Menuju konten utama

Film Keluarga Saat Lebaran

Tontonan seru saat liburan Idul Fitri bersama keluarga.

Ilustrasi. Menonton film saat lebaran. Foto/iStock

tirto.id - Nyaris setiap natal, keluarga Amerika disajikan tontonan Home Alone (1990). Meski selalu diulang, film ini seolah menjadi tayangan wajib bagi seluruh keluarga. Menariknya tradisi menonton ini menginspirasi genre film yang disebut sebagai film libur natal, yaitu film yang dibuat spesifik untuk natal. Film seperti How the Grinch Stole Christmas (2000), The Nightmare Before Christmas (1993), dan Elf (2003).

Bagaimana dengan libur Lebaran? Film apa yang cocok untuk kita tonton bersama keluarga?

Tirto menyusun beberapa rekomendasi tontonan yang bisa anda pilih selama libur lebaran ini. Film yang kami pilih beragam untuk berbagai kalangan usia dan dari berbagai genre. Sebagian bisa ditonton bersama anak-anak, remaja, dan juga mereka yang telah mapan dewasa. Film ini tentu disusun dengan alasan yang subjektif tapi kami berusaha memberikan yang terbaik berdasarkan review kritikus film dan rating dari situs seperti idmb. Tentu anda boleh setuju tapi sebagai rekomendasi tak ada salahnya kan ditonton?

Film pertama rekomendasi dari kami adalah Boyhood yang disutradarai oleh Richard Linklater dan dirilis pada 2014. Film ini berkisah tentang hidup Mason Evans Jr dari masa kanak-kanak hingga remaja saat ia tumbuh di Texas. Film ini berusaha memotret bagaimana anak merespons perceraian orang tuanya. Produksi film ini dimulai pada 2002 dan selesai pada 2013. Dipuji sebagai film yang menghadirkan realitas secara total film ini dibuat oleh Linklater tanpa ada naskah yang ajeg. Cerita tumbuh berdasarkan respons waktu dan bagaimana anak tersebut memandang kehidupan orang dewasa. Ini dilakukan secara partisipatif bersama aktor yang ada dalam film itu.

Kritikus film New York Times, Manohla Dargis, menganggap film ini sebagai tontonan yang brilian dan mengejutkan. Proses panjang film dan obsesi Linklater untuk menghadirkan realisme menjadi sesuatu yang baru, ia tidak mengganti aktor anak dengan orang dewasa tapi membuat film yang tumbuh bersama naskahnya. Meski terlihat muram karena menghadirkan tema perceraian, Boyhood menjadi penting ditonton bersama keluarga untuk memberikan perspektif pada anggota keluarga yang kerap bertanya “Kapan Nikah?”, bahwa pernikahan tak selalu berakhir bahagia.

Film selanjutnya adalah Tokyo Story yang disutradarai oleh Yasujirō Ozu dan dirilis pada 1953. Film ini diperankan oleh Chishū Ryū dan Chieko Higashiyama bercerita tentang dua orang tua yang melakukan perjalanan ke Tokyo untuk bertemu dengan anak-anaknya. Film ini menunjukkan bagaimana perilaku anaknya yang cuek berbeda sekali dengan menantu mereka. Ozu berusaha menunjukkan bahwa relasi darah kadang bisa sangat asing sementara mereka yang bukan anak kandung bisa menghormati orang tua dengan keluhuran budi.

