tirto.id - Mungkin tak ada orang Indonesia yang mencintai film India seperti Mahfud Ikhwan.
Setelah berusaha mengingat-ingat, Mahfud bilang film dan musik India tiba-tiba datang begitu saja di desanya, Lembor, Kecamatan Brondong, Lamongan. Desa ini terletak di kaki bukit Rahtawu. Di sekelilingnya ada hutan jati yang luas. Dulu, kebanyakan warganya adalah petani dan pembakar batu gamping. Namun, lambat laun kegiatan itu tak cukup untuk menopang ekonomi. Maka sejak 1980-an, banyak warga Lembor pergi ke Malaysia untuk bekerja. Mahfud tumbuh di era 1990-an. Saat itu televisi baru masuk di kampungnya. Di masa seperti itulah film dan musik India masuk sebagaimana lagu-lagu slow rock Malaysia.
"Meski begitu, harus dikatakan kalau saya menyukai musik dan film India dan kemudian benar-benar mencintainya karena itu bagian dari histeria massa di kampung kami. Aku, sebagai remaja labil dari tahun 1990-an, tentu saja tak mau ikut ketinggalan," katanya.
Mahfud tak ingat apa yang membuatnya jatuh cinta dengan film India. "Sama seperti kamu tidak akan ingat dan benar-benar bisa menjelaskan kapan mengalami cinta monyet, iya to?" Tapi penulis buku Ulid Tak Ingin ke Malaysia ini masih hafal film yang membuatnya paham bahwa sinema India dahsyat.
Itu adalah saat dia menonton Dil Se.. (1998), film drama romantis dengan latar belakang terorisme. Film ini dibintangi Shahrukh Khan, Manisha Koirala, dan merupakan film debut Preity Zinta. Dil Se.. sukses besar, baik secara pendapatan maupun pencapaian estetis. Ini merupakan film India pertama yang masuk dalam daftar 10 film terlaris di Britania Raya dan berhasil meraih banyak penghargaan di beberapa festival film dunia.
Selain Dil Se.., film lain yang memukau Mahfud adalah Bombay (1995), sebuah film India berbahasa Tamil. Film berlatar belakang kekerasan agama yang berujung pada Kerusuhan Bombay ini dibintangi Arvind Swamy dan Manisha Koirala dan disutradarai oleh sutradara berpengaruh India, Mani Ratnam, yang juga menjadi sutradara di Dil Se...
"Dan aku makin meyakini bahwa sinema India itu dahsyat setelah menonton Lagaan yang masuk nominasi Oscar," kata Mahfud.
Kecintaan Mahfud pada film India terus berlanjut saat dia pergi ke Yogyakarta untuk kuliah. Menarik mengikuti kisah Mahfud di kota ini. Yogyakarta adalah kota pelajar dan kebudayaan dengan banyaknya populasi penggemar film, termasuk movie snob. Dikelilingi para movie snob itu, pemenang sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta 2014 ini kerap diharuskan "mempertanggungjawabkan" seleranya terhadap film India di kalangan kawan-kawannya.
Pertanggungjawaban itu kemudian juga tampak saat dia membuat blog yang khusus memuat tentang film dan musik India. Nama blognya adalah Dushman Duniya Ka. Nama ini ditakik dari film tahun 1996. Arti harfiahnya adalah si musuh jagat raya. Kenapa Mahfud memosisikan diri dan film India sebagai musuh dunia?
"Di tengah massa yang memuja secara membabi buta segala hal yang dibuat Hollywood dan mengalami histeria terhadap semua hal yang berkait dengan rambut kejur dan kulit warna langsat, film India tiba-tiba jadi semacam gambar durjana lagi terlaknat," tulis Mahfud dalam pengantar blog, yang sekaligus memberi alasan kenapa blog ini, dan penulisnya, memosisikan diri sebagai musuh dunia. Tak heran, semboyan blognya adalah: Aku dan Film India Melawan Dunia.
"Jadi film India itu seperti film porno saja: disukai sekaligus tidak diakui, dikonsumsi tapi dianggap terlalu kotor untuk dibincangkan, ditonton sendirian kemudian dihinakan di depan banyak orang."
Blog itu resmi mengudara pada Desember 2011. Hingga Oktober 2016, sudah ada sekitar 50 tulisan. Jumlah yang amat banyak, apalagi mengingat jarang sekali ada orang Indonesia yang begitu tekun menulis tentang film dan musik India. Apa yang ditulis Mahfud pun bukan perkara resensi film dan musik belaka, tapi juga telisikan yang dalam. Seperti, misalkan, ketika Mahfud menulis tentang Mumbai Noir, sebuah genre di sinema India yang "...menggambarkan kehidupan bawah tanah India, lebih khusus lagi di Mumbai."
Ketekunan Mahfud juga tampak ketika dia menerjemahkan esai panjang dari Rachel Dwyer yang berjudul "Islam dalam Film India." Terjemahan ini diunggah hingga 5 bagian. Ketekunan terhadap film dan musik India itu tentu saja mengundang banyak decak kagum. Namun Mahfud memilih untuk rendah diri.
"Itu karena aku pengangguran yang diberi kelimpahan melakukan hal-hal tak berguna," katanya sambil terkekeh.
Kesukaan Mahfud terhadap film dan lagu India ternyata juga mengalir pada adiknya, Habib Asyhad. Pria keling dengan gigi gingsul ini juga mencintai film dan musik India, tak mau kalah dengan kakaknya. Meski mengaku menyukai sepakbola karena pengaruh kakaknya, Habib bilang kesukaannya terhadap film India sama sekali tak dipengaruhi kakaknya. Pria yang sekarang bekerja sebagai wartawan di Surakarta ini mengaku mulai menyenangi film India pada 1996. Kesukaannya adalah hal yang natural, karena sebagian besar bocah seumurannya di tempatnya tumbuh memang menyukai film India.
"Apalagi waktu itu jumlah televisi kan bisa dihitung. Jadi penonton ikut selera yang punya tivi. Nah, kebetulan yang waktu itu sering aku tumpangi untuk nonton, sukanya film India," kata Habib.
Selain pengaruh film India yang masuk melalui Televisi Pendidikan Indonesia dan RCTI, Habib juga terpengaruh oleh acara Dendang Sungai Gangga yang disiarkan Radio Ronggohadi, Lamongan. Seperti yang sudah dilambangkan oleh judulnya, acara ini memang memutarkan lagu-lagu India. Habib kemudian berkawan dengan Abdul Wahab, pria yang kata Habib, "Sampai hafal lagu-lagu India yang aneh-aneh."
Wahab mulai jatuh cinta pada lagu India sejak 1993. Saat itu dia baru duduk di bangku SD. Lagu pertama yang membuat Wahab kesengsem adalah "Jab Hum Jawan Honge" yang menjadi lagu latar Betaab, film romansa yang dirilis pada 1983. Penyanyi di lagu ini adalah Lata Mangeshkar dan Shabbir Kumar. Lata adalah penyanyi India legendaris kelahiran 1929 yang mendapatkan anugerah Bharat Ratna, sebuah gelar kehormatan tertinggi untuk warga sipil India. Sedangkan Shabbir dikenal sebagai penyanyi playback untuk banyak film.
Dan berterima kasihlah pada internet. Sebab lagu ini bisa ditengok di YouTube. Video ini diunggah akun bernama Shemaroo Filmi Gaane milik perusahaan hiburan Shemaroo Entertainment Ltd. Video "Jab Hum Jawan Honge" ini sudah ditonton 5,8 juta kali sejak diunggah pada 20 November 2019.
Wahab suka film India yang "membanggakan keindiaannya." Dalam arti, film yang memuat konflik lokal. Dia kemudian menyebutkan film Pardes (1997) yang berkisah tentang kehidupan orang India yang tinggal di Amerika.
Keindiaan dalam Tari dan Musik
Salah satu unsur keindiaan yang kemudian menjadi ciri khas di banyak film India adalah tarian dan musik. Film setegang apapun bisa sejenak santai karena aktor dan aktrisnya bernyanyi dan joget, disertai banyak penari latar yang turut berjoget. Rasanya menyenangkan, bisa pula bikin tersenyum, dan tak jarang bikin orang menangis bombay bila nyanyiannya sendu. Saya merasa istilah menangis bombay itu diambil dari tangisan yang ada di film India.
Seperti yang kita tahu, Bombay adalah nama resmi kota di India yang sekarang dikenal sebagai Mumbai. Bombay pula yang kemudian melahirkan Bollywood, istilah untuk menggambarkan industri film yang berbasis di Mumbai. Walaupun pada akhirnya Bollywood kemudian dipakai untuk menggambarkan industri sinema India secara keseluruhan.
Munculnya industri film di India bisa ditarik ke belakang pada awal abad ke-20 saat masyarakat mulai keranjingan menonton film-film impor dari Eropa. Kemudian orang India memproduksi film buatan sendiri.
Film panjang pertama yang diproduksi bumiputra India adalah Raja Harishchandra, sebuah film bisu yang disutradarai Dadasaheb Phalke. Pada 3 Mei 1913, tepat hari ini 107 tahun lalu, film itu dirilis secara resmi di gedung Coronation Cinematograph and Variety, Mumbai dan menuai sukses besar. Tanggal rilis itu kemudian dikenang sebagai hari lahir film India.
Meski tarian dan musik kemudian menjadi salah satu karakter khas film India, kedua unsur itu juga membuat banyak orang meremehkan kualitas film India. Mereka dianggap tak serius dalam mengemas cerita film. Mana bisa dalam suasana tegang, orang bisa bernyanyi dan joget? Ditambah dengan banyak orang yang tiba-tiba tahu koreografi pula. Maka, kemudian beberapa film India tak menggunakan elemen tari ini. Penghapusan tari dan nyanyian di film India juga dianggap efektif untuk menyingkat durasi. Sebab film yang menggunakan elemen itu durasinya bisa memanjang menjadi 3 hingga 5 jam.
Film India tanpa tari dan musik ini memang jumlahnya tak begitu banyak. Beberapa di antaranya adalah Dus Kahaniyaan (2007), Bhoot (2003), Khosla Ka Ghosla (2006), dan Iqbal (2005). Baik Habib maupun Wahab sama-sama kurang suka film India yang tidak menyertakan tari dan musik.
"Film India tanpa tari dan nyanyi enggak lengkap. Bikin saya kehilangan," kata Wahab.
Bagi Habib, tarian dan nyanyian di film India itu adalah jeda. Jadi, setelah adegan klimaks, ada jeda. Kemudian cerita bergulir lagi. Setelah mencapai klimaks, akan ada tari dan nyanyi lagi. Begitu terus hingga klimaks terakhir. Film India tanpa dua unsur kunci itu, menurut Habib, tak lagi asyik. Selain itu ia bisa jadi satu tanda, "Bahwa India sudah mulai kehabisan stok aktor dan aktris yang bisa menari."
Sedangkan menurut Mahfud, menghilangkan tarian dan musik di film India itu adalah upaya sineas di sana untuk menunjukkan bahwa mereka juga punya sisi serius. Tapi ini artinya, kata Mahfud, film India tanpa dua unsur itu adalah usaha film India untuk menjadi warga dunia: diterima oleh banyak pihak sebagaimana film Hollywood, sembari mencoba memutuskan ciri khas kultural historis dengan India.
"Soal tari dan musik dalam film India ini hingga sekarang masih menjadi diskusi di kalangan sineas India," kata Mahfud.
Benturan dengan Film Musikal Hollywood
Perdebatan ini jadi menarik jika kita menarik dan membenturkan karakter ini dengan film musikal ala Hollywood. India, sebagai tanah bekas jajahan Inggris, mempunyai banyak hal yang dipengaruhi Barat, termasuk industri filmnya.
Film musikal ala Hollywood lahir pada 1926 saat film Don Juan dirilis. Film ini tanpa dialog, hanya berisi adegan yang diiringi lagu latar yang dimainkan New York Philharmonic. Kemudian Hollywood mengalami demam film musikal, yang tentu saja padat dengan isian musik dan tari. Kita bisa menyebut West Side Story, Mary Poppins, Oliver!, Jesus Christ Superstar, Grease, Grease 2, Bedknobs & Broomsticks, New York, New York; hingga yang sering didapuk sebagai film musikal paling berpengaruh: The Sound of Music. Tren film musikal itu jelas memiliki banyak pengaruh ke industri sinema India.
Namun justru pada 1990-an film musikal di Hollywood semakin jarang. Genre ini baru bangkit lagi saat Moulin Rouge (2001) dirilis. Diikuti Chicago (2002), Dreamgirls (2006), Sweeney Tood: The Demon Barber of Fleet Street (2007), dan Les Miserables (2012). Film-film itu dipuji banyak kritikus dan memenangkan banyak penghargaan. Tapi tetap saja, film musikal terbilang jarang dibuat oleh Hollywood, apalagi jika dibandingkan dengan film aksi atau film pahlawan super.
Tahun 2016 menjadi penanda dirilisnya La La Land. Film musikal ini dibintangi Ryan Gosling dan Emma Stone, dinominasikan dalam 7 kategori di ajang Golden Globe, dan memenangkan semuanya. Itu adalah kedigdayaan luar biasa yang tak pernah dicapai film musikal pendahulunya. Film ini pun dianggap akan berbicara banyak di ajang Oscar. Beberapa kritikus film memprediksi keberhasilan La La Land—baik pencapaian estetis maupun pendapatan—akan mengawali gelombang baru bangkitnya film musikal.
Jika memang benar Hollywood akan memproduksi semakin banyak film musikal, mereka, saran Mahfud, harus berkiblat ke India. Sebab industri film ini yang merawat tradisi tarian dan nyanyian dalam film ketika Hollywood meninggalkannya. Dan apa yang dilakukan film-film India adalah meninggikan standar film yang memadukan musik dan tarian, melampaui pencapaian film-film musikal Hollywood.
"Dibanding nonton Caterine Zeta Jones jungkir balik, aku jauh lebih tergoda dengan petikan kecil jari dari Aishwarya Rai," ujar Mahfud memberi pengandaian.
Di saat sineas dan penonton Hollywood mulai menggali lagi kejayaan film musikal, ada beberapa sineas dan pelaku industri film India yang, seperti kata Mahfud, berusaha menjadi warga dunia dengan cara memutus akar leluhur. Ini artinya, kita akan bisa melihat semakin banyak film India yang pelan-pelan menghapus elemen tari dan nyanyian.
Kalau itu terjadi, dan film India semakin bisa diterima banyak kalangan penonton film, wajar bila film India bisa menggeser Hollywood perihal pendapatan. Sudah sejak lama industri film India mengalahkan Hollywood dalam hal produksi film. India rata-rata merilis 1.600 film per tahun. Bahkan pada 2014 mencapai sekitar 1.900 film. Bandingkan dengan produksi Hollywood yang berkisar 600 film per tahun. Bahkan di 2015 diperkirakan hanya 400-an film.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 17 Januari 2017 dengan judul "Film India Melawan Dunia". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Maulida Sri Handayani