelum dan Sesudah Fonograf
Meski tidak dimulai sendiri oleh Edison, industri rekaman musik berkembang karena adanya fonograf temuannya. Sebelum fonograf eksis, cara menikmati musik hanyalah dengan mendengarkan langsung orang menyanyi atau memainkan alat musik sendiri. Otentik, tapi merepotkan dan mahal.
Karena itulah, hanya sekelas sultan yang mampu memiliki rombongan pemusik dan biduannya sekaligus. Anda harus cukup kaya untuk bisa menikmati musik tanpa batas kapan pun ingin. Tapi, musik di masa itu memang secara harfiah tanpa batas—lebih tepatnya mungkin kelewat batas—karena durasi sebuah simfoni bahkan bisa mencapai 60 menit.
Semua itu berubah berkat fonograf. Tidak hanya cara menikmatinya, tapi juga sifat dari musik atau lagunya. Di abad ke-19 itu, silinder perekam dalam fonograf hanya bisa merekam audio sepanjang dua hingga tiga menit. Hasilnya adalah musik dengan durasi yang lebih pendek dari sebelumnya.
“Lagu pop tiga menit pada dasarnya adalah buah dari penemuan fonograf,” kata Mark Katz, profesor musik dari University of North Carolina, sebagaimana dikutip Smithsonian Magazine.
Edison sendiri baru ikut masuk ke industri rekaman musik setelah abad berganti. Meski langkah itu sebenarnya sudah sangat terlambat karena para kompetitornya telah melompat lebih jauh.
Edison lalu fokus pada produksi fonograf untuk kebutuhan rekaman musik. Dia mendirikan pabrik di dekat laboratoriumnya di New Jersey. Pada 1907, Edison dengan bangga menyebut kawasan di sekitar laboratoriumnya sebagai “pabrik mesin bicara terbesar di dunia”. Itu bukan gagah-gagahan belaka karena saat itu dia baru saja membangun gedung pabrik ke-16.
Setelah itu, Edison mulai mengubah strategi pemasarannya—dia jelas tak ingin ketinggalan langkah lagi. Edison mulai menyasar kelas menengah dan pekerja. Dia juga menggencarkan iklan dengan narasi bahwa musik adalah hiburan untuk semua kalangan.
“Ketika seorang Raja Inggris ingin menonton sebuah pertunjukan, pertunjukannya yang dibawa ke istana. Lalu, raja mendengarkan sendiri di teater pribadinya. Anggaplah dirimu seorang raja, kenapa kamu tidak menggunakan privilese bak seorang raja dan bawa musiknya ke rumahmu sendiri,” demikian bunyi iklan fonograf Edison pada 1906.
Mendengarkan musik sendirian dulunya adalah gagasan yang aneh—kecuali bagi seorang raja. Musik biasanya didengarkan sebagai bagian dari kehidupan sosial, yaitu dengan menghadiri pertunjukannya di gedung konser atau di bar. Berkat fonograf kini siapa pun bisa “berduaan” dengan penyanyi favoritnya.
Dengan cara inilah orang mulai mengidentifikasi dirinya dengan genre musik tertentu, sebagai pendengar musik klasik atau jazz.
Fonograf dan industri rekaman lantas mulai menghasilkan pemusik-pemusik berbakat. Para pemusik dituntut tampil sempurna dalam proses rekaman. Pasalnya, sedikit saja mereka meleset memainkan nada, itu akan terdengar jelas dalam rekaman.
Situasi ini mulanya dikritik dapat mematikan para pemusik amatir. “Jika seseorang dapat mendengarkan pertunjukan para musisi hebat di rumah dengan mudah, bagaimana anak-anak mau belajar memainkan alat musik?” Demikian kekhawatiran yang muncul.
Namun, menurut studi Katz, jumlah pemusik dan guru musik di Amerika Serikat justru meningkat pesat dalam dua dekade setelah fonograf ditemukan. Rupanya orang-orang mulai belajar main musik dari rekaman. Dan konon, di awal abad ke-20, musik jazz berkembang dari rekaman yang didengarkan dan dipelajari berulang-ulang.
Jadi, tanpa fonograf, musik mungkin tetap harus dinikmati hanya di gedung-gedung pertunjukan yang mahal. Pun dengan genre yang hanya mengakomodasi selera kuping orang kaya. Tapi, semua orang kini bisa bebas memutar lagu kesukaannya di mana saja dan kapan saja. Siapa nyana, itu semua dimungkinkan oleh gawai bikinan penemu yang setengah tuli seperti Thomas Alva Edison.
Penulis: Uswatul Chabibah
Editor: Fadrik Aziz Firdausi