Film ini merupakan adaptasi dari film Amerika produksi 1937 berjudul Make Way for Tomorrow yang disutradarai oleh Leo McCarey. Ozu sendiri belum pernah menonton film tersebut dan diyakinkan oleh penulis naskahnya Kōgo Noda untuk membuat adaptasi film Jepang. Tokyo Story tidak langsung diterima oleh dunia internasional karena dianggap terlalu Jepang, namun belakangan para kritikus film seperti Stanley Kauffmann menganggapnya sebagai puisi yang indah. Film ini cocok ditonton untuk mengingatkan kita saat anak-anak pulang kampung kerap sibuk dengan gawai ketimbang bercengkerama dengan orang tua sendiri.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/06/26/FilmLebaranBersamaKeluarga--Dio-01.jpg" width="860" alt="infografik film lebaran bersama keluarga" /

Jika anda merasa butuh film dengan elemen aksi dan kejutan, maka Four Brothers yang disutradarai oleh John Singleton bisa menjadi pilihan. Film yang dirilis pada 2005 dibintangi oleh Mark Wahlberg, Tyrese Gibson, André Benjamin, dan Garrett Hedlund. Berkisah tentang empat saudara yang tidak memiliki hubungan darah tetapi disatukan oleh satu perempuan pengasuh yang dianggap ibu. Perempuan itu tewas dalam sebuah perampokan yang di minimarket. Setelah penelusuran lebih dalam ternyata kasus itu lebih rumit dari sekadar perampokan bersenjata, tapi eksekusi oleh gang setempat yang ingin menguasai properti.

Meski memiliki nilai yang tidak begitu bagus di Rotten Tomatoes dan berbagai situs lain, film ini menghadirkan elemen segar dalam film aksi bertema keluarga. Film ini tentu bukan untuk semua umur. Beberapa adegan dalam film ini menghadirkan unsur seks, kekerasan yang brutal, dan juga penggunaan bahasa yang kasar. Namun seperti juga Die Hard yang menghadirkan elemen serupa, film ini bisa jadi alternatif tontonan bagi anda dan keluarga yang memiliki anak yang beranjak dewasa.

Film lainnya yang bisa anda tonton adalah The Royal Tenenbaums yang disutradarai Wes Anderson dan naskahnya ditulis bersama. Film yang dirilis pada 2001 ini diperankan oleh Danny Glover, Gene Hackman, Anjelica Huston, Bill Murray, Gwyneth Paltrow, Ben Stiller, Luke Wilson, dan Owen Wilson sendiri. Bercerita tentang tiga bersaudara yang memiliki kesuksesan saat muda namun mengalami kekecewaan dan kegagalan saat ayah mereka yang eksentrik tiba-tiba minggat dari hidup mereka pada usia remaja.

Film komedi ini menghadirkan absurdisme dan ironi sebagai tema utama. Salah satu kritikus film terbaik Amerika Roger Ebert menyebut naskah film ini ditulis dengan sangat baik, serta memuji Owen Wilson dan Wes Anderson sebagai duo jenius yang mampu menghadirkan cerita segar. Sementara Mick LaSalle menulis di San Francisco Chronicle dan menyebut film ini sebagai sebuah komedi muram yang menghadirkan tawa ironik dan kelucuan daripada rasa sedih akibat tragedi.

Film terakhir dalam rekomendasi Tirto adalah The Perks of Being a Wallflower yang disutradarai oleh Stephen Chbosky dan dirilis pada 2012. Meski bergenre film coming of age, namun The Perks of Being a Wallflower bisa jadi tontonan menarik bagi anak anda yang beranjak dewasa, bagaimana ia menghadapi jatuh cinta, seks, bullying, dan juga masa SMA. Film ini merupakan adaptasi dari novel yang ditulis oleh Stephen Chbosky dengan judul yang sama.

Berkisah tentang anak muda bernama Charlie yang didiagnosis menderita depresi klinis sejak masa kanak-kanak. Setelah keluar dari lembaga rehabilitasi mental, Charlie kambali memulai hidupnya di sekolah sebagai siswa dewasa. Di sekolah ini ia menemukan rasa nyaman dari kelas sastra dan jatuh cinta pada seorang perempuan. Meski terdengar klise, picisan, dan generik, namun yakinlah film ini akan menghadirkan sesuatu yang segar. Oh iya, pilihan lagu-lagu pengiring film ini juga bagus.

Baca juga artikel terkait HIBURAN atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Film
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti